Refleksi Maulid: Dari Gelap Menuju Terang Tapi Indonesia Masih “Gelap”

Segala puji bagi Allah SWT yang telah mengangerahkan kepada kita sekalian kehidupan dan anugerah kenikmatan yang tiada habisnya, serta Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju alam yang terang benderang.
Pada berbagai kesempatan maulid Nabi Muhammad SAW, kita senantiasa mendengarkan salam dan Shalawat kepada nabi diiringi kalimat “Yang telah membawa kita pada alam gelap gulita menuju alam terang benderang.” Kalimat itu begitu akrab bagi kita karna senantiasa dibacakan tidak hanya pada perayaan maulid tapi juga pada kesempatan pertemuan-pertemuan lainnya.
Kalimat itu tentu bukan sekadar formalitas saja, melainkan sebagai pengingat akan sebuah transformasi sosial besar yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang membawa peradaban jahiliyah yang rendah adab menuju peradaban yang menjunjung tinggi akhlak, ilmu pengetahuan dan tentu saja kemanusiaan serta keadilan.
Cahaya Maulid
Maulid Nabi Muhammad SAW adalah perayaan dan momentum yang sangat dinantikan oleh sebagian masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang berlatar belakang Mazhab Ahl Sunnah karena di dalamnya ada momentum untuk menghidupkan kembali nilai-nilai risalah yang telah dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW.
Dalam sejarahnya, Maulid Nabi pertamakali dilaksanakan oleh Raja Muzhaffar dari dinasti Ayyubiyah. (Baca: Fiqh Tradisional hal 294) di masa itu, maulid dirayakan dengan sedekah, berbahagia karena kelahiran Nabi Muhammad SAW dan akhirnya sampai di Nusantara lewat Ulama, Tarekat, atau Sufi.
Di Indonesia sendiri, maulid menyebar dan berinteraksi lansung dengan lokalitas yang ada, pembacaan Mahalul Al-Qiam – Barzanji, syukuran, zikiran bahkan ada perayaan unik dari berbagai masyarakat yang mewakili berbagai latar belakang mereka. Maulid yang dirayakan memiliki tujuan yang sama di masa awal munculnya yaitu menjadikan kelahiran Nabi Muhammad SAW bukan hanya momentum tapi menghidupkan kembali nilai-nilai risalah dan perjuangan beliau dalam membuat peradaban yang lebih mulia.
Nabi Muhammad SAW diutus untuk membabaskan manusia dari berbagai macam ketidakadilan baik itu dari ketidak adilan ekonomi bahkan politik seperti dalam surah Al-Anbiya ayat 107 yang berbunyi “Sesungguhnya kamu diutus untuk menjadi Rahmat bagi semesta alam.”
Spirit inilah yang menjadi refleksi bagi perayaan maulid setiap tahunnya, sudahkah kita membawa cahaya bagi kehidupan sosial, ekonomi dan politik kita?
Tentang Indonesia “Gelap” dan Cahaya Baru
Dalam sejarah dinamika politik negeri ini dan sejarah bernegara kita pasca kemerdekaan, istilah Indonesia gelap bukan hal baru dalam istilah politik negara ini. Bahkan label Indonesia gelap sudah dilekatkan pada masa pemerintahan Orde Baru pasca 65 sampai 1998, di mana di dalamnya dibumbuhi oleh represi politik, pembungkaman demokrasi, dan pelanggaran HAM yang dilakukan secara sistematis dan terencana. (baca: ORBA) lewat kontradiksi-kontradiksi yang terjadi dalam masa kekuasaan Soeharto itu kemudian ia berhasil ditumbangkan lewat serangkaian aksi yang dilakukan Mahasiswa dan puncaknya terjadi di tahun 1998, periode ini disebut Reformasi.
Cahaya Baru
Reformasi pada awalnya dianggap angin segar, bahkan dianggap sebagai cahaya karena berhasil keluar dari cengkraman Orde baru, tapi pada kenyataannya, sisa-sisa Orde Baru masih mengakar dalam politik dan ekonomi negeri ini pasca Reformasi. Lalu Pada 17 Februari 2025 istilah “Indonesia Gelap” kembali muncul kepermukaan akibat serangkian pelanggaran HAM dan Kebijakan Negara yang tidak pro terhadap rakyat, bahkan protes meningkat setelah adanya efisiensi anggaran dan pembahasan RUU TNI yang kembali memberikan peluang bagi TNI terlibat dalam aktivitas sipil dan politik yang sebelumnya sudah ditolak di tahun 1998.
Aksi protes terus meningkat dan membesar sampai Agustus 2025 beberapa waktu lalu, yang juga di saat bersamaan bertepatan dengan bulan perayaan maulid Nabi Muhammad SAW. Sehingga perayaan maulid menjadi sangat berbeda dibanding perayaan sebelumnya. Perayaan Maulid kali ini dilaksanakan dalam situasi dan gejolak ekonomi politik dalam negeri yang sedang menghawatirkan. Dalam demonstrasi tanggal 25 Agustus 2025 saja, kita dibuat berkabung karena munculnya korban jiwa dalam bentrokan, di mana aparat melakukan represif dan demonstran melakukan perlawanan. Hasilnya, bentrokan itu memakan korban,seperti data yang dirilis Tirto.id, 2 September 2025, sebanyak 9 orang meninggal dalam aksi tersebut. Nama-nama itu bukan sekedar angka tapi suara yang menyerukan cahaya nurani.
Namun dalam kondisi ini kita memang mesti jujur apalagi keadaan itu bertepatan dengan Bulan Rabi‘ul Awwal yaitu bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dalam kalender Hijriah bulan Rabi’ul Awwal bertepatan pada tanggal 24 Agustus – 22 September 2025 artinya, pertumpahan darah itu terjadi pada saat momen kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang seharusnya dalam suasana itu kedamaian dan kesejahteraan harusnya dirasakan oleh warga negara khususnya kaum Mustad’afin.
Maulid Nabi Muhammad SAW juga dinodai dengan rentetan kebijakan negara yang tidak berpihak kepada rakyat dan juga berbagai macam perampasan dan ketidak adilan agraria serta korupsi. Rakyat tercekik pajak dan PHK sedangkan DPR dan pemerintah sedang menikmati kenaikan tunjangan dan itu berlansung dalam suasana krisis ekonomi rakyatnya. Inilah yang membuat moral pejabat dan DPR mencederai nilai-nilai Maulid Nabi Muhammad SAW. Yang seharusnya, mereka sebagai orang yang dipilih dari rakyat yang mengemban tugas membawa cahaya tapi malah sebaliknya, mereka membawa kegelapan dalam bentuk kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat. Hasilnya muncul perlawanan dan puncaknya melahirkan gelombang kemarahan serta kemuakan di aksi 25 Agustus 2025 sampai awal September 2025.
Maka, pantaslah Indonesia dianggap masih gelap dan belum sepenuhnya sesuai dengan spirit yang dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Kegelapan yang dimaksud bukan tanpa penerangan seperti kata Presiden dengan nada sarkasnya, tapi yang dimaksud kegelapan atau “Indonesia Gelap” ialah masih merebaknya korupsi, kekerasan dan perampasan tanah pada petani, perampasan laut dan hak nelayan, penggusuran kaum miskin kota, kriminalisasi aktivis, pengrusakan lingkungan untuk tambang ekstraktif serta kesenjangan sosial yang terus dirawat negara sampai saat ini. Jadi gelap itu ialah matinya nurani dari penguasa.
Refleksi Maulid Untuk Indonesia
Sekiranya maulid tahun ini menjadi refleksi yang tidak hanya jadi nostalgia semata pada sejarah, tapi juga sebagai bentuk evaluasi diri. Sudahkah cahaya itu kita bawa dan perjuangkan? Terutama dalam bernegara atau berdemokrasi? Karena Nabi Muhammad SAW mengajarkan, bahwa cahaya itu adalah keberanian untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memihak kepada mereka yang dilemahkan, dan menolak segala bentuk kezaliman.
Nabi Muhammad SAW datang di tengah-tengah masyarakat yang diselimuti kegelapan, penindasan, kesenjangan, dan berbagai macam perampasan. Lalu beliau datang dengan cahaya risalah yang membebaskan.
Indonesia juga hari ini tengah berada di persimpangan yang sama. Jika benar-benar merayakan maulid, maka maulid kali ini adalah momentum untuk menyalakan kembali cahaya keadilan bagi kelompok tertindas, cahaya keberpihakan bagi buruh, petani, dan nelayan serta cahaya keberanian mengatakan yang benar di hadapan penguasa yang zalim. Tanpa itu, perayaan maulid hanya jadi seremonial tahunan seperti perayaan lainnya.
Maulid Seharusnya Sebagai Cahaya
Refleksi maulid kali ini, apakah kita telah menyalakan api cahaya Nabi Muhammad SAW, atau justru menenggelamkan bangsa ini kedalam kegelapan yang lebih pekat?
Dalam konteks negara kita yang plural, kita tidak kekurangan tempat ibadah, kita tidak pernah kekurangan doa, dan tidak pernah kekurangan perayaan maulid. Kita hanya kekurangan keberanian untuk menghidupkan cahaya itu dalam kehidupan nyata kita setiap harinya.
Maka, maulid kali ini bukan sekedar ingatan tentang sejarah Nabi semata melainkan merupakan sebuah panggilan. Panggilan dari gelap menuju terang seperti janji Nabi, tapi Indonesia Gelap adalah realitas kita hari ini dan cahaya itu hanya akan ada jika kita menyalakannya bersama.
Penulis: Fahri
Redaktur: Sudirman Rasyid