Perempuan Sulsel Dalam Pusaran Konflik Agraria

0

Makassar Cakrawalaide.com – Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa di kota Makassar tengah mengadakan Pekan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.

Salah satu rangkaian kegiatan #16 HAKTP di kota dengan julukan Anging Mammiri tersebut adalah dengan Goes to Campus, dimana Universitas Muslim Indonesia (UMI) telah menjadi salah satu tempat berlangsung diskusi yang menarik perhatian puluhan mahasiswa.

Tantangan khusus bagi perempuan ketika perampasan ruang hidup terjadi di tengah-tengah masyarakat seperti pada sektor agraria telah menjadi topik yang disoroti dalam “Pekan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,” yang berlangsung di lantai II Aula Fakultas Agama Islam. pada (03/12/2024)

Hal tersebut ditegaskan oleh Nurisa Dessy dari Solidaritas Perempuan Anging Mamiri (SPAM) Makassar, baginya ketika ingin melihat bagaimana tantangan yang dihadapi perempuan dalam persoalan agraria maka akan menyoroti beberapa hal diantaranya sektor perkebunan dan perikanan.

“Bagaimana situasi di sektor perkebunan, sektor perikanan,” Ungkapnya saat diskusi berlangsung.

Salah satu yang disorotinya adalah nasib para nelayan perempuan Tallo yang harus luntang – lantung dan serabutan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya karena pembangunan Makassar New Port

“Yang terjadi di pesisir Makassar itu situasinya mereka nelayan perempuan itu ruang kelolanya direbut oleh pelabuhan Makassar New Port,” ungkapnya.

Dessy menerangkan bahwa perampasan ruang hidup tidak hanya terjadi pada sektor perikanan saja tetapi juga pada sektor perkebunan.

Ia menyebutkan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara XIV di kabupaten Takalar adalah satu perampasan ruang hidup yang terjadi di Sulawesi Selatan yang merampas hak petani perempuan.

“terkait dengan PTPN XVI yang ada di Takalar itu juga salah satu perusahaan yang didukung oleh badan usaha milik negara yang di mana kehadiran PTPN di Takalar itu merampas kehidupan perempuan petani,” tuturnya.

Salah satu warga pesisir Tallo Ibu Saenab menyampaikan keresahannya terhadap pembangunan pelabuhan Makassar New Port di Utara Kota.

Warga pesisir Tallo yang sehari – harinya menggantungkan dengan laut terpaksa banting setir untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, akibat Proyek yang katanya demi kepentingan bangsa tersebut.

Sejak masuknya pembangunan Makassar New Port di 2015 yang digadang – gadang akan menjadi pelabuhan terbesar kedua setelah Tanjung Priok, perlahan membuat warga pesisir Tallo kehilangan mata pencahariannya

“Tetapi seiring berjalannya pembangunan itu terjadi pendapatan kami berkurang,” jelasnya.

Hilangnya biota laut di pesisir Tallo akibat dampak dari pembangunan Makassar New Port adalah pil pahit yang harus terima atas nama pembangunan.

“Kami berpikir mungkin ini soal masalah pembangunan reklamasi itu yah mengganggu biota-biota laut yang kami cari di pesisir” ujarnya.

Dikutip dari Tempo, Peneliti Nalar Institute Ani Nur Mujahidah menyebut bahwa pada dampak sosial, terdapat setidaknya delapan masalah dalam implementasi PSN. Hal itu meliputi stagnasi dan turunnya perekonomian warga dengan 58 peristiwa, konflik agraria & masalah ganti rugi lahan (20), aktivitas warga terganggu (17), terancamnya kehidupan masyarakat adat (14), ancaman kesehatan dan keselamatan (11), kesejahteraan pekerja tidak terjamin (10), bentrokan antara warga dengan aparat (10), hingga kerusakan infrastruktur publik (9).

Dengan musibah yang dihadapinya, warga pesisir Tallo kebingungan untuk mengadu kepada siapa mereka untuk menyelesaikan permasalahannya.

“Kami tidak tau harus kemana mengadu, kedua kami ini masyarakat bawah tidak tau aturan kemana dan terus kemana,”  Sambungnya.

Sebagai warga yang terdampak langsung Proyek Strategis Nasional (Makassar New Port)  membuat ibu Saenab menyadari kebijakan negara hari ini telah melibas habis  sumber mata pencaharian masyarakat pesisir.

“Saya sebagai warga yang merasakan dampak itu ya berpikir dan mungkin itulah permulaan kesadaran kritis saya sebagai perempuan dan sebagai warga negara yang kehilangan mata pencaharian disebabkan pembangunan,” ungkapnya.

Dengan dilema yang dihadapinya warga pesisir ibu Saenab memandang, bersuara adalah tindakan yang harus dilakukan.

“Sehingga saya merasakan ya memang saya sebagai manusia ini harus menyuarakan apa yang saya alami” tutupnya.

 

Penulis:  Qhaerunnisa

Redaktur : Rina Kurniawati

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *