Kampus Subsidi Mahasiswa: Bantuan Tak Jelas, Pencitraan Di mana-mana
Oleh: Amri N. Haruna
Kata pihak kampus, banyak subsidi diberikan saat pendemi covid-19. Di satu sisi, mahasiswa merasa tidak pernah dapat bantuan.
Cakrawalaide.com – Siang itu, Hani Maharani mendadak menelpon orang tua di kampung, Bima, Nusa Tenggara Barat. Ia memohon untuk buru-buru dikirimkan uang. Kantongnya kering, begitu pun kuota internet, sekarat. Di saat bersamaan, sebentar lagi akan berlangsung kuliah daring. Hani kelimpungan, ia sedang habis-habisnya.
“Saya kesusahan sekali di situ,” ucapnya saat dihubungi, Kamis 7 Mei 2020.
Sekitar empat jam kemudian kiriman orang tua masuk ke rekeningnya. Sayang, Hani sudah tak tertolong. Mata kuliah Ilmu Perundang-Undangan dan Hukum Perbankan Islam yang berlangsung sedari siang hari, lewat begitu saja. Hani terpaksa absen di dua mata kuliah itu.
“Ini benar-benar buat saya kesal,” ujarnya.
“Saya mengutuk para dosen yang tidak mengerti bahwa tidak semua mahasiswanya selalu ada (kuota internet).”
Saat itulah puncak kekesalan Hani selama ini. Sejak memulai kuliah daring 17 Maret 2020 lalu, ia mesti siap siaga dengan ponsel pintar dan akses internet. Sebabnya, dosen kerap kali memulai perkuliahan secara mendadak, bahkan saat malam. Jika tak siaga, kejadian serupa bisa kembali menimpa.
“Mustahil bisa dapat info kalo kita ga punya paket,” tukasnya.
Hani adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar angkatan 2018. Sama dengan semua kampus di Indonesia, otoritas UMI memutuskan untuk mengganti kuliah tatap muka dengan kuliah secara daring. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi penyebaran virus corona.
Namun sayangnya, kebijakan ini dinilai tanpa persiapan matang.
Soal akses internet misal. Kata Hani, tak semua mahasiswa mampu membeli kuota untuk mengikuti kuliah daring. Ia mengeluhkan pengeluaran yang lebih banyak selama mengikuti kuliah daring. Sementara kampus enggan menanggung biaya tambahan tersebut.
“Saya kuliah pake paket sendiri, dan gak ada sedikit pun bantuan,” ucapnya.
Sekitar tiga minggu pelaksanaan kuliah daring, pihak kampus sebenarnya sempat mengimingi mahasiswa soal bantuan kuliah selama pandemi covid-19. Rektor UMI, Prof Basri Modding mengklaim, pihaknya akan mensubsidi kuota internet sebanyak 30 GB kepada tiap mahasiswa untuk memastikan kelancaran kuliah online. Katanya, bantuan itu adalah implementasi hasil kerjasama UMI dan Telkomsel.
Sejumlah media massa di Makassar kemudian ramai-ramai mengangkat berita pemberian subsidi tersebut. Langkah itu dinilai sebagai kabar baik untuk mahasiswa yang kesusahan mengikuti kuliah daring.
Pasca pemberitaan tersebut, kejanggalan mulai terungkap. Rupanya, kuota 30 GB yang dimaksud Prof Basri sebagai hasil kerjasama pihak UMI dan Telkomsel adalah layanan tersendiri Telkomsel. Pelanggan Telkomsel di seluruh penjuru daerah pelosok berhak mengakses layanan gratis tersebut meskipun bukan mahasiswa UMI.
Klaim kuota internet 30 GB ini juga sempat diposting dalam akun resmi Instagram @umi.ac.id. Namun karena banyaknya mahasiswa UMI mengejek-ejek klaim bantuan itu, postingan itu akhirnya dihapus tanpa ada klarifikasi lebih jauh.
Kuota internat hanyalah satu dari kesekian masalah perkuliahan secara daring. Hani melanjutkan, tak semua dosen sadar akan tanggung jawab untuk mengajar. Katanya, tiga dari sepuluh mata kuliah yang ia ambil semester ini tak pernah masuk kelas. Sementara dosen yang bersangkutan juga tak memberi kejelasan.
Hani kecewa dengan ini, Biaya Penyelenggaraan Pendidikan (BPP) sebesar Rp5 juta yang ia bayarkan semester ini seolah menguap begitu saja tanpa sisa.
“Nda mauja rugi begini, saya belajar di rumah mau dua bulan ini,” ucapnya. “Coba libur biasa tanpa ada kuliah amanji. Ini sudah gak efektif terus gak tau diri lagi, BPP mahasiswa tetap lancar,” ucapnya.
Menganggapi keluhan ini, pihak UMI kemudian berjanji akan memberi subsidi dana pembelajaran daring senilai Rp300.000kepada mahasiswa untuk meringankan biaya kuliah mereka. Rencananya realisasi subsidi ini melalui pengurangan BPP untuk semester depan. Meski begitu, subsidi dana ini dinilai tak sepadan dan tak membantu kondisi sekarang.
Hani mengatakan, pengurangan Rp300 ribu itu sangat sedikit dibandikan dengan BPP yang ia bayarkan. Katanya, jika memang pihak kampus benar-benar ingin membantu, semestinya kampus membebaskan BPP mahasiswa, bukan “membantu” lewat berita saja.
“Mikir kek gimana kondisi dan situasi saat ini, orang lagi darurat corona, yah kalo gak efektif dan gak semua dosen bisa menjalankan tugasnya, kan rugi kami-kami ini.”
Kepala Humas UMI, Nurjannah Abna mengatakan, pihaknya telah membeli ratusan akun aplikasi Cloud yang merupakan kerjasama dengan Telkomsel. Akun ini telah didistribusikan kepada dosen untuk kuliah daring, ujian proposal ataupun skripsi. Nurjannah juga bersikukuh, subsidi 30 GB kuota internet yang diberikan sebelumnya hanya dapat diakses oleh mahasiswa.
“Hanya dapat digunakan oleh mahasiswa untuk mengikuti perkuliahan secara onlinebilamana dosen telah memiliki akun cloudX,” ucapnya saat dikonfimrasi, Sabtu 9 Mei 2020.
Menanyakan lebih jauh soal polemik kuota internet yang dimaksud, hanya saja hingga berita ini dimuat, Nurjannah enggan memberi jawaban. Termasuk soal keluhan mahasiswa yang merasa subsidi dana Rp300 ribu yang terlalu sedikit, ia juga tak menjawab.
Kembali kata Hani, akun cloud yang didistribusikan dianggap tak membantu mahasiswa. Pasalnya, dosen tak memakai aplikasi tersebut untuk kuliah daring.
Kampus Ramai-ramai Membual Soal Subsidi
Apa yang terjadi di kampus UMI hampir dirasakan semua kampus besar di Makassar, Universitas Negeri Makassar (UNM) salah satunya. M Aqsha BS, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNM mengatakan, bantuan yang selama ini digemborkan pihak kampus tak pernah benar-benar dirasakan mahasiswa.
Sebelumnya, UNM mengeluarkan Surat Edaran Nomor 933/UN35/TU/2020 pada April 2020. Pada poin pertama surat edaran tersebut menjelaskan, bahwa mahasiswa dan dosen akan dibantu dengan tiga fasilitas bandwitdhinternet selama kuliah daring. Ini disebut sebagai hasil kerja sama UNM dengan sejumlah pihak.
Pertama, Telkom Indonesia memberikan bandwitdh secara unlimited kepada mahasiswa dan dosen SSO wifi.id UNM di manapun terdapat hotspot wifi.id. Ke dua, Telkomsel dan Indosat memberikan kuota 30 GB untuk mengakses Ims.unm.ac.id. Dan ke tiga, mahasiswa aktif akan diberikan subsidi kuota internet senilai Rp50.000.
Aqsha menilai subsidi ini tak tepat dan tak membantu mahasiswa. Pada poin pertama misal, tak semua mahasiswa memiliki jaringan wifi.id. Riset BEM UNM menujukkan, dari 660 mahasiswa yang mereka survei hanya 57 mahasiswa yang bisa mengakses layanan tersebut. Sisanya mesti menggunakan kuota internet masing-masing.
“Hampir mustahil itu akan dinikmati oleh mahasiswa,” ucapnya saat dihubungi, Jumat 8 Mei 2020.
Begitu pun dengan subsidi kuota 30 GB yang tidak dapat mereka gunakan karena mesti menggunakan aplikasi Cloud. Padahal saat kuliah daring dosen tak memakai aplikasi tersebut. Selain itu, klaim subsidi 30 GB juga serupa dengan yang dilakukan kampus UMI, ini adalah layanan gratis dari Telkomsel tersendiri.
Sementara poin ke tiga juga belum terbagi merata kepada mahasiswa. Padahal subsidi itu dijanjikan sebulan lalu. Meski begitu, kata Aqsha, subsidi itu dinilai tak seberapa dengan pengeluaran mahasiswa selama kuliah daring.
“Makanya kami minta solusinya keringanan UKT di semester depan,” tuntut mahasiswa Jurusan Ilmu Keolahragaan ini.
Dihubungi terpisah, Wakil Rektor II UNM, Karta Jayadi menampik bahwa subsidi internet unlimited yang diberikan pihak kampus tidak berguna bagi mahasiswa. Katanya, justru lebih banyak mahasiswa yang merasa terbantu dengan subsidi tersebut. Ia lantas mempertanyakan hasil riset yang dilakukan BEM UNM.
“BEM itu bukan representasi mahasiswa UNM,” ucapnya, Sabtu 9 Mei 2020.
Sementara terkait kuota 30 GB dari pihak Telkomsel yang ditudingkan, akunya pihaknya hanya diberitahukan soal itu dari pihak Telkom langsung. Ia mengaku tak tahu bahwasanya paket tersebut rupanya bisa diakses oleh semua pelanggan Telkomsel.
Soal tuntutan keringanan UKT, Karta tak bisa menjawab banyak. Katanya hal itu masih perlu dikaji lebih jauh.
Kekecawan sama juga disuarakan Qadar, Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin (Unhas). Ia mengetahui kabar soal pihak Unhas yang memberi subsidi senilai Rp150.000 dari berita. Hanya saja, kata Qadar, hingga kini ia belum menerima subsidi apapun.
“Belum ada kejelasan dari pihak kampus tentang hal itu. Pun kalo sekarang baru mau dibagikan, nda guna mi, perkuliahan tinggal dua Minggu mami,” ketus Qadar saat dihubungi, Kamis 7 Mei 2020.
Qadar juga geram dengan pemberitaan Unhas yang mengaku telah membebaskan UKT mahasiswa. Ia menilai pemberitaan ini hanya pencitraan, soalnya hanya ditunjukan kepada mahasiswa tingkat akhir. Sementara mayoritas mahasiswa lain masih tetap dibebankan pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Katanya, dengan minimnya layanan fasilitas yang diberikan kampus untuk semester ini, ia mengharapkan kampus untuk mengembalikan UKT yang mereka bayarkan. Sekali lagi, tak ada respon dari kampus.
“Deh, biar lagi kabar burungnya terkait itu, tidak ada juga,” ucapnya.
Kasubdit Humas dan Informasi Publik Unhas, Ishaq Rahman, tak menutup mata soal kemungkinan masih adanya mahasiswa yang belum menerima subsidi. Katanya, hal itu bisa saja dikarenakan kelambatan pihak fakultas dalam memasukan ataupun memverifikasi data.
“Untuk jumlah pastinya, mesti saya check dulu di bagian keuangan,” ucapnya saat dikonfirmasi, Sabtu 9 Mei 2020.
Lanjut Ishaq, angka nominal Rp150.000 yang disubsidi kampus diperoleh berdasarkan perhitungan rata-rata penggunaan kuota internet selama kuliah daring. Ia mengatakan, fungsinya hanya untuk meringankan, bukan bermaksud mengganti UKT mahasiswa.
“Dan perlu diingat bahwa ini namanya subsidi, bukan penggantian. Jadi, bukan untuk membayar semua penggunaan kuota mahasiswa, tapi untuk membantu meringankan,” ucapnya.
Sementara terkait kemungkinan penggantian UKT untuk semester depan, kata Ishaq, skenario tersebut mungkin saja bisa dilakukan tetapi tak berlaku untuk semua mahasiswa.
“Keringanan UKT ini akan diberlakukan sesuai permintaan dari orang tua mahasiswa atau mahasiswa atau pihak yang membiayai studi mahasiswa, tidak diberlakukan secara umum,” ucapnya.
Tulisan ini disadur dan diterbitkan ulang dari situs Aksaraintimes.id atas persetujuan penulis.