Penggusuran UKM: Politik Ruang dan Kontrol Mahasiswa

MakassarCakrawalaIDE.com Di balik megahnya gedung-gedung fakultas yang ada di kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI), ada sebuah ruang yang selama ini menjadi denyut nadi kehidupan mahasiswa, kami mengenalnya sebagai Kampoeng Belakang. Berderet sekret-sekret Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), di sanalah ide-ide lahir, solidaritas dan kebersamaan ditempa serta sejarah panjang ditorehkan. Tempat itu bukan sekedar bangunan sederhana dengan lukisan menakutkan, gubuk kecil ruang menampung gagasan. Lebih dari itu ia adalah saksi sejarah perjalanan perjuangan mahasiswa dengan segala suka dan dukanya.

Namun Wakil Rektor III UMI, Nur Fadhilah Mappaselleng, dalam sosialisasi UKM (Kamis, 24 September 2025) menyampaikan rencana perpindahan seluruh sekretariat UKM ke Gedung Olahraga (GOR) tepat di belakang Fakultas Teknologi Industri (FTI).  Dengan alasan, lokasi Kampoeng Belakang akan dibangun jalan lingkar menuju GOR dan diperluas menjadi area parkiran. Kebijakan tersebut diputuskan tanpa sebelumnya mendengarkan kebutuhan setiap UKM. Pengambilan Keputusan yang sepihak serta ruangan yang hanya berukuran 4×4 membuat banyak pengurus UKM yang menolaknya.

Pengambilan putusan sepihak menunjukkan betapa rendahnya posisi mahasiswa di mata birokrasi sebab bukan dipandang sebagai subjek yang memiliki hak suara melainkan sebagai objek yang seenaknya digeser demi kepentingan estetika semu.

Watak birokrasi seperti ini bukanlah hal yang baru. Birokrasi kampus kerap kali melahirkan kebijakan sepihak tanpa keterlibatan mahasiswa dalam proses perencanaannya, seolah-olah aspirasi mahasiswa tidak begitu penting. Tugas mahasiswa hanya belajar di kelas dan membayar SPP, sedangkan birokrasi sibuk menggelar rapat-rapat tertutup dan mengeluarkan kebijakan baru yang mahasiswa dipaksa wajib mengikuti.

Dalil yang kerap dilontarkan birokrasi bahwa UKM berada di bawah naungan kemahasiswaan dan bertangungjawab menunjang akreditasi serta citra baik kampus. Padahal jika kita telusuri lebih jauh, narasi itu justru mempersempit tugas dari UKM.  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pada pasal 77 menjelaskan organisasi mahasiswa memiliki fungsi sebagai wadah pengembangan bakat, minat dan potensi mahasiswa serta pengembangan daya kritis dan tanggung jawab mahasiswa. Dengan kata lain jika tujuan UKM adalah mendidik mahasiswa menjadi kritis dan mempertajam skillnya bukan sebagai etalase penunjang akreditasi.

Watak birokrasi kampus yang mementingkan citra ketimbang subtansi pendidikan berdampak pada kebijakan memindahkan UKM ke ruang sempit adalah pola lama dalam membungkam kritis mahasiswa.

Menelisik Sejarah Masalah 

Jika kita menelisik kembali sejarah, watak itu bermuara pada kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan kampus/Badan Kordinasi Kemahasiswaan) yang diberlakukan sejak 1978,  masa orde baru. tujuannya jelas; agar mahasiswa tidak lagi kritis dan tunduk pada aturan kampus.

Melalui kebijakan itu, aktivitas politik mahasiswa dipersempit, ormawa (Organisasi Mahasiswa) tak ubahnya menjadi pelengkap administrasi; penunjang akreditasi, kegiatan ceremonial hingga pencitraan ditebarkan. Ruang mahasiswa berdemokrasi dipersulit, sedang ormawa boneka birokrasi merajalela.

Semangat NKK/BKK masih terus hidup dibalik kebijakan kampus hari ini. Menempatkan UKM dibelakang rasanya seolah kampus sedang “Memarginalkan” mahasiswa agar mudah untuk dikontrol dan ditundukkan. Seperti yang dijelaskan Michel Foucault tentang disciplinary power: “Kekuasaan tidak hanya bekerja lewat aturan tertulis, tapi juga melalui ruang tata letak dan pembatasan gerak.” Kampus bisa menggunakan ruang untuk mengatur interaksi dan mengontrol kegiatan mahasiswa.

Dengan memindahkan Kampoeng Belakang bukan sekedar “Penataan” namun merupakan bentuk kontrol terhadap ekspresi politik. Logika kekuasaan yang kerap menempatkan mahasiswa sebagai objek kontrol, dengan alasan  “Estetika” dan “Daerah Kumuh.” Semestinya perbaikan yang harusnya menjadi solusi utama atas masalah tersebut, bukan penggusuran untuk pelebaran jalan menuju GOR. Sebab, kebijakan semestinya keluar berdasarkan apa yang dibutuhkan mahasiswanya.

Relokasi Adalah Bentuk Kontrol atas Mahasiswa

Penggusuran UKM ke GOR bukan sekadar putusan teknis, lebih dari itu adalah bentuk politik ruang yang berdampak langsung pada pembatasan ekspresi politik dan sosial mahasiswa. Upaya marjinalisasi tersebut akan memisahkan UKM dari pusat aktivitas mahasiswa sehingga menjauhkan ruang diskusi kritis dari mata publik kampus.

Dengan sekretariat yang jauh dari pusat kampus akan cenderung mempersulit jangkauan mahasiswa. Ruang UKM di pusat kampus memungkinkan lembaga berdiskusi, berkreasi, serta kegiatan progresif lainnya yang dapat disaksikan langsung banyak orang. Namun, jika berada di lokasi terselubung belakang GOR, seluruh agenda menjadi terisolasi dan hanya dapat disaksikan oleh sesama unit kegiatan mahasiswa.

Sejatinya kebijakan ini bukan sekadar perpindahan ruang melainkan bentuk kontrol terhadap mahasiswa. Jika ruang-ruang berkembang mahasiswa telah dikekang dalam satu gedung yang sama, maka birokrasi kampus sejatinya sedang membatasi ruang kesadaran kritis mahasiswanya. Ini adalah cara halus untuk menundukkan mahasiswa tanpa melarang secara terang-terangan. Di balik dalih “Penataan” dan “Estetika”, relokasi menjadi strategi birokrasi mengontrol gerakan mahasiswa yang berpotensi berpikir kritis dan mengkritik.

Tujuan atas pengontrolan tersebut jelas, agar menumbuhkan kepatuhan. Eko Prasetyo menjelaskan jika hal yang paling diinginkan kekuasaan adalah “Kepatuhan” dan untuk itu mereka menggunakan aparatus ideologi, instansi non kekerasan yang berfungsi menanamkan nilai-nilai ketaatan. Dalam konteks kampus aparatus ideologis itu bekerja melalui kebijakan administratif, pengaturan ruang hingga wacana estetika kampus yang fana.

Pada akhirnya relokasi tak lagi hanya bicara soal ruang tetapi juga kekuasaan. Ketika kampus bermaksud menggusur Kampoeng Belakang dengan alasan estetika dan jalan, sesunggunya mereka sedang menanamkan relasi kuasa (hubungan kekuasaan) antara birokrasi dan mahasiswa. Seperti yang dikatakan Antonio Gramsci, kekuasaan bekerja bukan hanya lewat represi tetapi juga melalui Hegemoni yakni menciptakan consensus yang di mana mahasiswa dipaksa percaya akan wacana-wacana kepatuhan.

Ruangan belakang merupakan area terpencil yang jauh dari interaksi mahasiswa. Area tersebut menjadikan UKM seolah-olah “Dibuang” dari pusat kehidupan akademik. Hal itu akan berdampak pada progresivitas UKM dalam menjalankan program kerjanya. Sebab dalam Lokasi yang strategis masih banyak lembaga yang mengeluhkan akan minat mahasiswa berorganisasi yang rendah serta sumber daya manusia yang terbatas.

Olehnya UKM bukan sekedar pelengkap alat penunjang akreditasi namun, lebih dari itu adalah ruang berproses dan berkembangnya mahasiswa. Memindahkan mereka ke belakang hanya akan mempersempit ruang kreatifitas dan imajinasi mahasiwa. Dengan fasilitas terbatas dan akses yang sulit pada akhirnya Unit Kegiatan Mahasiswa tidak akan dilirik dan regenerasi akan terpatahkan.

Penulis: Ali Madani Sarabity

Redaktur: Sudirman Rasyid