Aku & Tangan-Tangan Picik

Ingatanku melesat dengan cepat
Setumpuk cerita kembali berputar
Memori yang membuat bibir terkatup
Membungkam, diam seribu bahasa.
Aku masih ingat betul, bagaimana aku tersungkur, bersimpuh jatuh dihadapkan kenyataan
Bahwa diantara sayatan luka ‘ini benar terasa menyakitkan!’ ucapku kala itu.
Tubuhku menggigil, meski selimut tebal membungkus badan yang terkapar lemas
“Tak berdaya, dasar bodoh, kamu gagal!” ucapku yang terlalu keras menghakiminya.
Hampir-hampir tubuh ini mati, jika saja kesadaranku tidak kembali barang semenit.
Cerita yang mau tidak mau harus dilewati, menjadi memori yang terus menghantui pengembaraanku
Sedangkan bagianku, tersayat ataupun tidak, tiap gontai langkah dunia tetap menuju halaman berikutnya.
Aku menutup mata sejenak, melupakan kaset kusut yang berputar di sekelilingku.
Bau penghianatan, kebengisan manusia yang tak patuh, piawai menebar janji, pencuri licik yang mencuci uang-uang kelas rendah atau kaset kusut manusia penebar racun mematikan, seolah dunia adalah miliknya.
Meski radarnya masih menghampiri mimpi
Kita harus benar-benar sadar untuk paham
Kamu tidak bodoh untuk membeku dan membiarkan semua nelangsa di tangan-tangan picik
Jiwamu tidak kerdil dan bukan tidak bertuhan untuk masih dan tetap memperjuangkan hidup barang sehari atau sehari lagi.
Meski mati berkali-kali, rupanya dewasa membuat kita sadar;
Meredam radang diantara sayatan luka, berjalan menapaki mimpi baru untuk bebas dari tiran-tiran nafsu manusia.
Dan, Aku.. Tentu yang tidak ingin mati sia-sia dan akan tetap menanam bunga-bunga perlawanan.
Penulis: Laila Hidayati