Merevitalisasi Akal Sehat, Demi Menghayati Tujuan dan Hakikat Ayat Konstitusi
Republik kita akhir – akhir ini seperti dalam keadaan mabuk, dikarenakan keputusan, ketetapan dan peraturan yang saling tumpang tindih oleh lembaga negara itu sendiri.
Sebut saja misalkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang berkonfrontasi sekitar setahun lalu dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Usaha DPR membentuk pansus hak angket terhadap KPK, yang mengandaikan pembubaran lembaga KPK itu sendiri, mendapat kecaman dari pihak petinggi KPK yang bersih keras, bahwa DPR tidak berhak mengajukan hak angket terhadap lembaganya, dengan dalih bahwa KPK adalah Lembaga Independen dan tidak termasuk dalam jajaran Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif. Tidak sampai disitu, ketika kasus ini dilimpahkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) masalahnya kelihatan semakin semrawut. Diawali oleh keputusan Hakim MK yang membenarkan bahwa KPK adalah lembaga Negara yang independen dan keputusan tersebut telah bersifat Inkracht (Inkrah).
Namun dalam keputusan terbaru, bertempat di Gedung MK, Jakarta, Kamis (8/2/2018). Hakim MK menyatakan, KPK bisa menjadi objek angket oleh DPR dan termasuk lembaga eksekutif. Selain itu masih ada kasus lain yang membuktikan bahwa rontoknya kordinasi antar lembaga Negara, serta simpang siurnya keputusan dan ketetapan yang dikeluarkan.
Sebagai sampel, keputusan Mendagri Tjahjo Kumolo mengenai usulannya menjadikan dua Perwira Polri sebagai Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara, menuai respon negatif dari berbagai kalangan Politisi, Akademisi, dan para pakar Hukum Tata Negara. Sebab menurut analisisnya usulan tersebut bertentangan dengan beberapa peraturan perundang undangan, sementara itu Tjahjo Kumolo tetap pada pendiriannya bahwa, usulannya tersebut juga memiliki dasar hukum yang kuat.
Walaupun belum mendapat persetujuan dari Presiden tapi persoalan ini, semakin mempertegas bahwa ada miss communication (Salah Komunikasi), dan Miss Coordinate (Gagal Koordinasi) antara Lembaga Negara, dan kebingungan dalam menetapkan keputusan serta pengambilan sikap para pejabat tinggi Negara yang seyogianya dalam proses kordinasi dan pengambilan keputusan tersebut berdasar pada ayat konstitusi.
Jikalau kita membongkar secara psikologis, dalam menafsirkan dan menjalankan pesan yang tertuang dalam ayat konstitusi, para mandataris tidak menggunakan akal sehat dan nurani normal. Sehingga lahirlah kebijakan yang timpang, dan memperlihatkan ke publik adu argumentasi antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok.
Parahnya lagi adu argumentasi tersebut diselimuti oleh egoisme personal dan egoisme kelompok, yang mendasarkan kebenaran hanya dari pihaknya masing masing. Outputnya adalah di ruang politik Republik kita, kebenaran objektif tertutupi oleh kebenaran sepihak yang bernuansa emosional.
Kemudian masyarakat menyaksikan tontonan ini, merasa kebingungan dengan dinamika politik, yang disuguhkan oleh pemerintah. Juga tidak jarang hadir pendapat dari kalangan masyarakat yang sebenarnya patut untuk
dipertimbangkan namun justru ditenggelamkan oleh The New Founding Father/Mother Kita.
Normalnya, kita mesti kembali ke ayat konstitusi lalu menafsirkan dan menjalankannya dengan terlebih dahulu merevitalisasi akal sehat, juga meminggirkan ego serta kepentingan pribadi/kelompok demi mengintegrasikan keberlangsungan kehidupan bernegara yang lebih tentram dan sehat.
Sejatinya, tujuan dari pada Konstitusi yang oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Undang – undang Dasar (UUD), yang harus dijadikan sebagai Konstitusi tertinggi, memiliki tujuan dan hakikat, untuk memelihara ketertiban dan ketentraman, menyeimbangkan kekuasaan pemerintah dan kemerdekaan/kebebasan masyarakat, serta mengurus hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan umum.
Penulis: A.Tan
Editor : Shim