Hilangnya Orientasi Perguruan Tinggi Selama Pandemi Covid-19
Penulis: Walhiswandi
Cakrawalaide.com – Rabu sore (24/06), Aliansi Mahasiswa UMI (AMU) menggelar diskusi mengenai biaya pendidikan di tengah pandemi. Diskusi secara daring tersebut mengkaji ekonomi politik pendidikan di Indonesia dan sistematika anggaran perguruan tinggi negeri maupun swasta.
Diskusi dipantik oleh dua pembicara, diantaranya Eko Prasetyo, seorang aktivis dari Social Movement Institute juga penulis buku “Orang Miskin Dilarang Sekolah” dan Alvie Harianjah sebagai Koordinator Central Comite Ambyar Alliance yang memfokuskan gerakannya pada bidang pendidikan.
Diskusi diawali dengan pemaparan Eko mengenai ekonomi politik dunia kampus. Menurutnya hampir semua kampus di Indonesia terobsesi dengan reputasi internasional, belakangan ini banyak kampus yang mencoba meletakkan diri bukan terhadap pengabdian kepada masyarakat miskin yang tidak dapat tertampung di perguruan tinggi, tetapi malah mencoba meletakkan dirinya bersama kampus- kampus di negara maju.
“Orientasinya memang orientasi untuk meraih pasar internasional,” ujarnya.
Lebih lanjut dalam pemaparannya, mengenai komersialisasi pendidikan, Eko meyakini menteri pendidikan Nadiem Makarim membuat kebijakan kampus merdeka; meletakkan hubungan kampus dengan dunia kerja. Konsekuensi yang akan datang adalah arus ilmu saintek ditinggikan dengan berbagai cara sehingga melupakan ilmu humaniora, padahal bagi Eko, ilmu humaniora penting untuk bisa mengetahui situasi selama pandemi.
“Pada level kebijakan, negara sengaja membiarkan kampus untuk mengembangkan visi bisnis yang disebut ‘otonomi’ dan kemudian akan membuat kampus mirip dengan korporasi,” ungkap Eko.
Baginya baru kali ini selama pandemi semua orang tersadar bahwa tidak ada gunanya bangunan kampus yang megah, karena mahasiswa tidak dapat merasakan kemegahan kampus tersebut selama pandemi. Juga sebelum pandemi berlangsung, bangunan kampus yang megah dijadikan sebagai alat promosi untuk menarik peminat, yang berujung bukan hanya kampus menarik biaya pelaksanaan pendidikan, tetapi juga kampus menarik biaya pembangunan dari mahasiswa.
“Baru kali ini dalam sebuah tradisi pendidikan, bangunan gedung sekolah ikut ditanggung oleh mahasiswa dan itu membuat pendekatan komersial menjadi pendekatan utama di kampus dan meletakan mahasiswa sebagai konsumen,” tegasnya.
Dalam kondisi pandemi ini, mahasiswa tetap membayar biaya pendidikan dan juga mengeluarkan biaya kebutuhan selama pembelajaran jarak jauh agar tetap dapat mengikuti perkuliahan, dimana seharusnya kampus bisa mengurangi beban mahasiswa dengan cara pembebasan biaya pendidikan karena sudah lebih dari 3 bulan pembelajaran jarak jauh dilakukan. Eko menilai kampus tidaklah memiliki keberanian untuk menggratiskan biaya pendidikan.
“Kalau situasinya seperti itu, maka kampus bukan jadi pusat pengetahuan, tapi pusat beban mahasiswa. Kampus mulai kehilangan orientasinya, kampus kehilangan tujuannya kenapa ia berdiri jika dalam situasi sekarang ini dia tidak melakukan fungsi apapun: peran politis dan kritisnya dalam penanganan pandemi ini tidak muncul, yang kedua upaya paling penting dalam meringankan beban mahasiswa nyaris tidak dilakukan, bahkan pemerintah juga tidak segera melakukan kebijakan itu,” tutup Eko.
Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan Alvie, membahas tentang pemotongan dana abadi pendidikan untuk riset selama pandemi yang telah diatur dalam Perpres No 54 tahun 2020 tentang Perubahan Postur APBN. Dana riset itu dipotong sebesar 94%. Jika dibandingkan dengan dana pertahanan hanya dipotong 6% bahkan dana pembangunan infrastruktur ibu kota baru di Kalimantan yang tidak dipotong sama sekali, artinya dalam masa pandemi ini pemerintah lebih mementingkan menjaga stabilitas ekonomi, daripada melakukan riset untuk mencari vaksin.
Berikut Alvie memaparkan tentang sistematika anggaran perguruan tinggi, yang pertama ia jelaskan bahwa jika perguruan tinggi negeri tidak mengalami pemotongan UKT, maka di perguruan tinggi swasta pun tidak akan mengalami pemotongan SPP, dan kampus tidak akan pernah memberikan kompensasi biaya kuliah dengan alasan kampus sedang mengalami defisit, padahal menurutnya semua perguruan tinggi disuplai oleh negara setiap tahun. Hal itu diatur dalam undang- undang yayasan (UU No 16 tahun 2001) dalam pasal 52 tentang Postur Anggaran yang diberikan dari pemerintah kepada yayasan, dalam hal ini yayasan yang mengatur kampus.
Lalu masalah bantuan biaya selama pandemi, banyak kampus yang hanya memberikan bantuan biaya tidak lebih dari 1juta dan rerata hanya memberikan bantuan sebanyak 300 ribu, bahkan ada yang lebih kecil lagi.
“Bantuan biaya itu tidak mencukupi untuk kebutuhan selama pembelajaran jarak jauh karena bantuan sebanyak itu diberikan dalam waktu 1 semester, maka itu banyak mahasiswa yang memprotes rektor kampus masing masing, tetapi untuk bisa meredam protes mahasiswa, kampus memberikan sembako untuk mahasiswa yang masih ada di sekitaran kampus,” ujar Alvie.
Untuk PTN memiliki sumber pemasukan APBN yang dialokasikan untuk biaya tidak langsung, sedangkan untuk PTS biasanya tidak mengandalkan sumber APBN dan mengutamakan dari SPP mahasiswa, itu bisa dilihat dari laporan keuangan yang diterbitkan setiap tahun oleh kampus.
“Bagi kawan kawan yang tidak bisa mengakses laporan keuangan, sebenarnya bisa diminta pada komite informasi kampus, itu diatur dalam undang undang pasal 6 dan 7 UU no 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, karena dalam hal ini PTS itu termasuk badan publik karena ia punya kepentingan untuk menyelenggarakan kepentingan negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa,” pesannya.
Selain itu, Alvie meninjau laporan keuangan yang di dalamnya ada pendapatan kampus yang dirincikan dengan adanya dana pembangunan di dalam dana pendidikan, padahal menurut mahasiswa dana pembangunan itu tidak ada hubungannya dengan dana pendidikan, tetapi menurut kampus dana tersebut berhubungan dengan dana pendidikan. Lalu ada dana hibah yang diatur dalam UU Yayasan minimal sebanyak 500 juta, selain itu ada dana jasa, dana pemanfaatan aset, dan dana investasi.
“Karena bentuk PTS adalah korporasi paling real dalam dunia pendidikan, wajar di dalamnya ada dana-dana yang berkaitan dengan bisnis, biasanya PTS yang dinaungi oleh yayasan mempunyai bisnis di dalamnya,” ucap Alvie.
Alvie mengungkapkan, untuk bisa mendapatkan kompensasi biaya pendidikan selama masa pandemi, bisa melalui metode analisis sistematika tanpa laporan keuangan dan analisis sistematika dengan laporan keuangan, tetapi kekurangan dari analisis tanpa laporan keuangan akan sulit karena harus menghitung gaji pekerja di dalam kampus, dan jika PP No.39 tahun 1982 tentang bantuan kepada PTS masih berlaku, maka PTS masih memiliki dana tambahan yang tetap setiap tahun dari pemerintah, dan bisa peraturan tersebut dijadikan rujukan untuk mendapatkan kompensasi biaya pendidikan.
“Kita bisa dapat kesimpulan bahwa untuk PTS yang dikoordinasi oleh yayasan bisa saja meminta kompensasi SPP atau mendapatkan SPP gratis, bahkan dengan argumen tanpa analisis kinerja pun bisa-bisa saja karena dalam hal ini fasilitas kampus tidak dipakai oleh kita (mahasiswa) selama kuliah online itu berlangsung,” tutupnya.