Caping dan Perjuangan Keadilan Perempuan Polongbangkeng

Makassar CakrawalaIDE.com Jauhnya jarak perjalanan dari Takalar ke Kota Makassar tak menghalangi semangat warga Polongbangkeng khususnya para perempuan yang menggunakan caping, tak hanya sebagai pelindung di bawah teriknya matahari tapi juga sebagai identitas petani yang menjaga pangan, merawat tanah, dan mempertahankan kehidupan pada aksi  Peringatan Hari Tani Nasional yang berlangsung di Polda Sul-Sel dan Kantor Gubernur, Rabu (24/09/2025).

Salah satu warga perempuan Polongbangkeng Salsari Dg Ati, mengeluhkan terkait perusahaan yang masuk di kampungnya, Ia merasa dirugikan bahkan dimiskinkan. Yang menyebabkan sulitnya untuk menyekolahkan anak seperi hari-hari sebelumnya, serta tidak dapat lagi merasakan beras yang ditanamnya sendiri.

“Masakan susah baru tidak tertentu penghasilan, jadi bukan hanya dimiskinkan tapi sangat dimiskinkan,” keluhnya.

Kemudian Ia juga membicarakan soal perjanjian antara PTPN 1 Regional 8 dan pihak pemerintah yang HGU-nya telah melewati batas perjanjian, di mana seharusnya hanya berjalan selama 25 tahun tapi malah ditambahkan menjadi 47 tahun.

“Jadi mau tidak mau masyarakat berjuang untuk dikembalikan tanahnya,” lanjutnya.

Selain itu, salah seorang perwakilan dari Solidaritas Perempuan Anging Mammiri (SPAM) yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah (GRAMT) menuturkan bahwa selama pendampingan sudah banyak upaya dan bentuk perlawanan yang dilakukan oleh mereka untuk mendorong pelaksanaan reclaiming, di mana ini merupakan upaya bagi para petani perempuan dalam memperjuangkan ruang hidupnya. Tidak hanya itu, untuk bertahan hidup mereka melakukan penanaman di sela-sela tebu sementara waktu.

“Jadi dengan melakukan reclaiming itu salah satu perjuangan yang bisa dilakukan perempuan petani untuk memperpanjang nafas,” tutur Desy.

Dalam hal ini, mengenai soal kekerasan yang dilakukan Aparat Kepolisian Seperti kasus yang terjadi di tanggal 23 Agustus beberapa perempuan petani yang mengalami kekerasan, menyebabkan seluruh tubuhnya itu lebam-lebam karena ditarik oleh pihak polisi.

“Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh negara yaitu adalah kekerasan fisik maupun psikis yang tentu menimbulkan trauma bagi teman-teman perempuan petani,” sambungnya.

Tidak hanya itu, GRAMT mendesak untuk mengembalikan kedaulatan Agraria kepada rakyat, petani, nelayan, buruh, dan masyarakat miskin kota.  Terdapat 9 tuntutan yang disebutkan oleh pihak SPAM, salah satunya yaitu poin terakhir yang ingin memastikan perwujudan Reforma Agraria harus adil secara merata.

“Mendorong untuk mewujudkan Reforma Agraria yang berkeadilan gender sebagai subjek, kemudian memastikan partisipasi perempuan itu bermakna dalam setiap perumusan kebijakan agraria dan pembangunan,”  desaknya.

Untuk itu, pihak LBH yang selalu ikut serta mengikuti perkembangan yang terjadi di Polongbangkeng yaitu Hasby mengatakan terkait kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Berkaitan dengan UU Hak Asasi Manusia dan ada juga konferensi mengenai  perlindungan dari tindakan kekerasan dan diskriminasi gender. Meski dalam pengamanan polisi tak mestinya melakukan pemaksaan terhadap petani untuk berhenti memperjuangkan haknya.

“Nah itu yang seharusnya jadi rujukan.” Tutupnya.

Penulis: Muh Asykur Zulhafair A

Redaktur: Sudirman Rasyid