Pengantar Sederhana Patriarkisme Jilbab dalam Mitologi Yahudi

0
ilustrasi
ilustrasi

Istilah Jilbab secara harfiah yaitu kerudung yang menutupi bagian luar kepala, termasuk dir (pakaian yang khusus menutupi bagian badan) dan Khimar (pakaian yang khusus menutupi bagian kepala). Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Jilbab menurut bahasa Arab yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pakaian yang menutupi seluruh badan, bukan hanya sebagiannya.” Sedangkan Ibnu Katsir mengatakan, “Jilbab adalah semacam selendang yang dikenakan di atas khimar yang sekarang ini sama fungsinya seperti izar (kain penutup). Istilah jilbab digunakan oleh masyarakat muslim di beberapa Negara Asia Tenggara, misalnya di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Di Iran jilbab lebih di kenal dengan istilah cadar. Chador berasal dari bahasa Persi berarti ”tenda” dan di dalam tradisi Iran cadar berarti pakaian yang menutuup semua anggota badan wanita mulai dari kepala sampai ke ujung jari kaki. Sementara di dalam kitab Taurat, Kitab suci Agama Yahudi, Jilbab juga sudah di kenal  dengan istilah Tiferet.

Secara Materialisme Historis perdebatan tentang jilbab telah hadir jauh sebelum Islam datang dalam masyarakat Arab di abad ke 7 M. Bahkan menurut Epstein seorang Antroplog, perdebatan tentang pakaian penutup kepala telah hadir jauh sebelum agama-agama Samawi datang (Kristen dan Islam). Di dalam masyarakat Asyiria Tradisi penggunaan kerudung (jilbab)  diatur dalam  Hukum kekeluargaan Asyiria (Asyirian Code).  Hukum ini mengatur bahwa isteri, anak perempuan dan janda dalam bepergian keluar rumah harus menggunakan kerudung (jilbab).

Menurut Navabakhsh, jilbab (cadar) adalah tradisi pra Islam yang ditemukan di dalam perempuan bangsawan klas menengah atas di Syiria, di kalangan orang-orang  Yahudi dan Kristen. Pada tahun 500 SM, jilbab sudah menjadi pakaian kehormatan bagi perempuan bangsawan di Kerajaan Persi. Jilbab juga di pakai oleh perempuan di jaman Romawi Kuno dan Greek yang modelnya menutupi sekujur tubuh kecuali sebuah lobang kecil di salah satu bola mata. Namun berbeda dengan tradisi di dalam suku  Taureg yang ada di Afrika Selatan. Justru yang menggunakan jilbab adalah kaum laki-laki diatas usia 20 tahun karena jilbab dan berbagai modifikasinya menjadi symbol status dan kekuasaan laki-laki dalam suku tersebut.

Di dalam Agama Yahudi pengunaan jilbab berawal dari tafsiran tentang dosa asal (original sin) yang di bawah oleh Hawa isteri Nabi Adam. Hawa telah berhasil menggoda suaminya Adam memakan buah terlarang. Akibatnya Hawa dan seluruh kaumnya harus menaggung kutukan yang lebih berat dari Tuhan. Di dalam kitab Talmud dijelaskan sepuluh jenis penderitaan  yang harus di tanggung oleh Hawa dan Umatnya, di antaranya adalah siklus menstruasi (hal tabu) yang tidak di alami sebelumnya.

Dalam Agama Yahudi tradisi jilbab memiliki hubungan yang erat dengan Menstruasi. Penggunaan jilbab dan semacamnya merupakan tradisi yang muncul dari tafsiran terhadap Menstruasi. Menstruasi di dalam kepercayaan masyarakat Yahudi merupkan suatu hal yang tabu (menstrual taboo). Sehingga perempuan yang sedang menstruasi di anggap berada  dalam suasana tabu. Karena darah menstruasi (menstruasi blood) dianggap tabu sehingga seorang perempuan harus di perlakukan khusus dalam upacara tertentu. Perempuan menstruasi dalam Agama Yahudi harus di kurung didalam gubuk (menstrual huts). Di daerah-daerah pegunungan perempuan menstruasi biasanya diasingkan di dalam goa-goa, seperti di sepanjang pegunungan Kaukasus.

Perempuan menstruasi harus betul-betul di waspadai, mereka dilarang bergaul dengan orang lain termasuk keluarga dekatnya sendiri, dilarang melakukan hubungan seks, dan tatapan mata (menstrual gaze) karena hal itu dapat mengundang malapetaka di dalam kehidupan. Sebagaimana kepercayaan masyarakat Yahudi di bawah ini tentang bahaya “Mata Iblis” perempuan Menstruasi.

“The menstruant’s gaze possessed a special ability to inflick

  harm the Evil Eye. The Evil Eye can cause crops to fail, food

  to rot, babies to fall sick.”

 (Tatapan mata menstruasi  mempunyai kekuatan khusus

dari apa yang di sebut “Mata Iblis” untuk menimbulkan

bencana. Mata Iblis dapat membuat panen menjadi Gagal,

persediaan makanan menjadi busuk, anak-anak jatuh sakit

Untuk menjaga masyarakat dari gangguan “Mata Iblis” perempuan-perempuan menstruasi tersebut  maka mereka di tuntut harus menggunakan identitas diri berupa Kosmetik yang berfungsi sebagai isyarat tanda bahaya (signals of warning) terhadap orang lain dan juga sebgai upaya untuk mencegah “Mata Iblis” masuk kedalam tubuh perempuan yang bersangkutan. Alat-alat kosmetik yang di pakai biasanya berupa anting-anting, cincin, gelang, kalung, shadow, lipstick, giwang, gigi emas atau perak. Selempang di bagian kemaluan. Selain menggunakan alat-alat tersebut perempuan menstruasi juga di tuntut untuk meggunakan jilbab (Tiferet), pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya. Pada mulanya jenis-jenis perhiasaan yang digunakan tersebut di pakai hanya sekedar sebagai signals warning dan mengusir malapetaka perempuan-perempuan menstruasi. Namun pada perkembangannya fungsi kosmetik tersebut bergeser menjadi barang perhiasaan yang digunakan sebagai identitas klas sosial seseorang, dapat  di pakai kapanpun di luar masa menstruasi dan bahkan menjadi komoditas bernilai tukar tinggi di pasaran. Di dalam Agama Yahudi pernah di tetapkan bahwa membuka jilbab (uncovered) merupakan suatu pelanggaran yang berat dan dapat mengakibatkan suatu perceraian karena dianggap ketidaksetiaan kepada suami.

Proses penggantian gubuk (menstruasi huts) menjadi kerudung adalah hasil dari perjuangan perempuan bangsawan. Bagi mereka esensi menyelamatkan masyarakat dari “Mata Iblis” bukan pada mengurung perempuan menstruasi di dalam tempat khusus seperti di dalam gubuk haid atau di goa-goa  yang jauh dari jangkauan publik. Namun yang paling penting adalah menjinakkan pandangan mata si perempuan menstruasi tersebut (menstrual gaze) dari orang-orang di sekitarnya. Perempuan bangsawan kemudian menggantikan tradisi gubuk haid dengan menggunakan jilbab. Belakangan tradisi tersebut kemudian di ikuti oleh perempuan di luar bangsawan sehingga  tradisi gubuk haid tersebut berlahan-lahan lenyap dan tradisi jilbab dan kosmetik menjadi semakin popular dan bergeser dari fungsinya. Namun hingga sekarang belum diketemukan data kapan proses peralihan tersebut dan kapan jilbab mulai di kenal luas. Dan  yang jelas bahwa jauh sebelum agama Islam datang sudah ada Institusi jilbab.

RUJUKAN

Antroologi Jilbab dalam artikel “Teologi Menstruasi  : Antara Mitologi dan Kitab Suci”  oleh Nasarudin Umar. 1995.

http://aslibumiayu.wordpress.com/2012/07/31/seperti-apakah-jilbab-yang-dibenarkan-dalam-islam.

http://forum.kompas.com/sains/55290-histori-jilbab-jilbab-hanyalah-sebuah-tradisi-bukan-hukum-agama.html.

http://www.slideshare.net/awaliahafsyah/timbuktu-23947220.

Penulis : Abdul Gofur
Red : Ayie Wallacea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *