Menumpas Kekerasan Seksual, Cukupkah Dengan Mengebiri Pelaku ?

0

Kekerasan Seksual Pada Anak. / Sumber : www.google.com

Kekerasan Seksual Pada Anak. / Sumber : www.google.com
Kekerasan Seksual Pada Anak. / Sumber : www.google.com

Makassar, cakrawalaide.com – Awal bulan April kemarin, kita mendengar kabar yang menyedihkan dan mengejutkan sekaligus membuat kita geram dan marah! Bagaimana tidak, YY (15 tahun) seorang pelajar SMP di Bengkulu diperkosa oleh 14 orang pelaku yang beberapa diantaranya masih merupakan anak dibawah umur. Tidak berakhir sampai disitu, kejadian yang menimpa korban di perjalanan sepulang sekolah ini berujung maut. YY dibunuh oleh para pelaku.

Seolah keran yang dibuka sumbatnya, kasus yang menimpa YY kemudian menjadi awal dari pelaporan kasus-kasus kekerasan seksual lainnya. Seorang gadis di Manado misalnya yang menurut laporan keluarganya juga menjadi korban pemerkosaan oleh 19 orang (dimana 2 diantaranya dicurigai anggota kepolisian). Mirisnya, kasus ini menimpa korban sejak Januari lalu dan tidak kunjung mendapat tanggapan sejak pelaporannya. Menyusul ada lagi pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual yang kerap dialami TKW Indonesia di luar negeri.

Kasus di atas hanyalah segelintir dari kasus-kasus kekerasan seksual yang terungkap. Perlu diingat bahwa diluar dari kasus yang terungkap di media, masih banyak kasus serupa yang tidak terungkap. Alasan tidak terungkapnya hanya satu. Untuk kasus kekerasan seksual, korban tidak pernah betul-betul dipandang sebagai korban. Korban kekerasan seksual justru selalu menuai hujatan dari masyarakat. Dituding tidak bermoral, pemancing syahwat, dan bermacam-macam stereotipe negatif lainnya. Hal inilah yang kemudian menjadikan korban lebih banyak memilih untuk bungkam. Terlihat ceria di luar tapi dihantam mimpi buruk berkepanjangan di dalam.

KOMNAS Perempuan mendata sekurang-kurangnya ada 35 orang perempuan yang mengalami kekerasan seksual setiap harinya. Yang artinya, setiap dua jam ada tiga orang perempuan Indonesia yang menjadi korban kekerasan seksual. Perlu dicatat, 35 orang ini hanya yang terdeksi. Angka ini terus meningkat setiap tahunnya. Data terbaru menurut CATAHU KOMNAS Perempuan 2016, saat ini kasus kekerasan seksual naik menjadi peringkat kedua dari keseluruhan kasus kekerasan terhadap perempuan. Bentuk kekerasan seksual tertinggi pada ranah personal adalah perkosaan sebanyak 72% atau 2.399 kasus, pencabulan 18% atau 601 kasus, dan pelecehan seksual 5% atau 166 kasus.

Mengenali Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual

Perlu diketahui, kekerasan seksual tidak hanya terbatas pada perkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual. Menurut KOMNAS Perempuan, selain tiga bentuk yang mendominasi tersebut masih ada 13 bentuk kekerasan seksual lainnya yang ditemukan di masyarakat Indonesia. Keseluruhan dari bentuk-bentuk kekerasan seksual tersebut adalah:
1. Perkosaan;
2. Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan;
3. Pelecehan Seksual;
4. Eksploitasi Seksual;
5. Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual;
6. Prostitusi Paksa;
7. Perbudakan Seksual;
8. Pemaksaan Perkawinan, termasuk cerai gantung;
9. Pemaksaan Kehamilan;
10. Pemaksaan Aborsi;
11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi;
12. Penyiksaan Seksual;
13. Penghukuman tidak manusiawi danbernuansa seksual;
14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan;
15. Kontrol Seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Jadi, langkah apa yang harus kita tempuh?

Pertanyaannya kemudian, haruskah kita terus menerus bungkam? Mau sampai kapan? Harus tunggu berapa korban lagi? Hanya karena membicarakan kekerasan seksual dianggap tabu di masyarakat, bukan berarti kita harus terus-terusan diam dan menerima begitu saja. Kekerasan seksual semakin berkembang dan beragam. Sementara di sisi lain, hukum materil dan formal yang mengatur tentang itu sangat terbatas.

Dari 15 bentuk kekerasan seksual yang ditemukan di masyarakat, hanya sebagian diantaranya yang dikenal dalam sistem hukum nasional dan itupun sangat terbatas. Sebagai contoh, KUHP Indonesia mengenal perkosaan namun dalam pengertian yang sangat sempit. Perkosaan yang digambarkan di KUHP hanya dalam bentuk penetrasi penis ke vagina dan pemaksaan secara fisik. Sementara seiring dengan berkembangnya zaman, pola dan bentuk perkosaan juga semakin beragam dan berkembang. Tidak lagi terbatas pada penetrasi penis ke vagina dan pemaksaan juga tidak hanya terjadi secara fisik. Persoalan lainnya, KUHP tidak memberikan ruang bagi korban sebagai subyek dalam sistem peradilan pidana, serta tidak mengatur mekanisme pemulihan bagi korban. Padalah kekerasan seksual bukan hanya berdampak bagi korban, tetapi juga bagi keluarga dan komunitasnya.

Beberapa waktu belakangan marak diberitakan di media terkait hukuman kebiri bagi para pelaku kekerasan seksual. Cukupkah dengan dikebiri? Kebiri dan hukuman mati bukan jawaban atas penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual. Kalau kekerasan seksual diibaratkan rumput liar yang mengganggu, maka kebiri dan hukuman mati hanyalah gunting yang memotong rumput di permukaan tanah. Selama tidak dicabut sampai ke akarnya, rumput liar akan terus tumbuh bahkan lebih subur dari sebelumnya.

Bukan kebiri dan hukuman mati, melainkan regulasi yang mengatur khusus untuk kasus kekerasan seksual. Penghapusan kekerasan seksual merupakan tanggung jawab negara, korporasi dan lembaga masyarakat, yang diselenggarakan dengan melibatkan peran keluarga dan komunitas serta seluruh lapisan masyarakat. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang saat ini masih mentok di PROLEGNAS harus segera disahkan.
Bergandengan tangan dan saling menguatkan, sudah saatnya kita bangkit dan berlawan mendobrak kultur yang mengekang.

Kala nurani tertindas, maka diam bukan lagi emas.


Ninis Arevni
Serikat Perempuan Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *