Bola Panas Politik Praktis, Sebuah Pergeseran Nilai Di Kampus Hijau
cakrawalaide.com — Kampus merupakan simulasi dari kehidupan masyarakat, yang ditandai dengan adanya berbagai manusia dengan latar belakang, karakter, ras, agama, pemikiran, status sosial dan kepentingan kolektif dalam suatu sistem yang jika dilihat, hampir menyerupai suatu kelompok masyarakat. Meskipun secara kompleksitasnya tidak sebanding dengan suatu kelompok masyarakat, akan tetapi dinamika yang terjadi di dunia kampus mampu mendeskripsikan sebuah tatanan kehidupan masyarakat di masa yang akan datang. Secara filosofis, kampus diibaratkan sebagai sumber mata air yang mengalirkan air ke lingkungan sekitarnya sehingga vegetasi disekitarnya tumbuh dengan subur. Artinya salah satu indikator urgensial sebuah kampus dikatakan ideal apabila kampus tersebut mampu membuktikan eksistensinya sebagai sumber keunggulan (Center Of Excellence) yang mentransfer keunggulannya itu ke lingkungan sekitarnya.
Sebagai dasar implementasi kegiatan, sebuah kampus seyogyanya berkiblat pada Tridharma perguruan tinggi, agar kampus sebagai pusat pendidikan, penelitan dan pengabdian terhadap masyarakat benar-benar berfungsi demi kemajuan bangsa khususnya di bidang ekonomi, budaya dan pengembangan sumberdaya manusia lainnya. Sehingga, wajarlah kampus seringkali diumpamakan sebagai Laboratorium Negara, karena di dunia kampuslah tempat kaum intelektual diasah dan ditempa untuk mengubah masa depan bangsa yang lebih baik lagi.
Akan tetapi, bagaimana ceritanya jika sebuah kampus telah terkontaminasi dengan budaya politik praktis? Ini tentu menjadi suatu hal yang mengganjal dalam benak kita. Kampus yang idealnya merupakan institusi yang netral hanya diperbolehkan beroirientasi kepada hal-hal yang sifatnya edukatif dalam mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran. Sehingga akan lain ceritanya jika sebuah kampus yang di kenal sebagai tempat yang memberikan pengajaran intelektualitas, emosionalitas, dan spiritualitas bermetamorfosa menjadi kandang praktik politik yang subur akan ketidakdewasaan yang dilatarbelakangi oleh mainset egoisme masing-masing individu yang lebih dominan ketimbang nilai-nilai idealisme. Bahkan ada pemahaman miring yang sering dikeluarkan oleh beberapa mahasiswa yang mengklaim dirinya sebagai aktivis, bahwa kampus merupakan sarang penghasil politikus ulung. Implikasinya, muncul pemahaman terhadap eksistensi kampus, yaitu kampus merupakan wadah yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh kalangan mahasiswa agar setelah ia lulus dari bangku kuliah, perjalanan politiknya bisa lebih mulus.
Fenomena anomali tersebut terjadi hampir di seluruh kampus di indonesia, salah satu contohnya di kampus hijau, Universitas muslim Indonesia. Tindakan-tindakan yang cenderung terhadap politik praktispun kerap terjadi. Itu ditandai dengan tumbuh suburnya hama-hama pragmatis yang telah menggerogoti paradigma mahasiswa. Ada beberapa fakta miris yang menggambarkan betapa menakutkannya kampus UMI yang telah terinjeksi patologi politik praktis yang sungguh sangat mengkhawatirkan, seperti praktik politik yang dilakukan oleh beberapa kalangan mahasiswa yang ditunggangi oleh manusia-manusia yang telah terdekadensi moralnya.
Secara entitas pendidikan, mahasiswa dilarang terlibat ataupun terjun dalam mekanisme politik praktis, melainkan harus lebih memfokuskan dirinya dalam proses pendidikan. Tugas Fundamental dari mahasiswa adalah belajar dan mendalami disiplin ilmunya masing-masing dengan mendapatkan hak-haknya dan menjalani semua kemestian aturannya. Mahasiswa juga memiliki hak kebebasan dalam berekspresi, menggali jati dirinya sebagai mahluk intelektual melalui organisasi internal maupun eksternal kampus. Akan tetapi, di kampus yang katanya menjunjung niali-nilai keislaman ini, kebebasan mahasiswa dalam berekspresi itu dimanfaatkan oleh segelintir orang yang memiliki kepentingan tertentu. Seperti, adanya kongkalikong atau barganning antara kelompok mahasiswa dengan gerombolan-gerombolan politisi. Bahkan lebih parahnya lagi, gerombolan-gerombolan politisi tersebut ada yang memangku jabatan sebagai dosen maupun pimpinan fakultas.
Sudah sering kita saksikan bersama fenomena-fenomena yang bak mimpi buruk terjadi di kampus UMI. Salah satu fenomana dari sekian fenomena buruk tersebut ialah keterlibatan beberapa oknum birokrasi kampus, entah dosen maupun pimpinan fakultas dalam politik praktis. Dan lebih buruknya lagi, dilibatkannya beberapa kelompok mahasiswa, baik diinternal, maupun di eksternal kampus dalam kepentingan politik mereka. Padahal, secara yuridis, dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, mengisyaratkan bahwa dosen atau pimpinan fakultas haruslah orang yang memiliki kapasitassebagai pendidik, mengerti dan memahami peserta didik (mahasiswa), bukan melibatkan mahasiswanya dalam kepentingan politiknya. Jika ada argumentasi yang membenarkan tindakan tersebut, yang katanya sebagai proses pembelajaran terhadap mahasiswa, menurut penulis itu hanya sebuah pembenaran belaka atau hanya sekedar retorika kosong. Keterlibatan mahasiswa dalam beraviliasi dalam politik praktis (alias politik tak sehat) merupakan suatu perbuatan yang mencederai proporsionalitas mahasiswa yang seharusnya di junjung tinggi.
Idealisme Yang Ternodai, Penyebab Utama Pergeseran Fungsi Kampus
Di kalangan mahasiswa yang aktif dalam organisasi tertentu, istilah politik baginya sudah tidak asing lagi. Bahkan ada beberapa organisasi kampus yang merupakan embrio dari partai politik tertentu. Ketika kepentingan politik praktis menjalar pada tubuh kampus, maka ada tujuan yang terselubung. Dan tujuan terselubung itulah yang sering mencibiri keindependensian organisasi kemahasiswaan. Apalagi, kepentingan politik itu di bawa oleh beberapa kalangan dosen, maupun pimpinan fakultas, sehingga wajah kampus pun berubah seperti sebuah opera yang memerankan lakon-lakon manusia yang menodai nilai-nilai idealis. Main mata antara mahasiswa dengan para birokrasi kampus (dosen maupun pimpinan fakultas) membuat dinamika kampus tidak fair sebagaimana mestinya.
Ada beberapa fakta anomali yang penulis temukan terkait praktik politik praktis di lingkungan kampus pada umumnya, dan di fakultas pada khususnya. Seperti adanya barganning (kontrak politik) antara pihak dosen atau pimpinan fakultas dengan mahasiswanya. Biasanya, barganningnya berupa pengurusan akademik si mahasiswa akan dipermudah tanpa melalui mekanisme yang berbelit-belit, asalkan si mahaiswa tersebut siap di garda terdepan dan memberikan dukungan mati-matian terhadap si dosen atau pemimpin fakultas yang memiliki kepentingan politik. Atau bahkan, si mahasiswa tersebut mengendalikan organisasinya (internal maupun eksternal kampus) dalam memberikan dukungan melalui simbol pergerakan mahasiswa. Dan juga, sering kita temui kampanye-kampanye politik yang di lakukan secara terbuka di ruang lingkup kampus dan fakultas.
Muncul di benak kita sebuah pertanyaan besar, mengapa fenomena buruk tersebut dapat terjadi sehingga kampus seolah-olah mengalami sebuah pergeseran fungsi? Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pergeseran fungsi kampus, yaitu munculnya budaya individualisme, pragmatisme, dan permisitifisme yang notabenenya merupakan pemahaman moral yang diimplementasikan dalam kehidupan politik, social, dan budaya. Ketiga pandangan inilah yang memposisikan masyarakat akademik di kampus (baik dosen maupun mahasiswa) kian jauh dari sebuah tatanan nilai dalam memerankan eksistensinya masing-masing. Implikasi dari masuknya politik praktis dalam dunia kampus sungguh sangat mengebiri eksistensi kampus sebagai wadah edukasi. Otoritas ilmiah dan wibawa kampus pun pudar, baik di mata masyarakat kampus, maupun di luar masyarakat kampus.
Substansi sebenarnya politik praktis bagi masyarakat akademik Kampus
Sebenarnya, politik praktis bukanlah sesuatu yang harus di pertentangkan atau ditakuti (phobia). Masuknya politik praktis dalam dunia kampus juga memiliki makna urgensi terhadap masyarakat akademik yang bernaung di kampus UMI, Pertama, politik praktis di kampus merupakan bahan pembelajaran, mahasiswa yang disiplin ilmunya memiliki korelasi dengan ilmu politik (seperti Di Fakultas Hukum), bahkan bukan hanya itu, masyarakat kampus UMI pun memiliki kesempatan secara langsung untuk mengamati kegiatan sosialisasi politik, dan melakukan praktik partisipasi politik berupa penyampaian input-input politik.
Kedua, sebagai stimulan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat akademik terkait problematika politik praktis yang berkembang dalam fakta-fakta politik dan bukan hanya sekedar wacana belaka. Ketiga, kegiatan politik praktis di kampus bisa menjadi bahan referensi bagi masyarakat akademik untuk melakukan gerakan-gerakan moral dan intelektual dalam upaya transformasi sosio-politik di dalam masyarakat. Misalnya, melakukan sebuah gerakan sosial yng mengkritisi penyimpangan kekuasaan yang dilakukan oleh elit politik yang di nilai tidak pro terhadap masyarakat. Keempat, politik praktis di kampus memberikan parameter formal bagi masyarakat akademik kampus di dalam mengevaluasi relevansi politik das sollen (yang seharusnya) dengan das sein (kenyataannya).
Sebagai masyarakat intelektual, seyogyanya kita memandang dan memanfaatkan konsep politik praktis sesuai dengan nilai-nilai Universal (yang semestinya), bukan melenceng dari pada itu. Dan, alangkah baiknya masyarakat akademik jika terlibat dalam kancah politik praktis, sudah memiliki kapasitas, baik secara intelektual, emosional, maupun secara spiritual. Karena terjun ke dalam politik praktis bukan menjadi suatu persoalan, akan tetapi jika tanpa kapasitas yang matang, maka kita akan prematur.(*/her)