Ironi Destruktif Agama di Negeri Pluralisme

2
pluralisme-300x293
Ilustrasi

Permasalahan pencapaian demokratisasi di Indonesia kian hari diperhambat dengan berbagai anomali yang lahir dari rahim dehumanisasi. Wibawa negara sebaga institusi “akbar” yang seyogyanya wajib memenuhi hak dasar warga negara seakan-akan sirna di depan permasalahan itu. Kekuatan negara secara organisasional yakni monopoli, memaksa dan menyeluruh  itu semakin mengangkat tangan bahkan terkesan diam-terbungkam dengan kekuatan dalam upaya mencoreng wajah demokrasi pancasila berbasis kebhinekaan kita. Salah satu permasalahan yang selama ini menginjeksi virus-virus menuju karakter antidemokrasi yakni radikalisme agama atau lebih tepatnya kita labelkan dengan Fundamentalisme agama. Pembungkaman demokrasi yang selama ini mencuat hampir di seluruh daerah di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh indoktrinisasi kebenaran positivistik dari beberapa sekte agama besar namun cenderung “garis keras”.  Berbagai bentuk kekerasan atas nama kebenaran agama di dalam beberapa diskursus pluralism maupun demokrasi modern mengasumsi bahkan diyakini sebagai akar penyebab dalam menumbrai spirit pancasilais sebagai substansi republik ini. Fakta-fakta yang terjadi seperti pembantaian terhadap minoritas kaum syiah di sampang Madura, warga ahmadiyah di tasikmalaya, serta beberapa aliran agama nasrani di kota bogor yang di cekal dalam melaksanakan ritual ibadah sebagai bukti bahwa kekerasan beragama masih menjadi permasalahan prioritas yang perlu diselesaikan oleh negara.

Kekerasan dengan dalil agama selama ini terjadi bukan tanpa ada sebab. Menjamurnya gerakan-gerakan fundamentalisme agama dianggap merupakan salah satu dari sekian sebab yang memicu bara api kebencian terhadap keyakinan minoritas. Stigmatisasi ”sesat dan menyesatkan” dengan dalil otoritas wahyu (kitab Suci) dilekatkan kepada golongan yang dianggap di jalur lain dengan kepercayaan atau keyakinan mereka, entah dalam perspektif akidah sebagai konsep beragama maupun ranah ritual sebagai impelemtasi dari akidah itu.

Pakar Studi Agama, Charles Kimball dalam bukunya “kala agama menjadi bencana” menyatakan ada 5 (lima) hal penyebab terjadinya destruktif agama, baik agama samawi (berdasarkan pemahaman wahyu), maupun agama ardhi (agama yang lahir secara proses kultural), pertama mengklaim kebenaran mutlak sehingga agama terkesan kaku dan cenderung skriptualistik. Padahal jika kita lihat agama dengan pendekatan multiperspektif, maka agama bukan hanya menjawab permasalahan teologis saja, melainkan pula menjawab segala bentuk permasalahan kemanusiaan (humanism universal). Firman (otoritas) Illahi yang termaktub dalam kitab suci akan diinterpretasikan sesuai dengan perspektif (sudut pandang) dari sang interpreter dalam menentukan cara beragamanya. Maka perbedaan beragama dan berkeyakinan sudah menjadi suatu sunatullah (hukum alam) yang tak bisa ditumbangkan dengan cara apapun oleh segelintir orang atau kelompok tertentu. Kedua, Ketaatan buta terhadap pemimpin yang menyebabkan patrunisasi dalam beragama. Sebagai contoh, dalam fakta dinamika masyarakat, ajaran agama sering digunakan oleh penguasa atau pemimpin untuk melegitimasi kekuasaan. Dalam sejarah peradaban manusia, pemimpin yang zalim (dictator) selalu mencampur-baurkan nilai agama yang seyogyanya “suci” dengan kekuasaan politik yang cenderung bermain kotor dalam mewujudkan tirani kekuasaan. Imbasnya, makna kesakralan agama terlihat keruh karena hanya dimanfaatkan dalam membentengi kebengisan rezim (pemimpin). Ketiga, keinginan yang kuat kembali ke zaman ideal. Dalam pandangan fundamentalisme agama, zaman ideal diinterpretasikan sebagai sistem khilafah yang dianggap sangat perfeksionis dalam bentuk ketatanegaraan pasca wafatnya Rasulullah SAW. Akan tetapi, menurut Ayumardi Azra, khilafah secara historis memiliki kelemahan dalam perjalanannya, seperti adanya unsur nepotisme dalam kekhalifahan di zaman Bani Ummayah sehingga memantik konflik kepentingan yang memicu perpecahan dalam tubuh umat islam. Atau dengan kata lain, Rasulullah SAW itu merupakan individu yang  ideal, namun yang jadi pertanyaan besar, apakah kita akan hidup ideal baik secara politik, hukum, dan ekonomi jika kita kembali ke sistem khilafah itu dengan keadaan sudah tidak ada Rasulullah sebagai individu ideal itu (Suri tauladan yang baik)? Sehingga tidak berlebihan jika muncul berbagai argumentasi bahwa khilafah sudah tidak layak dijadikan sebagai entitas politik di zaman modern ini. Keempat, menghalalkan segala cara demi satu tujuan tertentu. Sering kita temukan berbagai bentuk kejahatan yang berujung kekerasan bahkan pembunuhan dengan alasan “darahnya halal”. Namun dalam ajaran agama manapun, tidak pernah mengafirmasi tindakan kekerasan apalagi pembunuhan dalam kepentingan individu ataupun golongan. Kelima, mengumandangkan perang suci yang melahirkan pandangan untuk memancing kekacauan dan peperangan dengan dalil perintah Illahi. Kila lihat saja berbagai konflik yang terjadi di beberapa belahan dunia seperti di timur tengah, konflik bersenjata yang memicu peperangan diklaim agama sebagai akar penyebabnya. Namun jika dilihat dalam pendekatan ekonomi politik, konflik yang terjadi selama ini disana lebih cenderung akibat dari perebutan sumber energy (kilang Minyak).

Indonesia merupakan negara yang memiliki karakteristik demokrasi yang secara konseptual berbeda dengan negara demokrasi pada umumnya. Demokrasi pancasila yang secara konseptual itu seperti diketahui selama ini berupaya dalam menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia dan penegakan supremasi hukum seharusnya mampu menjawab segala bentuk patologi sosial yang bersumber dari radikalisme atau fundamentalisme agama. Selain itu, pendidikan pluralisme agama sebagai turunan dari Ideologi Pancasila sudah diimplementasi secara dini kepada generasi penerus bangsa sebagai pintu dalam menuju cita-cita bangsa Indonesia sebagai bangsa berketuhanan dan berperikemanusiaan. Perlunya suatu badan negara serta regulasi yang dilahirkan terkait mendukung kebebasan dalam beragama sehingga baik secara yuridis maupun non yuridis (politik, sosial, dll), kekerasan atas nama Tuhan mampu diminimalisir bahkan dihilangkan dari wajah Indonesia yang telah bertopeng Demokrasi Pancasila itu.

IMG_9859Penulis: Ukhay Figaromnetho Al-Ghurabah
Mahasiswa Fakultas Hukum UMI, anggota Kelompok Kerja FOSSIS-UMI

2 thoughts on “Ironi Destruktif Agama di Negeri Pluralisme

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *