Menerawang Kembali Gerakan Mahasiswa
“Pahlawan dan Pelawan terlahir dari suatu rahim yang sama. Maka jangan pernah mengaku pahlawan jika belum melawan.” (Budayawan Gowa)
Oleh: Haidar Faroz
Gerakan mahasiswa memang menjadi suatu bahan diskursus yang tidak akan pernah habisnya untuk di bahas, entah dalam forum diskusi atau seminar, maupun dalam ruang-ruang sempit ala kos-kosan. Perkembangannya yang selalu dialektis dengan zaman merupakan salah satu penyebab mengapa diskursus terkait dengan gerakan Mahasiswa selalu menarik untuk di bahas dari berbagai ranah perspektif. Memang, gerakan Mahasiswa laksana coretan-coretan yang selalu mewarnai kanvas sejarah, baik sejarah masyarakat dunia, maupun sejarah masyarakat Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa jejak-jejak sejarah di dunia ini hanya terlukiskan dengan dua warna, merah dan hitam. Artinya sejarah-sejarah perjuangan demi terwujudnya perubahan sosial yang terjadi di seluruh belahan dunia tidak terlepas dengan pengorbanan darah dan tentunya tinta hitam untuk mengabadikan sejarah itu. Peranan gerakan Mahasiswa yang menyatu dengan kepalan tangan rakyat merupakan sebuah kekuatan Illhaiyah yang hadir laksana momok menakutkan bagi siapa saja yang terlena dengan anomali kekuasaan. Gerakan mahasiswa hadir sebagai antithesis untuk menjawab segala bentuk penindasan, penghisapan, dan pembodohan yang terstruktur dan tersistematis yang berasal dari rezim yang berlumuran otoritarianisme.
Sisi Hitam Gerakan Mahasiswa
Sebenarnya, gerakan mahasiswa telah mengalami kemerosotan sejak pra kemerdekaan. Peristiwa tanggal 26 – 27 oktober merupakan sebuah jejak pahit dalam sejarah gerakan mahasiswa Indonesia. Gagalnya Muso, Amir Syarifuddin, dan koleganya dalam melakukan pemberontakan terhadap penjajah di nilai terlalu dini dan tanpa persiapan matang. Tan Malaka pun mengkritik konsep gerakan yang di bangun pada saat itu dengan ditandai munculnya salah satu buku Masterpiecenya, Aksi Massa.
Bukan hanya itu, peristiwa Malari (malapetaka 15 Januari 1974) yang di pelopori oleh Hariman Siregar dan kawan-kawan pun mengalami kegagalaan. Munculnya massa misterius dalam massa mahasiswa membuat gerakan yang telah terkonsolidasi baik itu memicu chaos, sehingga hal itu dimanfaatkan oleh Rezim ORBA sebagai legitimasi untuk membubarkan aksi massa melalui tindakan represif militer. Penumbangan rezim ORBA pada tanggal 21 Mei 1998 juga jauh dari harapan fundamental organ-organ gerakan pada saat itu. Cita-cita “Revolusi Sampai Mati” hanya melahirkan era reformasi yang hanya menumbangkan rezim, tetapi tidak untuk sistem pro kapitalisme yang telah susah payah di bangun ORBA selama 32 tahun itu.
Berangkat dari deskripsi diatas, hati ini merasa risih dan kadang tertawa sendiri terhadap statemen-statemen megaloman beberapa oknum yang merasa pintar tapi tidak pintar merasa, bahwa gerakan mahasiswa telah mati suri hanya dalam era reformasi saja. Padahal jauh sebelum Bumi pertiwi ada, Gerakan Mahasiswa telah mewarnai dirinya sendiri dengan lumpur hitam berbau busuk yang aromanya masih tercium hingga saat ini.
Gerakan Mahasiswa, Kini dan Nanti
Berdirinya pilar-pilar demokrasi pasca ORBA mempermudah siapa saja yang ingin mengeluarkan aspirasinya terkait suatu kebijakan rezim yang di nilai tidak konteks dengan kebutuhan masyarakat, termasuk mahasiswa. Keterbukaan informasi, kebebasan dalam mengeluarkan pendapat, merupakan hadiah dari tumbangnya Rezim ORBA bagi mahasiswa yang di dalam dadanya masih berlafadzkan perjuangan dan pergerakan. Cara penyampaian aspirasi pun berbagai pun beragam. Kemacetan dimana – mana, teriakan-teriakan melalui toa atau pengeras suara, pembakaran ban-ban bekas, seminar atau forum diskusi, dan lain-lain.
Namun di balik itu semua, gerakan mahasiswa masih tetap dihantui dengan berbagai macam persoalan. Jika era ORBA misalnya, gerakan mahasiswa selalu dibayangi dengan penculikan atau ancaman pembunuhan, maka di era reformasi ini bentuk ultimatumnya sudah sangat beragam. Tindakan Represif aparatur Negara, gerakan pragmatis yang berujung transaksional, bahkan barganning possision dalam kepentingan politik elektoral. Semua itu merupakan fakta anomali yang telah menggerogoti hakekat gerakan mahasiswa.
Persoalan-persoalan diatas terjadi bukan hanya di sebabkan oleh kebejatan rezim yang mampu mengkooptasi gerakan mahasiswa, melainkan pula dari sisi mahasiswa secara personal. Mental individualistik mahasiswa yang cenderung elitis, melahirkan konsep gerakan yang telah terkebiri bibit-bibit borjuasi. Bukan hanya itu, tindakan mahasiswa yang sering permisif juga mempengaruhi substansi gerakan. Pada akhirnya, budaya-budaya hipokritik pun merajalela alias “asal bapak senang”.
Untuk menjawab segala persoalan diatas, maka sudah saatnya kita yang mengklaim diri sebagai masyarakat intelektual mampu menetralisir racun-racun dalam pilar gerakan. Bukan hanya sekedar duduk di balik meja belajar. Perjuangan dalam penyampaian aspirasi bukan hanya turun ke jalan, masih banyak metodologi yang dapat diaktualisasikan sebagai bentuk perjuangan awal, seperti pembasisan (Community Organizing) untuk memancing kesadaran sosial, pembangunan kesadaran politik masyarakat melalui pendidikan politik, dan masih banyak lagi metodologi yang lebih soluktif. Rekonstruksi makna gerakan perlu di gagas ke titahnya, yaitu semata-mata hanya demi kemanusiaan, bukan yang berakhir dengan persoalan kepuasan hasrat individualistik.
**Herman Kambuna
buy priligy cheap Vascular endothelial growth factor VEGF in breast cancer Comparison of plasma, serum, and tissue VEGF and microvessel density and effects of tamoxifen