Pergerakan Mahasiswa Telah Mati
Makassar, Cakrawalaide.com- Sebagaimana yang kita ketahui bersama, hal yang melekat pada sosok mahasiswa sebagai kaum pelopor sebuah perubahan. Tapi mungkin itu hanyalah tinggal sebagai cerita belaka, sosok pelopor yang diidentikkan dengan mahasiswa perlahan hilang dan tak memberikan bekas sama sekali. Melihat realitas mahasiswa sekarang, hanyalah persoalan susunan hurufnya saja yang membedakannya, antara “mahasiswa dengan siswa. Kata “maha” yang ada pada seorang mahasiswa hanyalah tinggal susunan 4 (empat) huruf yang tak lagi memiliki makna.
Maha dan siswa, apalah artinya gelar bagi seorang peserta didik yang bergelut didunia kampus tanpa kata “maha”, jawabannya bisa kita jawab sendiri. Melihat realitas yang terjadi sekarang, kesalahan yang sangat fatal dilakukan oleh mahasiswa sekarang pada umumnya. Tak ada bedanya mahasiswa dengan seorang siswa yang datang ke sekolah duduk manis mendengarkan guru menjelaskan sebuah materi, pada saat jam keluar main pergi ke kantin untuk jajan, dan selesai jam sekolah langsung pulang kerumah atau pergi ke suatu tempat bersama teman-teman untuk mencari hiburan. Sama halnya yang terjadi pada kebanyakan mahasiswa, budaya apatis dan hedonis dari bangku sekolah dibawa kedalam kampus. Menjadi sebuah pertanyaan sederhana yang harus direnungkan bersama, apakah pantas mahasiswa direkatkan dengan sosok pelopor sebuah perubahan.? Seperti yang terjadi diera kemerdekaan dan era reformasi.
Pertanyaan sederhana tersebut sebagai pengantar pendiskusian kita kali ini, dan saya rasa untuk menjawabnya tak perlulah mengenakan HP keren anda untuk bertanya kepada Mbah Google yang serba tau. Tanyakan saja pada hati kecil anda, apakah anda (mahasiswa) pantas direkatkan sebagai seorang pelopor perubahan.? Pasti jawaban yang sama akan kita dapatkan. Bagaimana mungkin bisa menjadi sosok seorang pelopor perubahan, sementara perubahan itu sendiri tak terjadi pada diri kita sendiri. Logika yang terbalik jika saja hal ini bisa terjadi, sebab untuk mengubah sesuatu hal haruslah perubahan itu bermula dari dalam diri kita terlebih dahulu. Contoh sederhananya yang mudah dipahami, untuk mengajak seseorang ikut serta dalam barisan massa memprotes kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat, pastilah terlebih dahulu kesadaran ini harus ada didalam diri kita dan juga kita harus lebih dahulu terjun kedalam barisan massa sebelum mengajak yang lain. Karena tak mungkin keinginan untuk mengajak orang lain itu bisa ada kalau hal ini tidak dibangun dari kesadaran kita sendiri dan tak mungkin orang tersebut akan menerima ajakan anda kalau saja anda sendiri tidak ikut serta dalam barisan massa, pasti akan ada anggapan yang muncul “kamu saja tidak ikut baru mau ajak orang lain. Dapat kita simpulkan dari uraian contoh di atas, untuk sebuah perubahan haruslah dimulai dari dalam diri kita sebelum kita eksplore keluar.
Sekarang sudah sangat jarang kita jumpai didalam kampus, diluar jam mata kuliah ada kelompok-kelompok diskusi yang dibentuk oleh mahasiswa membicarakan tentang permasalahan sosial. Yang ada hanyalah pemandangan mahasiswa yang sibuk dengan gadgetnya masing-masing ataukah yang lagi asik kumpul bareng dengan temannya. Dan juga sangat jarang kita temui di gang-gang kampus ada seorang mahasiswa yang sedang membaca, yang banyak kita temui hanyalah mahasiswa yang lagi sibuk dengan gadgetnya. Padahal kalau kita belajar dari sejarah gerakan mahasiswa, kenapa sampai timbul perlawanan dari mahasiswa itu salah satu faktornya adalah dari hasil membaca kemudian didiskusikan bersama dan timbullah inisiatif untuk membalikkan sistem negara yang subtansinya tidak memihak kepada rakyat.
Dua budaya inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab, mengapa mahasiswa diidentikkan dengan kaum pelopor, kaum pergerakan sehingga muncul inisiatif untuk melakukan perlawanan terhadap sistem yang tidak memihak. Namun realitasnya sekarang budaya tersebut mulai lenyap dan digantikan oleh budaya-budaya baru yang perlahan-lahan mengarahkan mahasiswa menjadi sosok yang apatis dan hedonis. Hal ini dapat dibuktikan dengan fakta sekarang yang merupakan sebuah penyakit yang sudah mendarah daging didalam diri mahasiswa pada umumnya. Mahasiswa sekarang lebih memilih berkoar-koar didalam studio karaoke ketimbang berpanas-panasan dipinggir jalan menyuarakan aspirasi rakyat, mahasiswa sekarang suka diajak pergi ke mall ketimbang diajak berdiskusi membicarakan permasalahan sosial yang kini terjadi, dan lebih parahnya lagi mahasiswa sekarang lebih senang diajak pergi berekreasi ketimbang untuk berorganisasi. Gambaran mahasiswa saat ini sangatlah acuh dengan isu-isu sosial, tak lagi berpikiran maju bahwa setelah lulus dijenjang perkuliahan pastilah akan kembali menjadi rakyat dengan keadaan sekitarnya yang penuh dengan masalah dan sewaktu-waktu dapat mencengkeramnya. Budaya-budaya buruk yang seperti inilah yang merasuki mahasiswa dan perlahan namun pasti akan berdampak buruk bagi kemajuan bangsa dikemudian hari, sebab mahasiswa yang notabenenya adalah seorang pemuda sebagai penerus bangsa.
Keadaan inipun diperparah dengan semakin kurangnya minat berorganisasi dari kalangan mahasiswa sekarang. Karena termakan oleh dogma yang sengaja dibeberkan dimasyarakat dimasa Soeharto bahwa organisasi itu mampu memperlambat studi dengan kata lain mahasiswa yang mampu menyelesaikan studinya dengan cepat adalah mahasiswa yang pintar, mahasiswa yang hebat. Ini dapat kita buktikan melihat realitas mahasiswa sekarang pada umumnya, ketika diajak untuk aktif berorganisasi akan ada-ada saja alasannya. Misalnya, akan sulit untuk membagi waktu antara kuliah dengan Organisasi. Justru inilah tantangan yang sebetulnya, orang hebat yang mampu mengatur waktu kuliahnya dengan baik tapi bukankah lebih hebat lagi ketika mampu mengatur kuliah dan organisasinya secara berbarengan dengan baik.! Alasan lain lagi misalnya diajak untuk aktif berorganisasi, dengan dalih rasa malu untuk ikut berorganisasi karena persoalan sendiri, tidak ada teman yang ia kenal untuk menemaninya. Alasan yang sangat sulit diterima, sebab dengan alasan ini pasti akan ada penilaian semacam ini, “kalian sudah mahasiswa bukan lagi siswa, apa bedanya kalian dengan siswa kalau rasa malu itu tidak bisa kalian hilangkan demi sesuatu hal yang baik”. Padahal sejatinya justru itulah peran organisasi untuk membangun kekeluargaan, misalnya yang tadinya beda fakultas dan tidak saling kenal maka organisasilah sebagai jembatan yang akan mempertemukan kalian dengan ikatan kekeluargaan. Tapi ini diluar pembahasan seperti apa sih organisasi yang ideal itu, yang jelas selama organisasi itu masih menjunjung tinggi keadilan, kesetaraan, serta nilai demokratis, saya rasa (penulis) itu adalah organisasi yang ideal. Mungkin hanya dua alasan diatas yang bisa saya paparkan dari hasil analisa yang saya dapat dilapangan ketika mengajak kawan-kawan saja untuk ikut berproses didalam organisasi.
Berbicara tentang peran organisasi, kita bisa mengambil hikmah dari peristiwa kemerdekaan. Cikal bakal lahirnya gerakan yang masif sehingga titik akhirnya berujung pada proklamasi kemerdekaan yang dikomandangkan oleh presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945 itu tak terlepas dari peranan organisasi. Jadi kesimpulannya, permasalahan yang ada di dunia pendidikan sekarang itu tidak akan pernah selesai, akan terus abadi jikalau saja kita mengenyampingkan yang namanya organisasi. Beranjak dari teori kesuksesan yang trend dilingkup kampus “hanya 30℅ yang bisa kita dapatkan didalam ruangan belajar, dan 70 persennya itu hanya bisa kita dapatkan diorganisasi”. Berdasarkan teori ini yang diperkuat oleh sejarah kemerdekaan Indonesia yang tak terlepas dari peranan organisasi, inilah sebetulnya kunci untuk terlepas dari penindasan-penindasan yang kini membelenggu mahasiswa disektor kampus. Tidak adanya penyatuan gerakan dalam skala besar, disebabkan perbedaan ideologi serta arogansi bendera. Hal yang seperti itu semestinya tak lagi dikedepankan, selama tujuan yang kita mau itu sama, kenapa kita tidak mencoba hal ini.
Sangat miris melihat konteks mahasiswa sekarang, mahasiswa sekarang bagaikan “Singa yang berhasil ditidurkan didalam kandangnya sendiri”. Tak ada lagi aungannya yang mampu memantik semangat revolusioner. Tak ada lagi perlawanan yang masif hadir dari mahasiswa agar bagaimana mampu membalikkan sistem yang menindas sekarang, yang mewarnai perlawanan dari gerakan mahasiswa sekarang hanyalah sebatas seremonial belaka tanpa adanya tindak lanjut yang pasti. Dan menjadi tugas tersendiri bagi para kaum pergerakan yang ada didalam kampus untuk mampu mengambil kembali simpatik masyarakat terhadap gerakan. Karena seringkali terjadi ketika melakukan aksi mengkritik kebijakan pemerintah misalnya, itu seringkali dibentrokkan dengan masyarakat. Kenapa hal ini bisa terjadi.? Pertanyaan yang harus dituntaskan bagi kaum pergerakan sekarang. Masyarakat sekarang menilai aksi yang dilakukan oleh mahasiswa itu hanya membuat kemacetan jalan saja, membakar ban, serta menutup jalan. Inilah realitas yang salah sebetulnya, ketika kita melakukan aksi, berteriak hidup rakyat tapi malah mudharatnya yang lebih banyak ketimbang manfaatnya. Melakukan aksi sementara peserta aksinya hanya sedikit mampu dihitung dalam sekejap mata, belum lagi isu yang dibawakan tidak jelas lalu menutup jalan, pastilah akan membuat masyarakat kesal dan dalam situasi seperti ini aparatur negara itu akan mudah memainkan pola/skema busuknya untuk membubarkan aksi tanpa harus turun tangan dengan membenturkan peserta aksi dengan masyarakat. Ini yang semestinya diubah oleh kaum pergerakan sekarang dan harus dipahami persoalan aksi bukanlah persoalan sok-sok jagoan serta mengangkat tinggi-tinggi bendera organisasi, tapi aksi adalah salah satu langkah untuk menegakkan kembali keadilan dan semata-mata demi kemaslahatan rakyat.
Jadi, hal yang paling penting sekarang bagaimana untuk membangunkan kembali singa yang sekarang ini sedang tertidur dikandangnya sendiri untuk kembali mengaungkan kebenaran. Maka sebagai langkah awal kita perlu bangun kesadaran ini dari diri kita sendiri, kalau memang anda (mahasiswa) masih menganggap diri kalian sebagai maha-siswa sebagai kaum pelopor. Dan cara untuk membangun kesadaran ini agar lebih baik lagi maka perlu namanya berorganisasi, sebab saya rasa tak satupun mata kuliah kita yang berisikan teori-teori untuk berlawan dari ketidakadilan. Karena subtansi pendidikan sekarang sudahlah bergeser dari subtansi sejatinya. Lembaga pendidikan tak lagi bertujuan untuk memberikan penyadaran politik terhadap peserta didiknya, tapi hanya sebatas komersial. Dan hal inilah yang seharusnya direspon oleh para kaum intelektual yang sekarang sedang dalam keadaan dihipnotis oleh sistem dan struktur yang ada sekarang. Bersatulah para kaum intelegius, dobraklah ketidakadilan ini. Salam perjuangan.
Penulis : Parle
Red. Baso