Siswi SLB Korban Kekerasan Seksual Tidak Mendapat Keadilan
![](https://www.cakrawalaide.com/wp-content/uploads/2025/02/WhatsApp-Image-2025-01-19-at-13.33.23-1024x768.jpeg)
Makassar CakrawalaIde.com, Seorang siswi penyandang disabilitas (tuli) di Sekolah Luar Biasa (SLB) Laniang Makassar, mengalami trauma akibat tindakan Kekerasan Seksual (KS) yang dilakukan oleh salah satu guru di sekolah tersebut, dari kejadian itu pihak korban dan pendamping hukumnya mengadakan konferensi pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar pada 17/1/2025.
Pendamping hukum menilai hal ini diakibatkan karena gagalnya implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) serta adanya kejanggalan dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh Pihak berwajib.
Ambara, selaku kuasa hukum, mengatakan bahwa korban telah melakukan visum dan juga asesmen psikolog namun ia melihat adanya kejanggalan, penyidik mengatakan bahwa korban tidak mengalami trauma akibat kekerasan seksual, hal itu berbeda dengan informasi yang di keluarkan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).
“penyidik lagi lagi menginformasikan bahwa korban tidak ada trauma akibat kejadian ini namun setelah kami mengkonfirmasi UPTD PPA yang mengirimkan kami kembali melalui via whatsapp memperlihatkan bagaimana hasil asesmen dari korban tersebut, yang memperlihatkan bahwa secara psikologis korban mengalami trauma yang mendalam,” jelas Ambara.
Ia juga monyoroti tindakan penyidik tidak sesuai dengan UU TPKS pasal 23 yang beberapa kali meminta kepada pihak korban untuk menerima permohonan damai dari pelaku.
“Padahal sebenarnya berhubung karna kasus ini di kenakan pasal dalam UU TPKS pasal 6 c pemberatan itu melarang adanya upaya damai yang di lakukan kepada korban KS bagaimana di atur dalam pasal 23 UU TPKS,” tegas Ambara
Keluarga korban mengatakan tindakan KS ini terjadi pada 12/11/2024, dan mereka sudah menemui pihak sekolah serta terduga pelaku untuk di mintai pengakuan atas perbuatannya namun kepala sekolah terkesan melakukan pembelaan terhadap pelaku sehingga proses pertemuan itu tidak mendapatkan titik terang, maka pihak korban memutuskan untuk melaporkan kejadian ini ke kepolisian.
Pasca melaporkan kejadian ini pihak pelapor (tante) dari korban mengalami banyak tekanan dan ancaman dari instansi SLB dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dengan dalih akan menuntut ulang pelapor karena sudah melakukan pencemaran nama baik dan melakukan kerusuhan di sekolah.
“Dari pihak PGRI yang berulang kali menelpon secara langsung kepada saya meminta untuk damai dan katanya kalau kasus tetap berlanjut saya akan dituntut balik oleh pihak sekolah karna pencemaran nama baik atau karna telah membuat kerusuhan di sekolah,” ucap Tante dari korban.
Penulis : Hardiansyah Al-Fathul
Redaktur : Sudirman Rasyid