Penulis: Laila Hidayati

Makassar, Cakrawalaide.com – Sore itu pukul 16.06 WITA, api berkobar menghiasi ruas-ruas jalan, sekelompok mahasiswa dengan kepalan tangannya berteriak “Pemerintah membuat kebijakan yang timpang” pekik Shaka lulang salah satu massa aksi Aliansi Mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (AMU) sembari mengangkat toa merah, dengan kening yang sedikit mengkerut di dahinya.

Isu Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) membuat masyarakat di penjuru Nusantara naik pitam. Pada awal September isu ini mencuat dipermukaan, terutama kalangan mahasiswa yang menyuarakan aspirasi masyarakat.

Hingga 03 September 2022, putusan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) ditetapkan seolah-olah tak mendengarkan jeritan rakyat, “Saya merasakan dampak dari kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), aktivitas sehari-hari itu sangat ketergantungan dengan penggunaan BBM, saya sangat tidak setuju dengan penetapan harganya,” keluh Bu Iza, salah seorang warga di kota Makassar.

Di sela-sela kemacetan jalan nampak seorang bapak pengendara ojek online (Ojol) dengan guratan lelah di wajahnya, ia bercakap tentang keluh kesahnya, di tengah-tengah pandemi Covid-19 hingga pemerintah menaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), ”Sessa jaki, rumah tangga-ku sejak pandemi Covid-19 diambang kehancuran, pas ki naik BBM na tinggalkan istriku,” ungkapnya dengan nada sendu, dengan sedikit mengeraskan suara di tengah-tengah kebisingan jalan.

Kenaikan BBM sangat berdampak bagi perekonomian keluarga Ojan, (Salah seorang Ojol yang memberikan dukungannya kepada massa aksi), ia mengungkapkan tarif ojek online saat kenaikan BBM dipotong, tentunya sangat berdampak bagi kehidupan keluarganya. Hingga akhirnya sang istri memutuskan cerai karena alasan perekonomian.

Bulan September kali ini agak berbeda dari biasanya, tagar #septemberhitam pun ramai diperbincangkan melalui media soisal, tagar tersebut di dominasi oleh penolakan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Seharusnya, pemerintah menjadikan ini sebagai bahan refleksi terkait kebijakan mereka yang justru menuai kritikan dari rakyatnya.

Pukul 17.31 WITA, mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa UMI mulai membentuk lingkaran dipandu oleh Jenderal Lapangan (Jenlap), “Kawan-kawan aliansi mahasiswa UMI menolak kebijakan yang tidak pro terhadap masyarakat,” tuturnya sembari mengangkat jari telunjuk.

Suara klakson kendaraan saling bersahutan, Aliansi Mahasiswa UMI bergeser memblokade jalan dengan membentangkan spanduk yang menutupi separuh jalan dan petaka yang bertuliskan “Rezim Buta dan Tuli, Korup dan Represif”.

Di depan spanduk yang terbentang Jendlap mengangkat toa sembari mengucapkan kalimat yang di tujukan kepada pengguna jalan “Aksi demonstrasi ini dilakukakan berantai, hingga pemerintah selaku pemangku kebijakan mendengar, kebijakan yang ditetapkannya menindas rakyat,” teriaknya dengan lantang.

Di tengah-tengah kemacetan jalan, dukungan dari warga pengendara roda empat maupun roda dua juga berdatangan dengan narasinya meneriakan “Turunkan Harga BBM” teriak salah satu pengendara roda dua.

Di sela-sela kesibukan massa aksi, salah seorang warga turun dari kendaraan roda empat lalu menghampiri massa aksi untuk membagikan minuman teh pucuk sembari berteriak “lanjutkan dek” sebagai dukungan penolakan kenaikan BBM, dibantu oleh segerombolan bocah yang dengan semangatnya membagikan ke mahasiswa.

Lantunan Adzan Maghrib memecah kebisingan, sejenak mahasiswa istirahat di bahu jalan, jendlap menurunkan toa merah yang sebelum itu di angkatnya.

Hingga pukul 18.15 api semangat masih terus berkobar, Sahaka (salah satu massa aksi AMU) di penghujung puisinya berteriak dengan tegas “Keadilan hanyalah omong kosong, kesejahteraan hanyalah tipu muslihat,” suaranya lantang dengan rahang mengeras.

Dalam selebaran yang dibagikan ke pengguna jalan, Aliansi Mahasiswa Universitas Muslim Indonesia menyampaikan bahwa kondisi masyarakat Indonesia, sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan.

Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah justru mencekik rakyatnya. Kenaikan BBM mempengaruhi harga bahan pokok. Masyarakat miskin makin dihadapkan dengan situasi yang semakin sulit untuk mengakses bahan pokok untuk konsumsi sehari-hari.

Tidak hanya itu, alih-alih menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) seharusnya pemerintah melakukan kontrol terhadap sasaran BBM bersubsidi karena dalih kenaikan BBM sekitar 60 persen masyarakat kelas atas menikmati BBM bersubsidi.

Dalam wawancara, Fattah kembali berujar “Dari fraksi partai PDI menyatakan penolakan kenaikan BBM, kita tentunya tidak langsung memperdayainya, mahasiswa harus terus bergerak, jangan sampai itu adalah drama pemerintah saja”.

Hingga pukul 19.48 WITA, massa aksi di arahkan oleh jendlap untuk membuat simpul dan tidak berdialog kepada orang yang bukan dari Aliansi Mahasiswa UMI untuk menjaga agar tak terpecahnya massa “hati-hati kawan, intel ada dimana-mana, jangan sampai kita terprovokasi dan mereka memecah belah kita, aksi kita adalah aksi yang terkonsolidasi”. Suara Jendlap melengking.

Menjelang Isya, semangat mereka tak kunjung surut dengan menegaskan “Aksi ini akan terus berlanjut esok hari, hingga pemerintah mendengar keresahan masyarakat”. Tak sampai disitu, kehangatan di tengah dinginnya malam terus terjaga bersama dengan terbakarnya kemarahan mereka.

Teriakan orator menggema di udara bersamaan dengan suara klakson kendaraan. Di penghujung tahun ini tak ada perayaan, rakyat melarat dengan suara ketukan gelas di istana negara, “Pendemi telah mengkoyak-koyak hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia, kecuali oligarki,” ujar AMU, sebagai bentuk kekecewaan atas kebijakan pemerintah, dalam selebaran yang mereka tuliskan.

Redaktur: Sahrul Fahmi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *