Unjuk Rasa Buruh di PN Makassar: Hentikan Sistem Kerja Paksa, Penuhi Hak-Hak Buruh PT Huadi

Makassar, CakrawalaIDE.com Dengan mengangkat spanduk utama bertuliskan “Hentikan sistem kerja paksa, penuhi hak-hak buruh PT Huadi”, puluhan buruh Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) dan mahasiswa menggelar aksi demontrasi di Pengadilan Negeri Makassar. Aksi tersebut merupakan respon terhadap gugatan yang diajukan oleh PT Huadi terhadap 20 buruhnya yang di PHK dan respon atas hak upah kerja yang tak kunjung dibayarkan, Selasa (26/8/2025).
Ketua Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) KIBA, Junaid, dalam orasinya menjelaskan jika perusahaan menerapkan dua sistem kerja bagi 1.958 pekerja yakni sistem regular dengan tujuh hari kerja tanpa libur dan beristirahat serta sistem sif dengan 12 jam kerja perhari sebanyak 20 sif perbulannya.
Buruh juga dipaksa kerja lembur tanpa diberikan pilihan untuk lembur atau tidak, bagi buruh yang menolak justru memeperoleh ancaman dengan sanksi atau surat peringatan sehingga kondisi tersebut mengharuskan pekerja tidak punya pilihan lain selain tunduk pada kebijakan perusahaan.
Lebih lanjut, Junaid selaku orator menegaskan bahwa para buruh yang dieksploitasi tenaganya dengan mengerjakan pekerjaan melebihi jam kerja (lembur) bahkan tidak dibayarkan upah kerjanya sesuai aturan. Hal tersebut dinilai justru merupakan perbudakan modern, sebab buruh tidak memiliki waktu beristirahat dan hak atas upah lemburnya pun terabaikan.
“Perusahaan menerapkan perbudakan modern yang tentunya hanya mengeksploitasi tenaga kerja yang ada di PT Huadi,” gaung orator dengan tegas.
Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan, waktu kerja 8 jam perhari dan 5 hari kerja dalam seminggu. Sehingga mestinya, 2 hari libur harus dibayarkan sesuai aturan dalam Undang-Undang.
Selain itu, Junaid menjelaskan bahwa PT Huadi Nickle Alloy juga tidak menjalankan aturan sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 yang mengatur tentang upah buruh diseluru Indonesia.
Perusahaan melakukan kejahatan perampasan upah, di mana perusahaan tidak membayar buruhnya sesuai Upah Minimum Profinsi (UMP) dan hanya memberi upah dibawa Rp 3,500,000.
“Artinya bahwa tindakan ini merupakan tindak kejahatan terkait upah, baik upah lembur maupun upah yang ditetapkan oleh negara,” jelasnya.
Sejalan dengan yang disampaikan oleh orator, kuasa hukum buruh dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar yakni Hasby juga menuturkan, alih-alih membayarkan upah lembur yang telah ditetapkan pengawas ketenagakerjaan, perusahaan justru menggugat buruhnya dan menutup mata atas upah tunggakan lembur buruh yang sejak 2021 hampir mencapai 1 miliar belum dibayarkan.
Ini menunjukkan bahwa pihak perusahaan berusaha melegitimasi praktik yang mereka jalankan agar dianggap sah meskipun bertabrakan dengan aturan yang ada.
“Perusahaan mau melegalisasi praktik yang mereka laksanakan sebagai hal yang sah, padahal itu sudah jelas-jelas bertentangan dengan aturan yang berlaku,” ucap Hasbi.
Lebih lanjut Hasbi menilai jika gugatan yang dilakukan pihak PT. Huadi juga mencederai instrumen hukum dan menormalisasi kekerasan terhadap buruh. Sebab seperti yang selama ini diperlihatkan, eksploitasi tenaga kerja yang dilakukan perusahaan dengan memaksa buruh untuk lembur adalah praktik kerja paksa karena tidak memperhatikan hak-hak pekerjanya.
“Jadi praktek kerja yang selama ini eksploitatif yang kami duga kuat ini adalah praktik kerja paksa yang dilakukan oleh perusahaan tanpa mempertimbangkan hak-hak buruh.” Tutup Hasbi.
Penulis: Ali Madani Sarabity
Redaktur: Sudirman Rasyid