Rawa(T)n Konflik Ilusi Kemajuan Peradaban
Apa kabarmu hari ini, kawan? Masihkah kau penuh semangat dan gairah mencari ilmu pengetahuan?.
Dua hari terakhir, pada tanggal 21 hingga 22 Maret 2019 Universitas Muslim Indonesia (UMI) sedang mengadakan kegiatan berkebun. Hal itu terlihat dari sekumpulan mahasiswa yang tidak dapat membedakan mana lahan berkebun, dan yang mana kampus. Mahasiswa-mahasiswa tersebut membawa parang dan senjata tajam lainnya masuk ke dalam kampus. Wow, sebuah prestasi bukan?
Yah, UMI sedang dilanda perang antar mahasiswa yang tergabung dalam organisasi. Perang sudah meletup dan ketakutan melanda di mana-mana. Si Doi yang seharusnya tersenyum malah lari terbirit-birit karena melihat ada seseorang yang datang ke arahnya menenteng sebilah parang. Kamu baik-baik saja, kan? Iya, kamu.
Oke, Kawan. Pertama-tama, tulisan ini bukanlah untuk menyalahkan kalian yang sedang berkonflik karena itu adalah kebebasan kalian, tetapi tulisan ini adalah sebuah curahan hati yang aku tuang dan ditujukan pada pimpinan universitas yang tidak hadir dalam menyelesaikan konflik yang terjadi. Absennya pihak birokrasi kampus menyebabkan tidak kondusifnya suasana untuk perkuliahan dan seakan-akan terjadi pembiaran oleh mereka.
Seperti yang dikonfirmasi oleh pimpinan kampus, bapak Rektor, bahwa dia telah mengarahkan kepolisian untuk mencegah dan itu dibuktikan dengan datangnya 40 (empat puluh) orang babang-babang berseragam ke dalam kampus untuk meredam konflik. Tetapi, bukan itu permasalahannya.
Permasalahannya ialah, pihak kampus tidak menyelidiki siapa saja orang-orang yang terlibat dalam konflik tersebut. Padahal, telah beredar banyak video di media sosial yang menggambarkan jelas wajah-wajah mahasiswa yang sedang berkebun itu. Belum lagi, kampus memiliki fasilitas CCTV yang merekam bagaimana mata kuliah berkebun itu berlangsung. Gimana sih, pak Rektor! Orang Demo Transparansi Anggran langsung buka CCTV lalu Skorsing. Lah Ini, Bawa Parang dibiarin.
Hal yang terjadi dengan pembiaran ini adalah adanya indikasi jika pihak kampus sengaja untuk merawat konflik yang terjadi diantara mahasiswanya sendiri. Maka, terjadi suasana kampus yang tidak kondusif dan jika sewaktu-waktu terjadi kegiatan berkebun lagi, maka perkulihaan akan terganggu. Katanya Akreditasi A! kok, gitu?
Karena tulisan ini memang ditujukan kepada pimpinan kampus terutama Ayahanda Rektor beserta jajarannya, maka tulisan ini agak bernada singgungan karena saya adalah mahasiswa yang langsung merasakan dampak bagaimana menjalani perkuliahan dengan kondisi yang tidak kondusif. Dan hal tersebut akan mempengaruhi kualitas sarjana yang dicetak kampus ini, karena mereka kuliah tidak dalam kondisi yang kondusif dan dapat merusak citra kampus di luar sana.
Akar masalahnya adalah pihak pimpinan kampus tidak mendalami persoalan dan tidak serius untuk menyelesaikan konflik yang sudah sering terjadi oleh sebahagian mahasiswanya. Hal tersebut berimbas dengan doktrin-doktrin kebencian, permusuhan yang selalu saja diwariskan dalam setiap angkatan dan hal tersebut sangat berkembang pesat. Aku tidak heran mengapa Jawa sangat maju, lihat saja di sekeliling kampus, permusuhan tumbuh suburrr!
Sudah seharusnya pihak pimpinan kampus lebih berani dan tegas dalam mengambil sikap, Seberani dan setegas saat menyatakan cintanya, Ciee.. Jadian, ups! Lanjut, sudah sepatutnya problem perang-perang semacam ini tuk diselesaikan, karena hal tersebut menggadaikan kondisi kenyamanan mahasiswa itu sendiri, padahal telah membayar banyak dan ternyata apa yang didapatinya hanyalah nyawa yang terancam. Belum lagi, ketegasan dan keberanian dari pihak pimpinan kampus wajib adanya untuk menjaga citra pada publik, mengikis anggapan bahwa kampus UMI, bukanlah Universitas Mungkin Islam, akan tetapi Universitas Muslim Indonesia. Dan hal yang paling utama dilakukan oleh pihak pimpinan kampus adalah memutus mata rantai konflik dengan berani dan tidak pandang bulu. Bulu Ayam, Bulu Bebek, Bulu-buluan, terserah-lah. Intinya, Harus Berani dan Tegas, Pak Rektor beserta antek – anteknya!
Penulis : MARDIKA
Red : Cung