Abuse of Legal Norms: Manipulasi Hukum Sebagai Instrumen Penyokong Kepentingan Sektarian
Makassar Cakrawalaide.com – Merujuk pada pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang mengindikasikan bahwa Indonesia adalah negara hukum, negara yang mengadopsi prinsip-prinsip dasar dari konsep Rechtsstaat, maka sudah sepatutnya seluruh struktur pemerintahan itu bertajuk pada supremacy of law atau supremasi hukum.
Supremasi hukum sendiri merupakan konsep yang menekankan bahwasanya hukum adalah otoritas tertinggi yang harus diimplementasikan secara adil dan egaliter oleh seluruh lapisan masyarakat, tanpa adanya sedikitpun intervensi oleh kekuasaan politik ataupun kepentingan-kepentingan segelintir pihak.
Berdasarkan konsep Hukum Tata Negara, struktur daripada pelaksanaan regimen itu di atur melalui sistem pembagian kekuasaan yang kerap disebut sebagai “trias politica” dengan tujuan untuk mencegah adanya konsentrasi kekuasaan yang berlebihan dan acuh terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.
Kekuasaan pemerintahan yang dimaksud tersebut kemudian dibagi ke dalam 3 cabang, yakni badan eksekutif yang bertanggungjawab atas pengimplementasian hukum, legislatif yang mengemban otoritas untuk merumuskan, mengubah, dan mencabut undang-undang, serta yudikatif yang bertugas untuk menginterpretasikan dan menegakkan hukum, serta menyelesaikan sengketa hukum.
Hal ini kemudian sinkron dengan teori Checks and Balances oleh Montesquieu dalam karyanya “The Spirit of the Laws”, yang mengemukakan bahwa pemisahan kekuasaan merupakan prinsip kunci untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Karena dengan adanya sistem checks and balances, setiap badan kekuasaan dapat saling mengawasi dan menyeimbangkan satu sama lain, sehingga pelaksanaan kekuasaan secara otoriter tidak lagi menjadi hal yang potensial.
Mahkamah Konstitusi, atau MK, merupakan lembaga peradilan yang berada dalam naungan badan yudikatif, yang berfungsi sebagai otoritas yudisial tertinggi dalam penafsiran konstitusi dan berperan sebagai guardian of the constitution yang menentukan keselarasan antara peraturan perundang-undangan dan prinsip konstitusi. Sehingga, setiap produk hukum atau putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi itu bersifat definitive, preskriptif, dan memberikan interpretasi final terhadap konstitusi.
Sebagai institusi dengan kekuatan hukum yang mengikat, MK kemudian memiliki wewenang untuk menganulir peraturan yang tidak konstitusional, menjamin integritas normatif konstitusi, dan memastikan supremasi konstitusi dalam sistem hukum nasional. Hal ini, diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Namun, hari ini, masyarakat Indonesia kembali digentarkan oleh polemik yang sangat inkonstitusional, dimana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan cherry picking dalam mengadopsi keputusan Mahkamah Konstitusi, tidak patuh terhadap putusan MK yang telah inkrah dan seharusnya tidak lagi dapat di ganggu gugat. Dalam hal ini, DPR mengebut proses revisi Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 perihal Pemilihan Kepala Daerah, yang dilakukan tepat sehari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memodifikasi syarat pencalonan Pilkada melalui keputusan nomor 60/PUU-XXII/2024 dan nomor 70/PPU-XXII/2024.
Badan Legislasi (Baleg) menganulir 2 poin putusan krusial oleh Mahkamah Konstitusi. Yang pertama, mengenai ambang batas pencalonan (threshold) kandidat. MK telah merevisi ambang batas pencalonan oleh partai politik yang tertuang dalam UU Pilkada, menghapuskan ketentuan lama yang menetapkan ambang batas sebesar 20% kursi DPRD atau 25% suara sah. Berdasarkan putusan nomor 60/PUU-XXII/2024, MK mencabut ambang batas tersebut dan menggantinya dengan kriteria baru yang berbasis pada jumlah populasi. Sementara hasil rapat Baleg DPR pada Rabu (21/8/2024) justru tetap mempertahankan ambang batas 20% kursi DPRD atau 25% suara sah bagi partai yang tidak mempunyai kursi di DPRD.
Yang kedua, terkait batas usia minimum calon kepala daerah. Undang-Undang Pilkada menetapkan bahwasanya batas usia minimum calon gubernur adalah 30 tahun, sedangkan calon bupati/wali kota adalah 25 tahun. Hal ini ditegaskan dalam putusan MK nomor 70/PPU-XXII/2024, yang dimana harus dipenuhi saat pencalonan, bukan pada saat pelantikan.
Namun sebaliknya, baleg DPR justru memberlakukan ketentuan tersebut dengan merujuk pada keputusan MA yaitu pada saat resmi pelantikan. Disini kita dapat melihat, bahwa Pilkada 2024 ini kembali dihadapkan oleh ancaman pemusatan kekuasaan yang sangat berpotensi mematikan keadilan dalam demokrasi.
Putusan MK yang awalnya menjadi harapan baru perihal terwujudnya demokrasi lokal yang kompetitif, justru dibelenggu oleh manuver dan siasat elite yang senantiasa mengelabui konstitusi. Ketika hukum telah dikangkangi oleh kepentingan politik, maka sudah sangat pasti negara akan terjerembab dalam krisis yang mendalam.
Situasi yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia hari ini, merupakan permainan kekuasaan tidak etis yang secara sistematis megotak-atik hukum menjadi instrumen penindasan, yang mengedepankan hasrat kekuasaan atau kepentingan pribadi oleh segelintir pihak. Hukum yang seharusnya menjadi kunci dalam mewujudkan keadilan dan demokrasi yang sejalan dengan nilai pancasila, justru bertransformasi menjadi “tangan besi” yang dimanfaatkan untuk memperkuat hegemoni politik, kemudian membungkam suara-suara yang tidak pro terhadap kepentingan kelompok yang memiliki otoritas dalam hal ini.
Manipulasi hukum yang terjadi tentu saja akan mengarah pada distorsi prinsip dasar keadilan dan merusak integritas sistem hukum. Apabila lembaga-lembaga hukum kemudian telah disulap menjadi alat untuk menerapkan kebijakan yang merugikan lapisan masyarakat dan sebaliknya menguntungkan elit penguasa, maka kepercayaan publik terhadap institusi tersebut akan terkikis habis. Hal ini kemudian menyebabkan disfungsi struktural dalam sistem pemerintahan, dimana hukum yang seharusnya menjadi pilar utama dalam penegakan kedaulatan dan keadilan, kini bertransformasi menjadi simbol dominasi yang otoriter dan koruptif.
Ketika kekuasaan politik dan hukum beroperasi diluar norma-norma etis dan proporsional, maka negara akan menghadapi ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan supremacy of law, yang seharusnya menjadi landasan dari setiap sistem pemerintahan yang beradab.
Oleh karena itu, demi mempertahankan keutuhan NKRI dengan tetap berpijak pada prinsip keadilan dan moralitas, maka tetap katakan TIDAK terhadap manuver elit politik yang mengobrak-abrik hukum dan negara demi menimbun kekuasaan secara rakus, katakan TIDAK terhadap politik dinasti yang menghina integritas dan intelektualitas rakyat.
Penulis : Nafra Ayuningtyas
Redaktur : Ali Madani
Sumber :
https://www.cnbcindonesia.com/news/20240823094111-4-565778/isi-revisi-uu-pilkada-pemicu-demo-ini-2-poin-penting-versi-dpr-mk/amp