Ironi Pendidikan Di Hari Pendidikan

0

images (1)Bangsa yang besar dan maju tidak terlepas dari bagaimana dunia pendidikan menjadi nyawa utamanya. Pintarkan rakyatnya dari segi moralitas, maka negara akan sejahtera seperti amanah tujuan negara ini yang terbentuk di tahun 1945. Semangat pendidikan mampu menjadikan negara ini keluar dari terowongan gelap yang membutakan mata dan mengantarkan mata pengetahuan untuk melihat pesona warna pelangi dan senja dunia.

Bicara soal pendidikan di Indonesia, memang tak pernah ada habisnya, dan tak akan pernah basi untuk dibuka tabirnya. Sejak pertentangan golongan Budi Utomo dan Sarekat Islam di zaman kolonialisme sampai dengan zaman milenium ini, permasalahan pendidikan tak kunjung sampai pada akar permasalahanya. Apalagi ditambah dengan perdebatan kurikulum dan metode belajar yang dinilai tidak komperhensif untuk kalangan pelajar. Semakin menarik untuk untuk mengulas hal-hal yang mesti ketahui dari kebobrokan pendidikan Indonesia saat ini.

 

Diskriminasi Pendidikan

Dari ufuk timur Papua di Merauke sampai ufuk barat Sumatera di Sabang, kita bersatu dalam harmoni Bhineka Tunggal Ika dan diikat dalam negara kesatuan yang berbentuk republik, demikian amanah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Berbeda-beda tapi tetap satu jua, hari ini hanya menjadi slogan mati yang telah tinggalkan orang-orang. Penafsiran Bhineka Tunggal Ika hari ini telah jauh api dari panggang dengan apa yang namanya kesatuan dan persatuan, menjadi tidak berdaya di gilas kekuatan individualistik. Maka layaklah penafsiran seperti ini telah membuka jurang dunia pendidikan menjadi lebih besar.

Hal ini menjadi tak terelakkan jika di lihat dari fenomena tranformasi keilmuan antara penduduk yang berada di pulau jawa dan yang berada di luar jawa. Sangat terpampang jelas di depan mata kita perbedaan yang ada. Di ufuk timur Fasilitas dan kemudahan untuk mengakses informasi-informasi masih sangat minim dibanding dengan fasilitas di ufuk barat. Ketersediaan fasilitas seperti inilah yang telah menjadi garis pemisah tersebut.

Dampak besar yang terjadi seperti ini membawa efek yang sangat besar terhadap kemajuan bangsa yang dinilai dipusatkan hanya untuk kalangan tertentu. Daerah yang tidak difasilitasi dunia pendidikan dengan layaknya hanya dapat menatap kemajuan daerahnya dikembangkan dan diisi oleh orang-orang yang telah terdidik dari sekolah-sekolah berfasilitas lengkap.

Tidak berhenti disitu saja, masyarakat yang ekonominya lemah hanya mampu memberikan fasilitas kepada anak-anaknya duduk berdiskusi dengan komunitas pencinta pendidikan untuk menerima ilmu di pinggir jalan atas dasar partisipatif dengan berebut bunyi suara pengajar dan bisingnya kendaraan yang lalu lalang di telinga mereka.

Walhasil, pemerataan hak berpendidikan yang diamanahkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 31 ayat (1) ”setiap warga berhak mendapatkan pendidikan” hanya menjadi suatu pencapaian cita-cita semata tanpa aktualisasi berarti sebagai tanggung jawab negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

Bisnis Pendidikan

Sekolah yang menjadi ladang untuk menempuh pendidikan menjadi sasaran empuk bagi kelompok yang memiliki modal besar demi merauh untung besar dari bisnis ini. Masyarakat mana yang telah dijaminkan hak konstitusinya oleh negara untuk menempuh pendidikan lantas mereka tidak menyegerakan diri untuk masuk dalam dunia pedidikan.

Landasan inilah yang menjadikan para pemodal untuk menjalankan bisinisnya karena semakin besar kebutuhan manusia terhadap sesuatu, maka berbanding lurus untuk orang mengusahakannya. maka sangatlah wajar jika masyarakat ingin memenuhi hasrat untuk memenuhi kebutuhannya.

Dunia pendidikan yang erat kaitannya dengan sekolah, hari ini hampir tak ubahnya bagai warung angkringan yang mejajakan aneka ragam makanan dengan kualitasnya belum diketahui persis apakah menyehatkan ataukah memperparah kondisi kesehatan tubuh.

Sama halnya melihat dunia pendidikan hari ini bak jamur yang tumbuh dimusim hujan. Kualitas sekolah yang menampilkan bermacam-macam akreditasi yang entah dari mana mereka dapatkan telah menjadi penghias agar orang-orang menilai bahwa inilah yang terbaik untuk menempuh kebutuhan pendidikannya. Tapi sayangnya masyarakat kita tak pernah menilai dengan kacamata lain untuk melihat isi otak para pemodal, ”keuntungan sebesar-besarnya dengan mengenyampingkan mutu pendidikan”. Sehingga wajar saja eksistensi dari dunia pendidikan yang mestinya mencerdaskan kehidupan bangsa keluar jauh dari relnya.

Pola bisinis seperti ini mesti kita telaah secara mendalam agar tidak menjadi korban dari bisnis pendidikan yang menjamur dinegeri ini. Mesti cermat dalam melihat kualitas sekolah yang menjadi tujuan kita untuk memenuhi hak berpendidikan. Akreditasi yang dipampang besar harus dipahami dari mana asal-usulnya.

 

22716_375113449353207_8090830000062587226_n

Risman Munawir Zaini,

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *