Luka Suara Reruntuhan
Mungkin kebodohan ataukah ketidaktahuan yang memenjarakan akal dan pikiran.
Dikala mata terpelongok yang kuliat hanya kesengsaraan dan penderitaan.
Mulut terasa membisu, tak lagi sanggup berucap tuk sekedar berkata menuntut keadilan.
Telinga terasa sakit oleh suara gemuruh bangunan tempat bersandar dikala lelah menyayat tubuh.
Kini tiada lagi kasur empuk memanjakan tubuh yang sakit bertarung keras kehidupan demi sesuap nasi.
Tak ada lagi meja sederhana, berbagi sedikit keceriahan dengan keluarga sebagai penyempurnah santapan perut si buah hati.
Kau telah mencuri satu kebahagaian itu dari kami.
Rintik air hujan dan sengatan matahari dengan leluasanya menyapu kening menjadi tamu kehidupan.
Terpaan debu jalanan terbawa angin dengan riangnya menyergap wajah ini yang penuh ratapan.
Berbagi isi perut dengan binatang-binatang kecil pemungut sisa makanan, kini menjadi sebuah kewajiban.
Dengan rasa tak bersalah, kau telah merenggut satu kenyamanan kami.
Tidak ada lagi meja kecil, sumber pencahayaan segala pengetahuan buat sang malaikat titipan kebahagian.
Tak ada lagi lemari dengan tatanan buku yang rapi, menyertai sebuah harapan besar akan masa depan.
Demi menggayung deras kehidupan, memaksanya tumbuh dewasa jauh dari kebiasaan.
Kini terpaksa menjadi pencuri kepingan sebab tak ada lagi uang jajan yang dapat diberikan.
Tanpa rasa tak berdosa, kau telah menghancurkan satu harapan hidup kami.
Apalah arti sejahtera tanpa rumah dan kuasa?
Apalah arti kemakmuran tanpa kenyamanan dan canda tawa?
Apalah arti bahagia tanpa harapan dan keluarga?
Semua tidak ada guna, kau balas kami dengan dusta.
Persetubuhan keserakahan mu kau hadiahi kami dengan derita.
Menggusur surga kami demi bangunan besar milik pengusaha.
Tanpa rasa kasih, kau terus saja memberi kami luka.
Tanpa peduli, dengan mesrahnya kau bekerjasama, menganggap kami tak ada.
Penulis : Parle’
Red : Ahmad