Mawar Hitam Untuk Mama
Hari masih dini tuk membangunkan matahari muncul dalam hamparan pegunungan yang menjulang tinggi tepat di sebuah desa terpencil. Aku terbangun dalam kondisi ruang yang senantiasa hening, Ingin ku katakan, aku sangat berat hati melewati masa tak nyaman bersama mama.
Aku dan mama adalah keluarga kecil yang terbiasa hidup mewah, dibekali rumah bertingkat tiga dan apartemen berlantai Sembilan milik pribadiku oleh almarhum bapak, yang lokasinya cukup strategis dari keramaian kota Palembang.
Sejak kecil, materi dalam hal harta yang bapak berikan padaku tak pernah ia batasi, aku bak seorang putri yang tercipta di muka bumi sebagai penghambur harta bapak, namun beberapa tahun belakangan bapak membeli sebuah apartemen untukku, yang kemungkinan besar tujuannya adalah untuk memandirikanku, yah kelak setelah aku selesaikan kuliahku, mungkin aku bisa bekerja di apartemen itu sekaligus sebagai pengelolanya. Hal ini tentu sejalan dengan keputusan bapak yang memilihkan jurusan teknik administrasi perkantoran di sebuah universitas bergengsi di kota yang terkenal dengan julukan kota pempek ini.
Hingga hari ini, aku masih memilih berada di apartemenku, bukan tanpa alasan. Aku sedang tak akur lagi dengan mama, hal ini hampir menjadi rutinitas sehari-hariku bersama mama setelah kepergian bapak. Yah meskipun pada dasarnya, dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku memang sangat membenci mama.
Mama itu cerewet, dulu setiap kali aku pulang sekolah, mama selalu bertanya, “kamu diantar sama siapa ? kenapa baru pulang sekarang, nak ? Apakah di jalan sedang macet ?” Uh, bagiku itu sangat menjengkelkan. Yah, sikapku dingin saja, terbiasa mencampakkannya dan menuju kamarku begitu saja.
Aku telah terbiasa dingin dengan pertanyaan mama, semenjak bapak beristirahat dengan tenang beberapa tahun yang lalu, aku jadi stress, aku juga belum bisa terlalu jauh memastikan, apakah ini efek bentuk penolakanku terhadap takdir tuhan ataukah karena usiaku masih sangat muda untuk merasakan pahitnya tak memiliki orang tua.
Aku masih teringat dengan kata ibu, “Sophia, Ibu tak selalu bisa menemanimu untuk terus menyayangimu, saayaanggg.. menyuapimu seperti ini.. kelak, ibu akan pergi bersama bapakmu,” kata ibu sangat halus, suaranya begitu lembut, namun belum tersisa dihatiku, aku masih jua tak menghiraukannya. Aku hanya memegang smartphoneku, bbman dengan kekasih hati sambil membuka mulut menerima suapan ibu yang tanpa ku sadari adalah suapan terakhir.
Aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara, kakakku telah menikah dengan perempuan yang dianggapnya paling cocok mengurusi anak-anaknya kelak, mereka tinggal di Jakarta, sedangkan aku dan ibu berada di Palembang sejak tahun 2003.
Sampai detik ini, cerita di Palembang masih selalu terniang, kebahagiaan bersama ibu, juga bapak yang terlalu sibuk dengan jabatannya sebagai salah satu anggota DPR di kotaku. Namun, aku selalu mencoba melupakan cerita itu, kini kenyataan yang harus kuhadapi bahwa aku hidup hanyalah berdua dengan seorang mama yang tak pernah menjadi mama seutuhnya, yang tak pernah merasakan perihnya melahirkan anak seperti aku. Dan selalu ku tegaskan bahwa aku sangat membenci mama.
Banyak hal yang ku ketahui tentang mama, mama adalah sahabat terbaik ibu sewaktu menduduki sekolah menengah pertama, mama adalah sosok tenang yang diperistri oleh bapak sebelum meninggal, mama adalah perempuan picik yang merenggut nyawa ibu dengan sekeji-kejinya seseorang yang bernama mama, mama adalah perempuan bercadar yang selalu memakai pakaian hitam, lengkap dengan kacamata berwarna cokelat di wajahnya, yang setiap hari bergelut dengan buku-buku religious islaminya, hingga ia lupa dengan kehidupan sosial yang ia jalani, hingga ia lupa cara membahagiakan sesama perempuan.
Mama itu sosok yang menakutkan, aku jarang sekali pulang ke rumah. Dan aku selalu menganggap, mama itu orang yang paling tak tahu diri, ia tinggal di rumah laki-laki yang pernah ia rayu tuk jatuh ke dalam pelukannya, juga ibuku yang menghembuskan nafas terakhirnya dalam kecelakaan di Jl. Sudiro bersama bapak, dan setelah menemukan handphone ibu dan bapak , kecurigaanku terjawab, ibu dan bapak bertengkar dalam mobil akibat cinta semu bapak pada mama.
Meski demikian, aku tak pernah membenci bapak, karena bapak selalu menjadi penyelamat keegoisan ibu, ketika ibu membentakku dengan kesalahanku. Bapak selalu berpihak padaku, bapak selalu membuatku merasa nyaman, entah itu dari segi materi maupun pelukan hangat yang mama renggut dari ibu.
Di sisi lain, aku sangat senang ketika bertemu mama. Ia selalu mengulang pertanyaan yang sama hingga aku telah menginjak tahun pertama masuk kuliah.
Mama : “Sophia, tadi pulang dengan siapa, nak ? tidak dengan laki-laki kan, nak ?”
Sophia : “ehh, tidak kok ma, gak sampe peluk-pelukan kok ma.. gak sampe renggut suami orang kok ma, Sophia selalu tahu diri ma !”
Dalam senyum picikku aku berlari kecil ke kamar.
Hal yang aneh adalah bahwa sindiranku tak pernah menghilangkan pertanyaan mama, mama selalu saja menyuruhku memberi batasan dalam pergaulanku dengan teman laki-lakiku, seperti tak bisa diantar – jemput oleh mereka, dan banyak lagi. Sedangkan, mama sendiri tak pernah tahu diri, seperti ratu yang tak punya rasa kasih sayang terhadap ibuku.
Wajah mama boleh berseri karena air wudhu tapi hati yang tertutup oleh balutan kain yang ku juluki gorden hitam itu, aku pastikan sangat redup.
Hingga suatu hari, aku diajak oleh teman laki-lakiku yang ingin menyatakan cinta pada sahabatku, ia mengajakku ke toko bunga. Di sana aku melihat puluhan jenis bunga yang segar dan terbilang mekar sempurna.
Aku terbelalak, aku baru pertama memasuki toko bunga, jadi maklum jika aku baru saja melihat mawar hitam, yang konon kata temanku, Tio, bunga mawar hitam itu untuk orang yang paling kita benci, singkat penjelasan yang ku tangkap dari mulutnya yang telah liar menjelaskan adalah ‘bunga kematian’.
Aku teringat mama, ingin rasanya ku beli semua mawar hitam yang ada dalam toko tersebut lalu ku berikan pada mama. Hal itu sempat terbesit dalam benakku untuk beberapa menit bersama Tio.
Keesokan harinya, aku menemui mama di meja makan yang sedang sibuk menyiapkan makanan kesukaanku untuk buka puasa, sementara waktu masih menunjukkan pukul 14.30 dan perasaanku berbeda lagi, aku tidak akan pernah membeli mawar hitam untuk mama. Meskipun aku tak pernah hadir dalam rahimnya, tapi ia selalu menjadikanku prioritas dalam kesehariannya.
Ia adalah mama yang selalu tersenyum padaku, kebaikannya hampir menyamai perilaku ibu kepadaku. Namun, ia sungguh lebih, lebih, dan lebih sabar terhadapku.
Semenjak bapak dan ibu meninggal, aku telah terbiasa menghabiskan waktuku bersama teman-teman kampusku, hingga hampir larut malam sesuka hatiku, kebiasaanku tak bisa kuubah, selalu berkeliaran di pusat-pusat perbelanjaan di kotaku, aku selalu berfikir bahwa harta bapak tak akan pernah habis untuk ku hamburkan bersama teman-temanku.
Aku sering menginap di rumah temanku, namanya Helena, seorang perempuan yang amat beruntung memiliki nasib tak seburuk nasibku, ia masih memiliki kedua orang tua yang sangat menyayanginya. Aku selalu iri padanya.
“Kenapa aku ditakdirkan hidup dengan mama tiri ?”
kalimat ini selalu menjadi gerutuku hampir tiap hari.
Ketika menjelang final, tugas kuliahku menumpuk, hari itu menjadi saksi kekejian diriku terhadap mama, aku kembali ke toko bunga kemarin, ku beli dua puluh buah mawar hitam, kubawa pulang dan ku hambur dalam kamar mama selagi mama belum pulang dari tarbiyahnya.
Aku pergi ke rumah Helena, tak kembali selama tiga hari dan handphone ku matikan.
Hari ketiga ketika aku pulang, aku menemui mawar hitam berada di tong sampah tepatnya depan pagar rumah, aku marah karena ku tahu mama membuangnya.
Ketika ku langkahkan kakiku ke dalam rumah, ternyata rumah dalam keadaan sepi, ku cari mama dan tak menemukannya, sedikit bau menyengat dari kamar mandi di ruang tamu, rupanya bau mayit. Dalam hatiku selalu bertanya apa yang terjadi, “Apakah mama meninggal ?” aku berteriak ,”Maaamaaaaa.. maa.. maaaamaaa…,” hatiku menjerit, jiwa dan ragaku tak lagi terasa menyatu. Aku sangat menyesal. Mawar hitam itu bekerja sesuai kemauanku, tapi, aku tak menginginkannya lagi. Aku ingin mama kembali. Kenyataan yang ku hadapi sangatlah pahit, pada siapa lagi aku akan mengadu ?
Sentuhan itu terasa hangat memegang tanganku dan kudapati mama disampingku dengan tak mengenakan hijabnya, mama begitu cantik. Ia memanggilku segera berbuka puasa dan shalat maghrib. Mama dalam mimpi burukku telah mati, namun tuhan selalu punya cara untuk menyelamatkan mama untukku, mama dalam kenyataan hingga ku terbangun dalam tidurku masih hidup, aku tak bisa membayangkan jika menjalani hidupku sebatang kara tanpa kedua orang tua, tanpa mama. Meski kutahu, mama tak pernah memberiku ASInya hingga dewasa seperti ini, tapi mama adalah malaikat yang selalu menjagaku, dan aku tak akan pernah mampu membalas kebaikannya hingga tak akan ada mawar hitam untuk mama.
Penulis : Israwati Nursaid