Pernyataan Sikap dan Aksi Demonstrasi Dilakukan Masyarakat Sipil Makassar Tolak Revisi Undang-Undang TNI

0

Makassar, cakrawalaIDE.com, Aliansi Masyarakat Sipil Makassar menyatakan sikap tolak RUU TNI di depan kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan sekaligus Aksi Demonstrasi di Fly Over Jl. Urip Sumoharjo, pada kamis 20/03/2025.

Pernyataan sikap dilakukan oleh Masyarakat Sipil Makassar di depan Kantor DPRD Provensi Sul-Sel. Ada tiga poin tuntutan masyarakat terkait RUU TNI yakni:

“Pertama, Mendesak DPR dan Pemerintah untuk menghentikan pembahasan RUU TNI yang tidak memiliki urgensi yang jelas dan menyimpangi prosedural dan subtansial legislasi. Kedua: Menolak bangkitnya Dwifungsi ABRI yang merepresikan ruang demokrasi dan melanggengkan impunitas. Dan ketiga; Mendorong Negara untuk memastikan TNI untuk lebih profesional dan adaptif terhadap ancaman eksternal,” Ucap salah satu massa aksi.

Pembahasan terkait RUU TNI ini dianggap janggal karena tidak tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RP JMN) 2025-2029 dan pembahasan RUU TNI ini juga dilakukan sangat terburu-buru dan transparan.

“Jadi koalisi Masyarakat Makassar menilai bahwa RUU TNI ini penetapan dan pelaksanaannya dinilai terburu-buru dan tidak transparan, ini menunjukkan bahwa kekhawatiran masyarakat terkait menguatnya kembali Dwifungsi TNI itu semakin kuat,” jelas narasumber berjaket hitam.

“Sebenarnya banyak rancangan UU yang menurut kami masyarakat sipil penting untuk di dorong, tapi ternyata hal yang tidak di inginkan Masyarakat ternyata di dorong terlebih dahulu ini membuktikan bahwa aspirasi masyarakat tidak di pertimbangkan,” sambungnya.

Lebih lanjut Aliansi Masyarakat Sipil Makassar juga melakukan aksi demonstrasi di Fly Over Jin. Urip Sumoharjo dengan isu yang sama Perencanaan Revisi UU No 34 tahun 2004 ini di anggap upaya pemerintah dalam mengaktifkan kembali Dwifungsi ABRI/TNI yang sebelumnya telah diuji oleh orde baru, di mana segala peristiwa kelam melibatkan militer memperlihatkan kekerasan, dan kebengisannya, yang masih membekas hingga hari ini.

“RUU TNI yang memperluas peran TNI untuk menduduki jabatan sipil menjadi bukti kuat adanya upaya mengaktifkan kembali Dwifungsi ABRI/TNI, keberadaan TNI di ranah sipil bertentangan dengan upayar mendukung TNI sebagai alat pertahanan yang profesional sesuai dengan amanat konstitusi. Hal ini juga akan semakin memperbesar potensi Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HMA),” ujar jenlap.

“Indonesia memiliki Sejarah kelam akibat masuknya TNI pada ranah jabatan sipil terutama di masa orde baru. Antara lain tragedi Tanjung Priok, Tragedi Semanggi, Pembunuhan Marsina, penghilangan paksa aktivis 1996-1998, penembakan massa aksi pejuang reformasi, DOM Aceh dan kekerasan-kekerasan yang terus terjadi di papua hingga saat ini,” Tegasnya.

Salah satu massa aksi berpendapat ada tiga pasal penting yang menjadi pembahasan dalam RUU TNI ini yang menjadi kekhawatiran masyarakat sipil jangan samapi melalui RUU TNI ini kita digiring kembali kesejarah kelam Orde Baru.

“Sebenarnya ada tiga pasal yang menjadi substansinya RUU TNI ini, pasal 53, pasal 47, dan pasal 3 tentunya apa kemudian ditakutkan jangan sampai kita kembali ke orde baru yang dimana pada masa itu tragedi-tragedi militer yang hadir pada saat itu jangan sampai kemudian itu terulang kembali kejadianya,” ucapnya.

Dikutip dari isi selebaran dari 3 (tiga) pasal itu ialah: Status dan kedudukan TNI (pasal 3), perluasan kedudukan TNI di jabatan sipil yang sebelumnya hanya dibatasi kedalam 10 menjadi 15 kementrian/lembaga (pasal 47), serta penambahan masa pensiun prajurit (pasal 53).

Sejarah mencatat terlibatnya TNI dalam ranah sipil membuat masyarakat mengalami kekerasan yang berlapis terutama kepada kaum perempuan, kekerasan sipil dalam bentuk kekerasan seksual yang mengalami impunitas.

“Jika kita berkaca pada sejarah ada kekerasan spesifik yang menyasar kaum perempuan yakni kekerasan seksual sialnya kekerasan seksual yang di alami oleh perempuan yang di lakukan oleh militer itu mengalami impunitas, hingga hari ini tidak ada penyelesaiannya karena semua penyelesaian mengenai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh militer selalu melalui peradilan militer dan kita tidak bisa menuntuk transparansi di pengadilan militer,” jelas tokoh perempuan yang berkemeja hitam.

 

Penulis: Sudirman Rasyid

Redaktur: Qhaerunnisa

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *