Ilustrasi : Tokasi Anak Putri Duyung./ Sumber: www.google.com

Cakrawalaide.com, – Alkisah di suatu daerah bernama Kajang salah satu daerah terpencil di Sulawesi selatan. Hiduplah seorang laki-laki yang gagah berani dan bijaksana yang bernama Karaeng Liukang yang digelar dengan karaeng ujung lohe karena ia memerintah di derah kawasan ujung lohe selain ia karaeng  ia juga tekun ke sawahnya dan sesekali  bermalam di sawahnya.

Di suatu  hari  cahaya gemerlap menyinari hamparan sawahnya di kala gerimis. seperti biasanya Karaeng Liukang berjalan mengelilingi sawahnya. Seketika itu ia tiba-tiba melihat pelangi dari gunung membentang secara vertikal di atas sungai yang tak jauh dari sawahnya. Karaeng Liukang melihat tujuh gadis turun dari langit menuju sawahnya melalui pelangi itu. Dengan pelan pelan langkah yang di ambil Karaeng Liukang ia mengintip–ngintip tujuh gadis itu yang baru ia lihat tadi menuju sawahnya.

Namun setibanya ia hanya melihat tujuh ekor ikan emas yang sedang berenang di sawahnya. Dengan rasa penasaran Karaeng Liukang terus memperhatikan ikan yang sedang asyik berenang. Dan menikmati sejuknya angin yang datang menyapa menghangatkan badannya yang kepanasan seharian seakan akan tertidur di buatnya. sehingga ikan emas melepaskan larikkodonya di saluran pematang sawah Karaeng Liukang. Tanpa tak seorang pun yang melihatnya. Akhirnya  ikan emas tersebut menjelma menjadi manusia lalu mereka tergesa gesa menuju sungai untuk berenang.

Tak lama kemudian Karaeng Liukang tiba-tiba melihat tujuh  gadis yang sedang mandi-mandi di sungai. Herannya Karaeng Liukang, ikan yang sempat ia lihat berenang di sawahnya tadi tiba tiba menghilang dari pandangannya, lalu Karaeng Liukang bersembunyi di pematang sawahnya sambil melihat lihat tujuh gadis tersebut yang sedang berenang di sungai. Lalu berjalan pelan–pelan mendekati gadis tersebut. Namun Karaeng Liukang tersangkut di saluran air sawahnya hingga ia terjatuh. Akhirnya Karaeng Liukang menemukan Larikkodo ikan emas tersebut. Yang ia simpan di saluran pematang sawah tadi ketika mereka hendak menjelma menjadi manusia. Karaeng Liukang menyembunyikan larikkodo yang paling atas milik gadis bungsu. Tak lama kemudian ketujuh gadis tersebut hendak  kembali menjelma menjadi ikan. Namun gadis bungsu tak bisa lagi menjelma sebab larikkodonya telah di sembunyikan oleh Karaeng Liukang.

“Kakak bagaimana  ini larikkodoku telah hilang? Bagaimana aku bisa kembali menjelma menjadi ikan ketika larikkodoku telah hilang?” Tanya gadis bungsu yang sedih atas kehilangan larikkodonya.

“Wahai adik bungsu! kami harus kembali ke Botinglangit secepatnya. Sebab hanya beberapa waktu kita di bumi. Maaf  kami tidak bisa menunggumu!”Jawab kakaknya.

Akhirnya gadis bungsu tersebut di tinggalkan oleh kakaknya. Ia hidup sebatangkara sebab ia tidak bisa menemukan larikkodonya sebelum waktu yang diberikan untuk kembali ke Botinglangit. Seketika itu Karaeng Liukang tiba-tiba menghampirinya lalu bertanya padanya.

“Wahai gadis mengapa engkau sendirian di sini?” tanya Karaeng Liukang.

“Aku gadis bungsu dari botinglangit! Aku di tinggalkan oleh kakakku sewaktu kami berenang di sungai. Sebab Larikkodoku telah hilang sewaktu aku hendak kembali ke botinglangit! Jelas gadis bungsu yang sedih memikirkan nasibnya hidup di bumi. Akhirnya Karaeng Liukang meminta kepada gadis tersebut untuk mengajak  ke rumahnya.

Singkat cerita hari sudah mulai senja sehingga Karaeng Liukang meninggalkan sawahnya untuk kembali kerumah membawa gadis bungsu tersebut. Setibanya, senja mulai menyembunyikan dirinya sekan akan menampakkan kegelapannya. Gadis bungsu meminta agar lampu di nyalakan. Seperti  kebiasaannya bercahaya di malam hari di tempat biasa ia tinggal  bersama dengan saudara saudaranya di Botinglangit. Setelah Karaeng Liukang menyalakan pelita yang biasa dia gunakan dalam kesehariannya. Gadis bungsu merasa sedih seakan menganga melihat cahaya pelita yang Karaeng Liukang nyalakan. Dia mengira hanyalah cahaya kunang kunang yang menghantui rumah yang mereka tempati. Karena dia tidak pernah menggunakan pelita yang sesederhana itu. Dibandingkan lampu yang biasa dia gunakan bersama saudara saudaranya di botinglangit. Bahkan pancaran cahayanya dapat menyinari bumi.

Namun gadis bungsu tidak menyesali siapa pun. Sebab atas kelalaiannyalah sehingga ia tidak bisa kembali ke Botinglangit. Ia ikhlas menerima keadaan di bumi bersama Karaeng Liukang. Setelah Karaeng Liukang menyalakan pelita walapun secara tak langsung belum bisa di terimah oleh gadis bungsu itu. Karaeng Liukang mengajaknya menemaninya ke dapur karena ia hendak memasak ubi jalar untuk mereka. Sambil menunggu ubi jalar masak, Karaeng Liukang penasaran dengan asal usul gadis bungsu tersebut. Tanpa basah basih Karaeng Liukang mencoba menanyakan dari mana asal usulnya.

“Mengapa kau bisa ada di sungai kemarin?” Tanya Karaeng Liukang. Gadis bungsu itu tak menjawabnya melainkan ia menagis terisak isak di hadapannya. Karaeng Liukang mencoba mentenangkannya dan kembali bertanya dengan suara lemah lembut  sehalus kain sutra yang gadis bungsu pakai. Hingga akhirnya gadis itu tersenyum paksa terhadap Karaeng Liukang dan menghapus air matanya dengan kain sutra yang dipakainya.

“Mungkin aku di takdirkan hidup di bumi! Sebab larikkodoku tiba tiba menghilang kemarin. Dan hanya larikkodo itulah yang dapat membawaku kembali ke Botinglangit,” jelasnya.

Lalu gadis bungsu menceritakan asal muasalnya kepada Karaeng Liukang  bahwa ia adalah penjelmaan dari seekor ikan emas yang kemarin Karaeng Liukang lihat berenang di sungai bersama dengan keenam saudaranya. Kemudian Larikkodo yang terletak di pematang sawahnya kemarin adalah penjelmaan dari selendangnya yang ia pakai.

Akhirnya Karaeng Liukang semakin tertarik dengan apa yang di ceritakannya seolah olah ia jatuh cinta padanya. Baru saat itulah Karaeng Liukang sadar dengan kecantikan gadis itu, ia menjadi sangat terpesona memandangi wajah gadis yang duduk di hadapannya yang luar biasa kecantikannya. Ia belum pernah melihat gadis secantik itu di daerahnya bahkan se dunia pun baginya. Puji Karaeng Liukang dalam benakknya. Setelah beberapa hari kemudian tinggal bersamanya. Karaeng Liukan ingin menikahinya, namun  selalu ada rasa takut yang muncul di benaknya.

Di suatu hari Karaeng Liukang tak sanggup menahan lagi keinginannya untuk memperistrikan gadis itu. Dengan rasa gugup Karaeng Liukang ia mencoba untuk menyatakan cintanya kepada gadis itu dan melamarnya sejak itu pula. Namun gadis bungsu menolaknya sebab ia bukanlah manusia biasa melainkan ia adalah penjelmaan seekor ikan dari botinglangit. Namun Karaeng Liukang tetap nekad ingin menikahinya sebab ia terlanjur jatuh cinta dengan gadis bungsu tersebut. gadis itu tak menjawabnya dan meminta waktu untuk berfikir beberapa waktu untuk memutuskannya.

Tak lama kemudian sebelum tiba waktu yang di nantikan Kareang Liukang. Gadis itu menyatakan bersedia menerimah lamarannya dengan syarat Kareang Liukang harus menyatakan sumpah di hadapannya bahwa seketika kelak mereka di karuniai seorang anak. Maka Kareang Liukang siap untuk tidak akan pernah menyebut asal muasulnya bahwa ia adalah penjelmaan dari ikan emas.

“Kulleja nunikkai mingka punna rie ana’bela jako angkuai anak juku’ manna mamo ko alarro angngurasu’’ sumpah Karaeng Liukan sebagai syarat untuk bisa di nikahinya. Setelah Kareang Liukang bersumpah demikian, atas nama Tuhan akhirnya Kareang Liukang  menikahi gadis tersebut. Beberapa tahun kemudian setelah mereka menikah. Mereka  dikaruniai  seorang anak laki-laki yang bernama Tokasi.

Di suatu hari setelah kelahiran putranya. Karaeng Liukan menggendongnya karena ibunya sedang memasak di dapur untuk persiapan makan siang untuk mereka. Tanpa ia sadari Karaeng Liukan memuji anaknya yang tak lain adalah menyebut asal mausul isterinya. Seakan akan lupa akan sumpahnya sebelum ia menikahi gadis tersebut.

 “I anakku doe ballo-ballo todo selain todo na ana’ juku ia(wah kau benar benar lucu putraku, kau sangat tampan bahkan mengalahkan ketampangan ayah. Wajarlah kau tampan sebab kau keturunan ikan emas dari batinglangit) ” puji Karaeng Liukan kepada anaknya sambil tersenyum menggendongnya. Sebab ia sangat bahagia mepunyai anak. Tanpa sengaja istrinya yang hendak memasak tiba tiba keluar dari dapur dan mendengarkan pujian tuturan kata dari suaminya yakni Karaeng Liukan.

Sejak itulah istrinya mulai kecewa sebab Karaeng Liukan sudah berjanji kepadanya bahwa jangan sekali kali menyebut asal usulnya dalam keadaan apa pun. Apalagi di depan anaknya. Gadis bungsu tersebut tak lagi memasak melainkan ia menangis terisak isak di dapur mendengar suaminya menyebutkannya asal usulnya di depan anaknya. Karena  suaminya telah melanggar sumpahnya walau ia hanya memuji anaknya, yang tak sengaja ia ucapkan kepada anaknya tadi. Sebab hanyalah sebatas pujian tanpa ada maksud menyebut asal usul istrinya. Sejak  itu seorang isteri mengambil paksa anaknya dari pangkuan ayahnya. Dan menangisi anaknya di hadapan suaminya.

“Aku tak menyangka mengapa kau sepolos itu menyebut asal usulku kepada anak kita. Bahwa dia adalah anak jelmaan ikan mas,” rasa sesal sambil menangisi melihat ketampangan anaknya. Barulah Karaeng Liukang sadar dengan  ucapannya bahwa dia pernah bersumpah kepada istrinya dan syarat untuk menikahinya asalkan jangan sesekali menyebut asal usulnya dalam keadaan apa pun apalagi di depan anaknya. Barulah Karaeng Liukang menyesali dirinya.

Senja mulai menari-nari di atas bukit di kala itu. Akhirnya seorang isteri berpesan kepada suaminya bahwa, “Bila nantinya aku tak lagi mendampingimu jagalah anak kita baik baik  dan didiklah sampai menjadi anak yang patuh terhadap keluarga maupun orang lain. Sebab aku tidak mempunyai waktu lagi bersama anak kita. Karena kamu telah melanggar sumpahm,” sambil menangisi dan mencium kedua pipi anaknya.

Keesokan harinya, matahari mulai menapakkan keindahannya. Akhirnya seorang istri tergesa gesa menyapu dan mengumpulkan sampah-sampah di halaman rumahnya, lalu membakarnya. Setelah ia melihat apinya sedang membara. Maka ia melompat kedalam api yang amat panas. Karaeng Liukan tidak dapat mencegahnya. Ia hanya langsung memeluk anaknya.

Akhirnya istrinya menggaib  asajangngi ri pattunuang garohonna. Karaeng Liukan  berduka atas kehilangan istrinya. Anaknya Tokasi yang masih berusia satu tahun kehilangan seorang ibu. Namun Tokasi tumbuh besar menjadi anak yang sholeh dan patuh terhadap ayahnya tanpa pangkuan dari seorang ibu.

Waktu terus berlalu duka menjadi suka, sedih menjadi bahagia tanpa terasa Tokasi berusia kurang lebih sepuluh tahun tumbuh besar tanpa pangkuan seorang ibu. walau Karaeng Liukan tetap berduak atas kehilangan istri yang di cintainya. Di usia muda Tokasi mulai ingin bekerja namun tidak di biarkan oleh ayahnya. sebab dialah anak satu satunya, ayahnya tak membiarkan tenaganya terkuras di usia muda. Akan ada saatnya ia bekerja. Harap ayahnya.

Di suatu hari ada seorang pelaut yang ingin pergi berlayar menangkap ikan. Tokasi mendengar berita itu, sehingga meminta kepada ayahnya agar ia di restui untuk  ikut pergi bersama mereka. Namun ayahnya  tidak membiarkannya sebab ia masih muda. Tak selayaknya ia pergi  berlayar menangkap ikan. Namun Tokasi tetap nekad ingin pergi bersama pelaut tersebut tanpa ia memberi tahukan kepada ayahnya bahwa ia akan pergi bersama pelaut tersebut. Seketika ia mengetahuinya bahwa seorang pelaut akan berangkat dari pelabuhan maka Tokasi pergi diam diam dan bersembunyi di atas perahu tesebut.Tanpa  membawa pakain pengganti selembar pun.

Singkat cerita pelaut tersebut attangngadolangangngi tiba di tengah laut. Maka barulah pelaut melihat Tokasi sedang berada di perahunya.

“Mengapa kau tiba tiba ada di perahu ini Tokasi. Apakah ayahmu mengetahuinya bahwa kau ikut bersama kami?” Tanya pelaut.

 “Tidak! Sebab ayahku tak membiarkanku ikut bersama kalian!” jawab Tokasi.

Akhirnya mereka tiba di pulau yang mereka maksud untuk menangkap ikan. Hari demi terus berlalu. mereka berencana istrahat di pulau tersebut. sambil menjual ikan sebagian untuk biaya di perjalanan ketika mereka hendak kembali. Akhirnya Tokasi mengambil kesempatan untuk menjual ikan di pulau tersebut. Namun yang Tokasi jual hanyalah ekor ikan pemberian dari seorang perampuan setengah tua yang ia temui kemarin di pelabuan sebelum berangkat.

“Ikan… ikan… ikan..! satu ringgit satu ekor?” teriak berkali-kali Tokasi yang hendak mencari pembeli sambil keliling di pulau tersebut.

Keesokan harinya Tokasi kembali menjual ikannya yang tidak sempat terjual kemarin sambil berteriak-teriak. Seketika itu ada seorang gadis yang lewat di tempat penjualan Tokasi. Ia mencela Tokasi, sebab dilihatnya Tokasi menjual hanyalah ekor ikan saja. sekembalinya dirumanya akhirnya gadis tersebut jatuh sakit dan tak seorang pun yang dapat menyembuhkan penyakitnya. Sehingga ayah gadis tersebut mengadakan sayembara bahwa siapa yang dapat menyembuhkan anaknya. ketika ia laki laki maka ia di jadikannya menantu, tetapi ketika ia perempaun maka ia di jadikan anak angkatnya dan sebagian hartanya di berikan untuknya. Maka masyarakat terburu-buru datang ke rumah gadis tersebut untuk mengobatinya dan bahkan semua dukun yang sakti datang mengobatinya. Namun tak seorang pun yang dapat menyembuhkannya.

Akhirnya ayah gadis tersebut mengumpulkan masyarakat yang ada di pulau tersebut tanpa terkecuali termasuk pelaut dan Tokasi. Ayah gadis tersebut meminta kepada semua masyarakat agar mendoakan anaknya yang sedang jatuh sakit apapun yang mereka tau. Tanpa terkecuali, jangan sampai ada salah satu di antara mereka yang dapat di kehendaki oleh Tuhan untuk menyembuhkan anaknya melalui dirinya. Semua orangpun pada mengantri mengobati. Hanya tinggal Tokasilah yang belum sebab ia duduk di sudut rumah. Seakan akan tertutupi oleh orang. Ayah gadis tersebut meminta kepada Tokasi agar ia mendoakan anaknya apapun yang ia tau. Namun Tokasi di ketawai oleh orang-orang sebab ia masih kecil mana mungkin ia bisa mengobati.

Dengan rendah hati Tokasi ia hanya tertunduk malu melihat orang orang menertawainya. Ayah gadis tersebut berkali kali memanggail Tokasi. Tokasi tak meninggalkan tempat duduknya ia malu menyentuh gadis tersebut. sebab ia hanyalah tamu dan  ialah yang paling mudah di tempat tersebut. ia hanya meminta air segelas lalu mencelupkan ekor ikannya kedalam gelas tersebut. Tokasi meminta agar air tersebut diminum oleh gadis yang sedang jatuh sakit.

Tak lama kemudian gadis tersebut tiba tiba terbangun dari pembaringannya ia mulai sembuh dari penyakitnya. Membuat orang orang terkejut melihatnya. Sebab hanya dengan air pemberian Tokasi sehingga gadis itu tiba tiba terbangun. Akhirnya ayah gadis tersebut sangat gembira melihat kesembuhan putrinya. Ia menempati janjinya  yang ia sampaikan kepada masyarakat melaui sayembara kemarin.

Namun Tokasi baru berusia dua belas tahun sehingga ayah gadis tersebut tak menjadikannya menantu sebab ia masih muda. Meliankan ia hanya memberikan semua hartanya yang Tokasi mampu ambil. Ayah gadis tersebut memerintahkan agar mengisi perahu perahu Tokasi milik pelaut tetangngaya. Dengan berbagai macam emas sebagai balasan atas syukur kesembuhan anaknya.

Singkat cerita mereka kembali ke tanah leluhurnya di Kajang dengan membawa emas pemberian ayah gadis tersebut kepada Tokasi sebagai rasa syukur atas kesembuhan putrinya. Pelaut sangat gembira melihat emas tersebut tersusun rapi di perahunya. Di tengah perjalanan di laut attangngadolangang mereka merencanakan untuk membuang Tokasi agar emas tersebut menjadi milik mereka. akhirnya sang pelaut sepakat untuk membuangnya. Mereka mendorong Tokasi akhirnya terjatuh kedasar laut. Mereka gembira melihat Tokasi  terjatuh. Mereka menganggap bahwa Tokasi akan meninggal di makan ikan buas. Lalu mereka melanjutkan perjalanannya. Seketika itu si putri duyung ibunya menemukannya sedang menangis terisak isak di dasar laut. Lalu Tokasi menceritakan apa yang telah terjadi pada dirinya sehingga ia tiba di dasar laut tersebut.

Akhirnya si putri duyung meminta kepada Tokasi agar ia menaiki belakangnya untuk membawanya kembali kedarat menemui ayahnya. tanpa ia memberi tahu bahwa ialah ibunya. Sebab ia takut nanti Tokasi tidak ingin lagi kembali ke darat menamani ayahnya. cukup ialah yang meninggalkan suaminya. Si putri duyung hanya memberikan nasihat kepada anaknya.

“Tokasi jangan lagi melanggar permintaan ayahmu! Kau harus menjadi anak yang baik, patuh terhadap ayah. Temani ayahmu dan jangan jauh dari pangkuannya sebab ia sangat mencintaimu. Nasehat si putri duyung sambil menangis melihat ketampangan anaknya yang tumbuh besar tanpa pangkuannya.

Di tengah perjalanan mereka, ketika si putri duyung hendak membawa putranya kedarat. Mereka  di lihat oleh sahabat sahabatnya di laut seperti ikan paus, kepiting, dan sebagainya. Mereka menginginkan agar Tokasi menjadi makanannya.

“putri duyung lepaskan manusia itu mari kita makan sama sama. Aku sedang lapar?”  Pinta si ikan paus.

“jangan dulu paus kita tidak bole makan manusia ini sebelum kita sampai ke pinggir laut. Ayo kita ke pinggir laut! Jelas si putri duyung berpura pura agar ia bisa melindungi putranya dari ikan paus, kepiting dan sebaigainya sebab mereka hendak memangsa Tokasi. Hingga mereka berkali meminta agar si putri duyung melepaskan Tokasi untuk di jadikan mangsa. Namun si putri duyung tetap melindungi putranya.”

Tokasi ketika kita telah sampai di pinggir laut maka cepat cepatlah melompat kedarat sebelum ikan paus, kepiting dan yang lainnya memangsamu. Perintah si putri duyung kepada putranya agar ia selamat dari binatang buas tersebut. Tak lama kemudian mereka tiba di pinggir laut.

Akhirnya Tokasi melompat ke darat tak satu binatang pun yang berhasil menangkapnya. Sebab si putri duyung ketat melindunginya. Lalu Tokasi pergi menemui ayahnya yang sudah lamah menanti-nantikan kedatangannya. Sebelum pelaut tersebut tiba di pelabuhan. Lalu menceritakan kepada ayahnya apa yang telah terjadi pada dirinya. Bahwa hanya dengan pertolongan si putri duyunglah sehingga ia tiba dirumah menemui ayahnya. maka ayahnya meminta kepada Tokasi agar ia bersembunyi kedalam kamar sambil menunggu pelaut tiba.

Singkat cerita pelaut tersebut datang berbondong bondong berpura pura meminta maaf atas kelalainnya bahwa Tokasi telah meninggal. Maka Karaeng Liukan berpura pura sedih mendengar anaknya meninggal, hanya lantunan tangis yang ia nampakkan kepada pelaut tersebut. Lalu Tokasi keluar dari kamarnya pelan pelan menampakkan dirinya di hadapan pelaut tersebut. Barulah pelaut terkejut melihat Tokasi telah berada di depannya. Padahal mereka sudah menganggap bahwa Tokasi akan meninggal di makan ikan buas di laut. Mengapa ia masih hidup. Pikir pelaut

Barulah mereka sujud dan meminta maaf atas apa yang telah mereka perbuat kepada Tokasi dan mereka siap di jadikan pembantu atau budak asalkan mereka tidak di bunuh oleh Karaeng Liukan. Maka dari cerita Tokasilah menjadi cikal bakal lahirnya budak atau pembantu di masyarakat Kajang.

R.U Mallatong’DS

Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil  Universitas Fajar Makassar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *