Puisi Hujan, Hujan Puisi… Dan Hujatan Para Penindas
cakrawalaide.com — Sekitar pukul tujuh beberapa anak muda telah berkumpul di Tugu Segitiga Kampus Unhas sabtu malam (18/01), pertemuannya sederhana, lasehan di koridor sekitaran tugu, membawa payung, dan membawa secarik kertas juga buku khusus yang kadang dibaca sewaktu-waktu.
Desain panggungnya juga sederhana, hanya beberapa lentera dan pengeras suara yang diletakan sisi kiri panggung, ada dua pataka yang diletakkan masing-masing dikiri dan kanan. Pataka yang bertuliskan, “Ambisimu dalam Puisi, dikala Hujan” dan sudut kiri bawah pataka terlihat tulisan kecil “Bawa sendiri payungmu. Bawa sendiri puisimu”. Tulisan puisi dan hujan sengaja dicetak tebal dibanding tulisan lain, seakan memberi kesan bahwa pertemuan ini dibuat untuk berpuisi tentang hujan yang tak lagi ramah ketika menyambangi kota.
Acara dikemas sederhana, kopi, rokok, dan makanan ringan dibagi-bagi sebagai cemilan untuk sekedar mengisi perut sambil menikmati teman-teman yang lain bersyair.
“pawang..pawang” ejek seorang kepada Master of Ceremony (MC), MC memanggil seseorang membacakan puisi, puisi apa, dan puisi siapa, terserah si pembaca. Semua kemudian duduk lesehan, sambil menikmati malam sekaligus menantang cuaca, apakah hujan akan turun malam ini?
Terkadang gerimis menyambangi, yang membawa payung mulai bersiap. Namun malam itu hujan tidak juga datang. Acara yang difasilitasi oleh LAW UNHAS (Lembaga Advokasi Mahasiswa Universitas Hasanuddin) tetap dilanjutkan. Puisipun dibacakan oleh siapa yang ingin membaca puisi, puisi-puisi heroik seperti karangan WS. Rendra, Wiji Thukul, KH. Mustofa Bisri, puisi Aslan Abidin tentang Marsinah seorang buruh yang diperkosa dan mati dibunuh entah oleh siapa, hadir dalam rangkaian puisi yang dibacakan.
Banyaknya masalah sosial (HAM, Kemiskinan, Korupsi, dan lainnya) yang hadir dan tak pernah menemui titik terang dimanakah ia bermuara, menjadi sudut pandang dominan para pembaca, meski beberapa puisi romansa turut hadir meramaikan puluhan sajak-sajak malam itu.
Sekilas sastra menjadi sebuah spirit perlawanan, dan menjadi alternatif lain dalam menyampaikan gagasan. Puisi-puisi malam itu, banyak menjadi pelajaran bahwa puisi tidak hanya persoalan sajak “anggur dan rembulan”. Tapi dengan melihat sastra dalam perspektif lain, salah satunya sastra sebagai alat mekanik yang dapat memantik semangat untuk melawan ketertindasan.
Jika sastra atau tulisan memang tak punya kekuatan untuk menggetarkan pondasi kemunafikan para tiran, lantas kenapa Wiji Thukul kemudian dikejar-kejar Kopasus hingga hilang bak ditelan bumi karena puisi-puisnya, kenapa Pramoedya Ananta Toer “di pulau buru-kan” karena tulisan-tulisannya, dan kenapa Mochtar Lubis harus dipenjara oleh rezim karena berita-beritanya?
Hari-hari dengan pemimpin yang terus berganti namun masih mempunyai isi kepala yang sama dalam menindas, memang membuat rakyat gerah dengan segala sistem yang dibangun olehnya, sistem dengan produk-produk yang tak berpihak pada yang lemah, demokrasi perwakilan, dan partai politik yang hanya menjadi mesin untuk memproduksi para koruptor. Mengisyaratkan bahwa sudah waktunya bagi penentang untuk bicara dan bertindak membela kebenaran. Karena seperti yang dikatakan oleh Goenawan Mohamad bahwa : dihari-hari yang penuh fitnah ini, membela yang benar tak cukup disimpan dalam hati.(*)
Penulis: Ayi Wallacea
Red: Mat
Dan adakalanya mereka harus diberitahu bahwa deretan huruf bisa merubah segalanya