Fosis Gelar Diskusi: Buruh Keluhkan Sistem Kerja Paksa di KIBA
Di tengah ruangan sederhana dengan dinding bercat putih, tiga pembicara duduk bersila di atas tikar. Di belakangnya terbentang spanduk bertuliskan “Diskusi Buruh KIBA SBIPE: Buruh dalam Bayang-Bayang Nickel: Membaca Perbudakan Modern di PT Huadi”. Diskusi yang digelar oleh Forum Study Issu-Issu Strategis (Fosis) ini bertujuan menggalang solidaritas mahasiswa agar terlibat dalam perjuangan buruh menjelang Sidang Putusan pada 3 November mendatang. Kegiatan tersebut berlangsung di Ruang Lembaga Fakultas Agama Islam (Jumat/31/10/2025).
Amri selaku pembicara dari perwakilan Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) menuturkan, jika selama ini buruh yang bekerja di KIBA masih jauh dari kata “Kesejahteraan” sebab Perusahaan PT Huadi menerapkan dua metode kerja kepada setiap buruh. System shift dan regular, buruh dipaksa bekerja selama 12 jam setiap harinya, sejak pukul 07:00 pagi hingga 18:00 malam. Para buruh bekerja seperti tanpa ada hari libur, baik libur nasional maupun perayaan lainnya.
“Intinya bekerja full biarpun itu ada hari tertentu seperti Idul Fitri” tutur Amri.
Lebih lanjut, ia juga menyoroti pelanggaran serius terhadap hak-hak buruh, di mana waktu kerja semestinya dibatasi delapan jam kerja perhari sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Justru dilanggar, buruh dieksploitasi secara berlebihan. Mereka kerap bekerja hingga 12,16,18 bahkan kabarnya hingga 24 jam tanpa istirahat.
“Jam kerja 12 jam saja sudah sangat melanggar peraturan Undang-Undang yang seharusnya para buruh hanya bekerja 8 jam saja, tapi pada kenyataannya teman- teman buruh KIBA menembus jam kerja hingga 16 jam, 18 jam, dan bahkan 24 jam” jelasnya.
Senada dengan hal tersebut, Muzakkir perwakilan dari mahasiswa juga menegaskan jika persoalan utama dalam kasus buruh bukan sekedar bagaimana mereka bekerja namun lebih kompleks lagi terkait bagaimana pekerjaan itu dapat dianggap layak. Yang mampu menjamin kesejahteraan dan memenuhi kebutuhan hidup buruh secara manusiawi.
“Yang kita butuhkan sekarang bukan hanya bagaimana kita bekerja, tapi bagaimana pekerjaan itu layak dan mampu mencukupi kebutuhan kita,” ucap Muzakkir.
Hasby selaku Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, menilai bahwa hadirnya UU Cipta kerja malah memperlebar pintu investor untuk mengeksploitasi tenaga kerja dan kekayaan alam di Indonesia.
“Kita bisa melihat dua hal yaitu eksploitasi terhadap ruang hidup dan eksploitasi dengan teman-teman buruh” tutupnya.
Penulis: Nur Syafika Utami
Redaktur: Sudirman Rasyid
