Kekuatan Pers dan Pertanyaan untuk Jati Diri
Jatidiri pers sebagai pilar demokrasi, bukan tidak memihak dengan buta sehingga ia tak melihat substansi masalah yang ada dengan alibi independensi.
cakrawalaide.com — Pers mempunyai kekuatan dalam menentukan arah gerak bangsa, membentuk opini, sekaligus menggiring opini ke satu gagasan. Karena kekuatan itulah pers dijadikan sebagai alat paling ampuh dalam menopang demokrasi. Sebagai mata rakyat terhadap kebijakan-kebijakan yang diturunkan pemerintah, dan sebagai mata pemerintah untuk menghitung dan mengadar apa yang dibutuhkan oleh bangsa, menambal setiap bocornya sistem yang dapat mengembosi demokrasi demi terciptanya kehidupan yang berkeadilan.
Sekilas kita pasti mengangguk “iya” dan yakin pers akan membuat bangsa lebih baik dan maju sejahtera. Namun hal itu bisa melampaui cita-cita atau malah tak akan pernah sampai kepada cita-cita maju sejahtera. Hal ini karena kekuatan pers tak berdiri sendiri dalam independensinya, selalu saja ada kekuatan-kekuatan lain yang berada disampingnya, untuk mengguncang ataupun mengokohkan dirinya sebagai salah satu pilar demokrasi.
Kita bisa kembali ke belakang ketika arah gerak bangsa ini masih tetap satu “Indonesia harus mencapai kemerdekaan”, semua kekuatan-kekuatan dalam lingkar bangsa diluar kolonial bersatu padu dalam mewujudkan cita-cita tersebut. Gagasan-gagasan hadir lewat tulisan-tulisan yang diterbitkan, kekuatan politik partai, rapat akbar, dan pengorganisiran seluruh sektor massa, selalu mengarah pada pemberontakan terhadap kolonial, kejenuhan terhadap politik penjajahan (imperialism) dan berusaha keluar dari sistem penjajahan sebelum terhegemonik.
Hal ini justru lahir ditahun-tahun dimana ideologi “banjir” begitu hebatnya, politik dengan landasan agama (Serekat Islam, Muhamadiyah), politik dengan landasan nasionalisme (PNI dan Indische Partij), politik dengan landasan komunisme (PKI yang merupakan pecahan dari Serekat Islam), dan politik dengan landasan kesetaraan seperti yang dilakukan oleh RA. Kartini. Sekilas ideologi ini mempunyai titik gagasan yang dengan mudah dan telanjang untuk melihat perbedaannya. Namun yang ditarik bukanlah perbedaan antara ideologi satu dan lainnya, tapi menyatukan semua ide-ide tersebut dalam melihat segala ketertindasan (di tanah sendiri) dan menentukan sikap politik bersama untuk mengakhirinya.
Semuanya menumpahkan gagasan demi mewujudkan tatanan sosial yang adil. Tulisan-tulisan yang agitatif kemudian diterbitkan dan diedarkan secara sembunyi-sembunyi dikalangan terpelajar, proses penyadaran bagi buruh dan petani, pendidikan politik dan lainnya disebarluaskan meski dengan ancaman yang tak kalah ganas. Pers turut andil dalam menentukan arah gerak tersebut, kerja-kerja pers (meski tak semapan saat ini) selalu dilakukan, selebaran, poster diedarkan untuk memantik pemberontakan terhadap nilai-nilai lama yang terbangun selama lebih dari tiga abad.
Kekuatan pers yang ampuh dalam mengubah pola pikir maupun menggiring opini, membuat penguasa dengan menggunakan otoritas plus kuasa kontrol membelenggu kekuatannya. Pembredelan dan penghancuran pusat-pusat kerja dengan alibi tulisan pemberontak (masa kolonial), tulisan kontra-revolusioner (orde lama), dan tulisan kontra-pancasila dan kontra-pembangunan (orde baru) selalu mengguncang kekuatan pers ini. Tak ayal pers yang seketika menjadi alat perjuangan jatuh bangun dalam hari-harinya mengawal kebijakan sebagai representasi wujud rakyat akibat penguasa yang anti-kritik dan anti-diskusi.
Selalu ada yang meledak ketika kekuatan aspirasi terlalu lama dibelenggu. Mengakhiri kuasa orde baru untuk menuju reformasi sejati adalah satu diantara sekian banyak perubahan. Reformasi menjadi angin segar bagi demokrasi dan membuka jalan untuk kebebasan dan menjunjung tinggi hak asasi. Termaksud pers yang kian bebas dari belenggu tersebut, banyak pembredelan yang terjadi ketika orba lahir (masih membangun rezim) sampai mati. Pembredelan Harian Rakyat, Lentera, dan Ekonomi Nasional juga seluruh pers yang di cap sebagai antek-antek komunis, pembredelan majalah Tempo, Editor, dan Detik tahun 1994 yang mengundang protes nyaris seluruh negeri. Merupakan sekian banyak penyumbatan yang dilakukan rezim Soeharto untuk mengendalikan seluruh negara dan menacapkan kuat-kuat teror negara dibawah kuasa militer.
Kita telah jauh menikmati reformasi, namun ditengah-tengah angin demokrasi, apakah tak ada lagi ancaman terhadap jati diri pers?
Jati diri pers sebagai pilar demokrasi, bukan tidak memihak dengan buta sehingga ia tak melihat substansi masalah yang ada dengan alibi independensi. Pers perlu memihak ke publik, untuk dapat mengambil sikap tegas terhadap arah cita-cita demokrasi. Demokrasi yang penuh dengan kontrol rakyat terhadap kekuasaan perlu terus digenjot oleh pers, dengan menghadirkan pemberitaan yang mencerdaskan dan kritis.
Tak hanya muncul dalam lingkar kuasa, tapi pers terkadang luput dengan ancaman industri bisnis yang dominan dan terkadang menghegemoni. Pers boleh saja menghindar dan tetap menjadi mata rakyat dalam melihat kinerja pemerintah. Tapi kebebasannya dari segala kepentingan belum tentu pure, kita bisa berkaca kepada Amerika Serikat saat Perang Dunia II yang memanfaatkan pers dalam menggiring rakyatnya untuk mendukung keterlibatan Amerika Serikat pada peperangan dan menebar kebencian terhadap Uni Soviet dan Jerman, pers amerika berulang-ulang memuat kekejaman tentara Jerman terhadap Bangsa Yahudi, dan bahaya perluasan ideologi sosialisme yang dimotori Uni Soviet. Hal itu dilakukan demi kepentingan pebisnis dalam meningkatkan keuntungan dengan memproduksi senjata, dan tentu dana segar dengan meningkatkan pajak yang dibebankan kepada rakyat.
Industri pers sendiri dapat muncul sebagai ancaman-ancaman baru, pemilik-pemilik indutri pers di Indonesia yang kini masuk dalam lingkaran politik, membutuhkan pencitraan untuk terpilih. Memanfaatkan pers dan mengambil frekuensi publik untuk kepentingan pribadi adalah hal yang sangat tidak bijak dan harus ditindak tegas. Adalah Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Publik yang perlu bertindak tegas atas pemanfaatan yang salah ini. Juga tegas terhadap setiap tindakan pers yang melabrak kaidah jurnalistik.
Pers yang kini tertatih dalam menopang demokrasi perlu dijaga independsinya, reformasi harus murni untuk membuka akses terhadap demokrasi. Keterlibatan semua pihak, rakyat yang cerdas dalam melihat kinerja pemerintah, dan pemerintah yang bijaksana dalam menanggapi kritikan adalah jalan menuju tatanan Indonesia yang berkeadilan dan bermartabat.
(Selamat Hari Pers Nasional 2014)
Penulis: Ayi Wallacea
Red: Kambuna