Pemuda dan Perjuangan yang Belum Selesai
cakrawalaide.com — Arah gerak bangsa dan segala tatanan sosialnya tak lepas dari perjuangan rakyat sebagai penyokong utama perubahan. Dalam sejarah bangsa, bahkan jauh sebelum Indonesia menyatakan secara gambling kemerdekaannya. Bangsa ini telah mengikat diri dan berkomitmen berdiri dalam satu tanah, satu bangsa, dan satu bahasa kesatuan ditengah-tengah bangsa heterogen, ditengah-tengah bangsa dengan ribuan budaya dan ratusan pandangan terhadap konsep-konsep Negara berdaulat yang dicita-citakan.
Sumpah pemuda lahir pada 1928 dalam kongres pemuda II merupakan sebuah ikatan komitmen yang boleh dikatakan berani ditengah-tengah kondisi bangsa yang lagi bergejolak menuju Indonesia merdeka, ditengah-tengah kaum intelektual yang sedang berperang gagasan dan ideology mengenai konsep Negara waktu itu. Namun sumpah pemuda 1928 tidak menetapkan satu konsep-pun yang diambil hanya stu golongan. Sumpah pemuda lahir dari kebencian yang sama, kebencian akan ketertindasan, kebencian akan system kelas yang dibangun oleh kolonial sejak menancapkan politik penjajah. Kemudian menyeret benang merah tersebut kedalam cita-cita luhur dan cita-cita bersama mengenai Indonesia harus merdeka, dan melepaskan diri sepenuhnya atas rantai ketertindasan.
Sumpah pemuda 1928 merupakan cita-cita sekaligus alat dalam perlawanan melawan kolonial, bangsa kolonial memanfaatkan nusantara dengan jutaan budaya dlam praktek politik devide et impera atau politik memecah belah bangsa, memecah kesatuan agar mudah dikuasai, dipecah belah kemudian menancapkan dalam-dalam dasar piker patuh dan tunduk terhadap bangsa yang hilang persatuannya, praktek dirty job ini dilakukan sembari mengeruk sumber daya alam. Sehingga belanda sukses menjadi bangsa yang superior di eropa ditengah-tengah pribumi yang semakin terpuruk.
Sumpah pemuda 1928 adalah jawaban metode juang dari bangsa yang heterogen dan terpecah-pecah dalam persoalan tanah, budaya, dan bahasa. Dan menjadi gerak perlawanan yang revolusioner karena sumpah pemuda 1928 menjadi penggerak yang meninggalkan metode perjuangan cara lama – metode perjuangan sektoral yang berbasis lokal – menjadi sebuah perjuangan bersama demi terwujudnya cita-cita bersama dalam mengubur dalam-dalam ketertindasan yang begitu lama, yang diderita bersama pula.
Kini setelah 67 tahun Indonesia memploklamirkan kemerdekaannya, memang Indonesia telah lepas dari ketertindsan fisik oleh kolonial, tak adalagi yang dibilang kerja paksa dalam bentuk riil. Namun hal tersebut tak bisa menjamin utuh selesainya perjuangan. Kolonialisme hilang karena zamannya tak lagi relevan dengan kondisi social ekonomi dunia saat ini. Kini system penjajahan telah erevolusi canggih dengan sistem kapitalistik yang mengisap dan kemudian luput dari kacamata kita para pemuda. Yang ironisnya sebagian dari kita merasa semuanya baik-baik saja, merasa diri tak tertindas ditengah-tengah alam penghisapan yang gila-gilaan.
Pemuda sebagai salah satu pilar perubahan boleh dikatakan berhasil dengan tergagasnya sumpah pemuda 1928. Tinggal bagaimana pemuda kini melanjutkan cita-cita perjuangan tersebut, kondisi sosial yang mulai merambat pada kondisi kapitalisme akut dengan sistem sosial post-modernisme, tentu membuat perjuangan tak mudah karena teklah berevolusi menjelma dengan beragam-ragam sistem ekonomi, politik, dan sosial.
Ppemuda yang telah berstatus mahasiswa juga perlu menyadari tanggung jawab sosialnya, ia sebagai kaum intelekutual jga perlu bekerja kongkrit dalam proses penyadaran rakyat akan hak-haknya. Menjadi penyambung lidah rakyat kepada pemerintah yang terkadang pura-pura tuli dan pura-pura tidak melihat atas apa yang diderita rakyat.
Dalam pemerintahan yang lahir dari telur reformasi kinipun tak lekang dari penindasannya terhadap rakyatnya sendiri. Dan diantara banyaknya penindasan di Negara ini, ada dua yang menjadi sentra perjuanagan kelas diantaranya pendidikan dan perburuhan (kaum pekerja). Sektor inilah yang hingga kini dihabisi pelan-pelan lewat otoritas dan kontrol pemerintah sebagai konsekuensi siste ekonomi kapitalistik. Akibat pilihan tersebut, pemerintah seakan lupa dengan cita-citanya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menumbuhkan perekonomian yang tangguh dan bervisi keadilan.
Dalam dunia pendidikan awalnya pemerintah mempunyai cita-cita mulia dengan anggaran 20% APBN namun hal ini kontras dengan apa yang terlihat saat ini, kita masih melihat jejeran anak-anak yang tak sekolah karena mahalnya biaaya pendidikan. Kita masih melihat sekolah yang rapuh didaerah pedalaman karena anggaran tak masuk, bahkan dikorupsi oleh pemerintah bahkan guru sendiri, balum lagi metode pendidikan bangsa ini yang tak mencerdaskan dan cenderung mencekoki pikiran. Dan masih banyak ironi pendidikan yang betul-betul membuat bangsa semakin membodohi diri.
Dalam sistem pendidikan juga sama bejatnya, UU Badan Hukum Pendidikan yang dulu dihilangkan kini bertransformasi elok menjadi UU Perguruan Tinggi, yang sama semangatnya ingin meleps tanggung jawab pemerintah dalam pendidikan dengan membuka sebesar-besarnya peluang terhadap investasi swasta, yang jelas mempunyai akibat simultan dengan membengkaknya biaya pendidikan yang gila-gilaan, dan ironisnya kita pemuda hanya menerima begitu saja, tak ada gangguan dan tak ada protes yang massif sehingga sistem itulah yang dipakai dalam sistem pendidikan di negeri ini. Semangat mencari provit dan melepas seutuhnya fungsi pendidikan yang mulia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa agar tak menjadi bangsa sampah seperti ketika zaman kolonial eksis menindas. Seperti itulah realita pendidikan saat ini.
Dalam dunia perburuhan, sistem ekonomi yang dianut Negara memang telah akut, kapitalisme memang menjadi sebab utama runtuhnya keadilan ekonomi di negeri ini. Watak kapitalistik yang akumulatif, eksploitatif dan ekspansi memang telah mencengkram kuat bangsa ini, sehingga Negara ini hanya manut-manut dengan persoalan ketidakadilan karena merasa itu adalah konsekuensi logis dalam dunia ekonomi (konsekuensi harus ada yang tertindas dan yang menindas). Hal tersebut membuat para pemuda sadar atau tidak juga manut dan ikut dalam penindasan tersebut.
Kapitalisme menharuskan adanya eksploitasi karena watak rusaknya yang ingin bekerja minimal dengan menharapkan keuntungan sebesar-besarnya, hal inilah yang menjadi pangkal rusaknya tatanan ekonomi dan meremukkan keadilan dalam ekonomi. Hal tersebut sangat jelas tergambar dalam kondisi buruh saat ini. Pemerintah yang sejak dulu bergandeng tangan dengan kaum capital memang sama-sama punya watak yang menindas buruh dengan menekan upah buruh serendah-rendahnya namun tetap mengnginkan keuntungan besar. Tentu watak eksploitasi ini didukung pemerintah dilingkaran pusat dan daerah. Inpres nomor 9 tahun 2013 adalah salah satu bukti penindasan yang dilegitimasi pemerintah. Berdasarkan hitungan Dewan Pengupahan, Inpres tersebut merencanakan menaikkan upah buruh berkisar 10-20% atau berkisar pada Rp. 1.440.000 untuk upah Minimum Provinsi (UMP) dan Rp. 1.500.000 untuk Upah Minimum Kota (UMK) hal ini tentu ironis dalam kebutuhan hidup layak, ada banyak item-item yang belum terpenuhi demi kesejahteraan buruh. Hitung-hitungan tersebut hanya berdasarkan kebutuhan buruh lajang tanpa melirik sedikitpun kebutuhan keluarga buruh itu sendiri. Buruh sebagai penggerak pabrik-pabrik merupakan penyumbang terbesar kekayaan kaum kapitalis. Karena penghisapan itulah buruh kemudian menuntut kenaikan upah layak sebesar 50%, atau mencapai targetan politis tertinggi seperti nasionalisasi asset asing yang kini bertengger tanpa gangguan di dalam negeri.(*/her)