Perempuan dalam Pelukan Dasawarsa

1
ilustrasi
ilustrasi
Hujan kembali membasahi jalan yang kian mengingatkan kisah kita sedasawarsa yang lalu. Kau tak lagi menyapa, melupakan bagai air yang berada di daun talas, mengalir, jatuh dan meresap kedalam tanah. Dari sini cerita bermula, aku adalah seorang perempuan yang sedang bangkit dalam keterpurukan asmara. Aku berjalan serasa tak memiliki kaki, tangan yang kupunya sedang kaku, lumpuh adalah aku. Tak mampu ku deskripsikan diriku yang ini, Bukan tak terbiasa dengan sakit hati namun aku begitu senang dengan hujan rintik sebelum munculnyahasil pembiasan cahaya, yaitu pelangi.
Hari ini adalah hari senin, aku beranjak dari tempat tidur tepat pukul delapan, seperti biasa kegiatan harianku adalah bangun kemudian membersihkan rumah,Ya sudah dua bulan aku menghabiskan waktu liburku begini.

Tingdung, seperti itulah suara telepon genggamku ketika menerima pesan. sedikit penasaran dengan telepon yang berada diatas lemari pendingin itu, aku segera mengecek.

“Kamu apa kabar ?” entah angin apa yang membuat nama kontak Dana menghubungiku, iya, dia bukan orang yang baru dihidupku, dia adalah seorang kekasih yang aku sayangi tepat sedasawarsa yang lalu, dia adalah seorang kekasih yang menjadikanku orang kedua dihubunganku sendiri, dia adalah orang yang pernah menghubungiku via telepon bercerita manis kemudian memutuskan hubungan begitu saja. Ya, meskipun demikian, aku tetap baik-baik saja.
Kejamnya cinta yang pergi sempat membuatku hanya melihat laki-laki disuatu sisi adalah seburuk-buruknya makhluk yang tak berperasaan. Meskipun demikian, ayah dan kakakku adalah seorang laki-laki yang begitu perhatian padaku.

Aku membalas pesan singkat dari Dana. Ku katakan bahwa “aku baik-baik saja, bagaimana denganmu ?” sambil baring di depan televisi, akupun dengan senang hati menunggu balasan pesan singkat dari Dana. Setelah larut dalam pesan ia pun meminta izin untuk menghubungiku via telepon dan akupun mengiyakan.

“Halo”.
“Dana. Halo.”suaraku tampak gemetar, tak kuasa ku menahan gugup yang seakan memberi pertanda pada Dana bahwa aku masih memiliki rasa sedasawarsa lalu.
“Andira, Kamu dimana ?”.
“Yah, dirumahlah. Aku masih libur, kenapa menghubungiku ?” dalam rasaku menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan Dana seolah mencerminkan bahwa inilah kecuekanku, inilah aku yang sebenarnya baik-baik saja sedasawarsa lalu.

Telepon genggam yang menempel dipipiku kian membuatku jatuh cinta namun ku tahan. Hubungan kami semakin lama semakin larut dalam kedekatan via telepon, hampir semua yang Dana lakukan setiap harinya merupakan kebutuhan rasa ingin tahuku, begitupun sebaliknya.

Hari berganti kian cepat, meninggalkan rasa kekejaman Dana kala itu, ia kembali ingin menebus kekejaman itu. Dalam hatiku, ingin sekali ku menerimanya menjadi kekasihku sedasawarsa lalu namun mulutku menolak. Aku hanya mempermainkan Danadengan perasaannya yang ku anggap begitu tulus untuk kali ini. Aku ingin dia rasakan sakitnya terbuang. Bagiku, aku tetap Andira sedasawarsa lalu. Aku tetap Andira yang putih akan kebohongan Dana, namun sedikit goyah sayangku padanya.

Kuliah perdana yang ditandai dengan alat tulis yang baru membuatku harus ke toko buku. Kebetulan pagi itu Dana kembali mengirimkan pesan singkat

“Dir, sore ini ke toko buku yuk ? ada Jadwal kuliah ?”
ku jawab “Tak ada. Iya boleh. Jam berapa ? Jemput aku dikampus yah ?”
“OK”
Sore itu, sekitar pukul empat, Dana tak juga datang. Aku sedikit kesal tapi aku menunggu dan tetap menunggu. Aku kirim pesan singkat berkali-kali namun tak dibalas. Ketika ku menelepon terdengar suara ramai dan kali ini dapat kupastikan bukan Dana yang menjawab teleponku
“Halo”
“Halo, ibu tolong datang ke Jl. Pattimura. Keluarga ibu sedang kecelakaan dan masih di tempat ini.”

Aku langsung menutup telepon, betapa hebatnya rasa yang bergejolak kemudian jantung yang berdebar kencang, entah bagaimana pemompa darahku bekerja ke arteri, kendatipun aku tak tahu. Aku bergegas menaiki sebuah angkutan umum dan menuju tempat Dana kecalakaan. Setelah beberapa menit aku tiba ditempat tersebut, betapa kejamnya kehidupan yang kujalani melihat Dana diboyong oleh keluarganya lantas tubuhnya lunglai terlihat seperti patah, berlari ku mendekati orang sekitar menanyakan keadaan Dana dan orang sekitar memberi pernyataan yang tak dapat ku terima dengan perasaanku.

Dana telah tiada, cucuran air mata itu seolah menjadi hujan untukku, membasahi pakaianku, air dari hidungku tak henti-hentinya kubuang. Ku rasa sudah dua kali Dana menyakitiku dengan wajahnya yang polos. Aku meminta bantuan orang sekitar mengantarku ke rumah Dana. Kembali ku tatap wajah polos Dana, ku nikmati segala kesempatan menatap wajah Dana ketika seseorang sedang membuka kain penutup itu.
Ku akui Dana benar-benar laki-laki yang tak berperasaan “Aku tak akan menerima dia yang ketiga kalinya” ucapku dalam hati.

Penulis : Icha

1 thought on “Perempuan dalam Pelukan Dasawarsa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *