Makassar, Cakrawalaide.com – Kampus mempunyai cara tersendiri untuk membungkam suara kritis mahasiswa melalui kebijakan birokrat, dalam hal ini rektor sebagai pimpinan tertinggi Universitas mempunyai peran penting dalam mengambil kebijakan. Tak heran jika sering terjadi ketidak sesuaian persepsi dalam peraturan yang dibuat oleh pihak kampus. Bagaimana tidak, peraturan yang dibuat tidak pernah dilibatkan mahasiswa dalam perumusannya, sehingga peraturan tersebut tidak berdasarkan kepentingan  mahasiswa, alhasil, represifitas, Skorsing dan Drop Out (DO) di kampus-kampus masif terjadi, khususnya di kota Makassar.

Awal tahun 2016 lalu, tepatnya 17 februari mahasiswa Universitas Islam Makassar (UIM) dikejutkan dengan Surat Keputusan Drop Out (SK DO) yang dikeluarkan oleh Rektor UIM, Hj. A. Majdah M. Zain kepada tiga mahasiswa fakultas teknik, Henry, Bakri, dan Hilal, hanya karena mempertanyakan status jabatan Hj. A. Majdah M. Zain dengan berdasar pada SE-DIKTI 2075/D/T/1998 yang mengatur tentang masa jabatan rektor. Sayangnya, ketiga mahasiswa tersebut harus menerima konsekuensi yang mengakhiri aktivitas belajar mereka di kampus UIM dengan SK DO oleh Hj. A. Majdah M. Zain tanpa alasan yang jelas. Masa jabatan yang sudah lewati dari dua periode secara berturut (tiga) dianggap tidak sah/cacat hukum.

Selain itu rektor UIM juga telah membungkam kebebasan mahasiswa dalam menyampaikan pendapat, terkait hal tersebut rektor UIM telah mengingkari UUD Pasal 28 tahun 1945 yang mengatur tentang hak dasar setiap warga negara.

Seolah DO hal yang wajar bagi pihak birokrat kampus untuk membungkam suara kritis mahasiswa. Dalam wacana  politik istilah fasis umumnya digunakan untuk pimpinan yang bertindak otoriter. Jelaslah bahwa tindakan rektor UIM tersebut sangat mencerminkan sikap fasis yang melekat pada dirinya.

Tentu tindakan fasis Hj. A. Majdah M. Zain sangat berkontradiksi dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan mengeluarkan pendapat di muka umum dalam pasal 1 ayat (1), undang-undang tersebut menyatakan bahwa “hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Berbagai bentuk penolakan telah dilakukan sampai pada gugatan di PTUN Makassar pada tanggal 8 Novemer 2016, yang membuahkan hasil dibatalnya SK DO yang dikeluarkan oleh Rektor UIM itu, hal ini tentu menjadi angin segar bagi ketiga mahasiswa tersebut, tetapi tidak bagi A. Majdah M. Zain, pembatalan SK DO tidak membuat Rektor UIM itu mengalah untuk memberikan kembali hak ketiga mahasiswa tersebut, justru ia mengambil langkah “Banding”.

Proses hukum yang lama membuat ketiga mahasiswa tersebut hanya menunggu tanpa akses pendidikan yang pasti. Tentu hal ini menjadi masalah genting yang tengah dihadapi Henry, Bakri, dan Hilal yang sudah tidak mengakses pendidikan di kampus Universitas Islam Makassar sejak bulan Februari 2016 tahun lalu hingga sekarang Februari 2017.

Penulis : Pade

Red : Baso

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *