ARUKI: Dampak Krisis Iklim pada Perempuan dan Masyarakat Pesisir
Makassar Cakrawalaide.com – Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Rakyat untuk RUU Keadilan Iklim (ARUKI) telah mengadakan konsultasi rakyat untuk mendorong pembentukan rancangan Undang-Undang Keadilan Iklim.
Perubahan iklim telah menciptakan tantangan pada beberapa kaum rentan khususnya bagi perempuan dan masyarakat pesisir, mengemuka dalam konferensi pers yang berlansung di Hotel Royal Bay Jl. Sultan Hasanuddin No. 24, Kamis, (24/10/2024).
Kegiatan tersebut dilakukan karena adanya perubahan iklim yang terjadi di Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan dan dampaknya sudah dirasakan oleh masyarakat.
Suriyani, SP Anging Mammiri, mengatakan bahwa krisis iklim yang terjadi saat ini merupakan krisis iklim global.
“Berbicara soal krisis iklim bahwa ini adalah sebuah krisis iklim global yang dimana menjadi perhatian seluruh masyarakat di dunia, termasuk juga kita di Sulawesi Selatan” Ungkapnya dalam konferensi pers.
Ia juga mengungkap dalam hal ini bahwa perempuan mengalami dampak yang sangat berat, perempuan lebih banyak memikul beban selama krisis iklim itu terjadi seperti peran perempuan sebagai perawat keluarga, dan penjaga keluarga.
“Kalau kita berbicara soal dampak, lagi-lagi perempuan mengalami. Tetapi, dampak yang lebih berat yaitu dirasakan oleh perempuan. Mengapa demikian? Karena ada situasi di mana peran gender yang dilekatkan kepada perempuan, sebagai perawat keluarga, sebagai penjaga keluarga.” Sambungnya.
Suriani menerangkan bahwa perempuan kerap mengutamakan keluarga dibandingkan diri sendiri ketika terjadi bencana.
Menurutnya hal tersebut bisa dilihat ketika terjadi krisis air, peran perempuan akan sangat dibutuhkan di mana mereka harus mendapatkan air tersebut untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
“Ketika terjadi krisis air untuk kebutuhan, maka sehari-hari akan merasakan dampak lebihnya adalah perempuan. Karena beban tadi, beban yang diterapkan dan dilekatkan bagaimana kemudian perempuan hari ini menyediakan ruang paling berat bagaimana kebutuhan air keluarga terpenuhi” Jelasnya.
Tidak hanya itu, ketika terjadi krisis pangan perempuan juga berperan penting di dalamnya.
“Misalnya terjadi krisis pangan, maka kembali lagi bahwa perempuan harus memikirkan bagaimana kebutuhan keluarga tersaji di meja setiap hari. Itu adalah beban. Pada akhirnya apa? Perempuan harus memilih pekerjaan yang lebih melebihi satu atau dua dalam setiap harinya untuk bertahan, untuk memenuhi” tuturnya.
Salah satu warga pesisir Tallo Ibu Hajrah yang juga merasakan dampak krisis iklim mengungkapkan bagaimana kesulitannya selama ini untuk mengakses air bersih, yang mana kondisi tersebut semakin dipersulit dengan adanya proyek pembangunan pelabuhan yang dilakukan perusahaan.
“Untuk dampak di pesisir itu khususnya kampung saya yang bikin sulit warga di situ itu cuma air bersih. Karena adanya proyek pembangunan pelabuhan. Terus air bersihnya itu susah didapatkan karna perusahaan proyek besar itu yang mengambil akses air bersih kami. Makanya air bersih tidak bisa disalurkan lagi ke kampung kami” Ujarnya.
Proyek pembangunan pelabuhan ternyata tidak hanya menyulitkan akses air terhadap warga pesisir Tallo. Namun hal tersebut membuat para nelayan untuk berhenti melaut diakibatkan mata pencahariannya sudah tidak sama lagi seperti beberapa tahun belakangan.
“Dampak yang paling kita rasakan sekarang mata pencaharian itu sudah tidak ada lagi untuk nelayan”Sambungnya.
Hajrah menjelaskan dalam kondisi yang dialami ia bertahan dengan membuka usaha warung kecil-kecilan untuk mencukupi kebutuhannya.
“Kalau dari saya sih buka warung kecil-kecilan untuk bertahan rumah tangga saya, terus suami saya bekerja di luar kampung karena pendapatan di laut sudah tidak menentu, terus cuaca juga tidak menentu, suami itu kerja jadi buruh angkut ikan di lelang” Jelasnya.
Penulis: Qhaerunnisa
Redaktur: Rina Kurniawati