Bukan Budak Senior

MakassarCakrawalaIDE.com “Setiap hari jumat harus pake baju batik.” Ucap salah satu anggota BEM Sastra saat masuk di kelas.
Teman-temanku mengiyakan, wajar masih Mahasiswa Baru Ilmu Komunikasi (MABA Ilkom) tapi aku tak peduli. Minggu pertama aktif menerima mata kuliah di kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) hampir setiap hari anak BEM masuk ke kelas menawarkan pin yang ukurannya sangat kecil seharga 20.000, katanya harus digunakan setiap hari sebagai pertanda kami adalah maba anak Sastra. Masih sama, aku tak peduli. Ketika masuk lagaknya selalu memaksakan untuk membeli pin itu dengan mengatakan bahwa itu untuk galang dana (galdan).
“Setiap hari harus digunakan, dipasang di jilbabnya. Yang cowok di bajunyami saja.” Ucap senior perempuan bermata agak sipit.
“Iye kak,” balas semua teman-teman yang terlihat lugu menerima semua aturan yang disampaikan para mereka yang merasa harus dituruti.
Saatnya mendekatiku, menawarkan pin yang sama setelah mendekati teman-teman yang lain. Mataku berfokus ke handphone kutau dia akan mendekat.
“Kita dek? Nda belipaki? Wajib ini supaya ditauki bilang anak sastraki,” tawarnya.
“Tidakji dulu kak, besokpi saya karena nda cukupki uangku,” jawabku dengan mengungkapkan aku kekurangan uang padahal aku tak mau saja.
Cewek bermata sipit itu agak sinis setelah aku menolaknya, perlu kutandai supaya ketika kutemui di luar tak perlu ada hal yang mengharuskan aku sebagai junior untuk tunduk-tunduk.
“Besok pale nah dek, soalnya diharuskan ini.” Ujarnya.
Semua yang tak memegang uang cash membayarnya dengan menggunakan Qris, teman-temanku terlihat menerima semua itu padahal ketika senior-senior keluar barulah mereka menggerutu sejadi-jadinya. Aku selalu diam, hanya melihat dan mendengarkan ocehan mereka. Mereka yang tak mampu beralasan sepertiku.
Hari kedua, mereka masuk lagi di kelas kulihat dari luar karena aku masih singgah di tempat print sastra untuk ngeprint makalah yang akan kupresentasikan sebentar bersama teman kelompokku. Temanku tiba-tiba menghampiri.
“Lili dicarikko sama senior, karena sisa kau yang belum beli pin,” ungkap temanku.
Bisa-bisanya sangat menandaiku belum membeli pinnya yang sangat tak masuk akal itu.
“Astaga lupaka bawa uang weh,” balasku pura-pura lupa sambil memasukkan yang sudah kuprint ke dalam tas.
“Terakhirmi hari ini beng.” Lanjutnya.
“Biarmi karena lupaka bawa uang,” jawabku lagi.
Tiba-tiba satu orang teman perempuanku keluar dari kelas memberikanku pin kecil itu, dan aku bingung karena aku tak membeli.
“Ambilmi Lili, daripada namarahiki senior. Terakhirmi hari ini,” namanya Nira, ia membelikanku karena sisa aku yang selalu beralasan banyak hal.
“Eeh, janganmi weh nantipi saya beli lupaja bawa uang ini,” ucapku kebingungan, Nira bilang ia membelikanku secara cuma-cuma tak perlu mengganti uangnya.
Kurasa ini pemaksaan. Bagaimana ketika uang teman-teman yang lain sebenarnya bisa cukup makan selama dua hari itu terpaksa harus memenuhi aturan bahwa menggunakan pin itu merupakan sesuatu yang wajib. Aku tidak peduli meski Nira membelikanku pin, mengapa begitu perlu ditandai kita ini maba Sastra. Apakah supaya mereka lebih mudah memberi perintah kepada maba-maba di kampus? Tak masuk akal. Meski begitu, aku tidak akan menggunakan pin yang diberikan Nira.
Berhenti untuk tidak menormalisasi hal-hal seperti itu kumulai dari sekarang. Menolak dari awal nurut sama senior yang katanya harus dipercayai karena mereka lebih dulu berada di kampus ini.
Jumat kedua masuk kampus, laki-laki serta perempuan semuanya mematuhi aturan yang sama ‘Setiap Jumat wajib menggunakan baju batik’. Sendirian aku melawan dan menolak itu. Menggunakan warnaku sendiri, kemeja biru muda, rok berwarna cream kusertai pula dengan jilbab biru muda.
Mereka masuk lagi “Siapa yang tidak pake baju batik hari ini?” tanyanya.
Semua pandangan mengarah kepadaku.
“Lili kak.” Ujar mereka memberitahukan.
Perempuan bermata sipit itu menghampiriku “Kenapa sendiri mamiki tidak pake baju batik? Nah semua temanta ini pakai baju batik,” tanyanya kepadaku seorang.
“Tidak ada baju batikku kak.” Jawabku tanpa merasa lugu.
“Usahakanki dek di Jumat depan harusmaki pake,” katanya.
“Iye kak baruka mau beli,” balasku.
Tiba-tiba senior di belakangku seolah berteriak dengan melihatku sinis karena aku yang menjawab seolah tak memedulikannya “ingat nah pake baju batik itu wajib.”
Aku tak menoleh, mereka begitu merasa berkuasa dengan keberadannya. Hingga tiba pada minggu ketiga jadwal matkul yang masuk itu Ketua Program Studi sendiri, bingung melihat semuanya menggunakan baju batik. Kecuali aku lagi seorang.
“Kenapa ini pake baju batik semua?” tanyanya ke mahasiswa.
“Senior yang masuk bilang wajib bunda setiap hari Jumat,” jawab sesuai adanya.
“Kayak mau daftar Casis saja semua. Tidak usah pake lagi yah minggu depan” ujar Kaprodi setelah tertawa melihat semuanya.
Seolah-olah aku merasa menang, dari semua penolakan yang kutanamkan sejak awal itu juga ditolak oleh kaprodi sendiri. Memang sangat tak masuk akal. Teman-temanku bahagia dengan hal itu.
Wajib menggunakan baju batik serta membeli pin, bukan itu saja. Sebagai maba katanya kami dilarang menginjakkan kaki di salah satu tempat ngopi andalan di dalam kampus karena banyak senior Ilkom di sana.
“Weh jangko ke sana nah, dilarangki. Banyak beng senior di sana nanti natanya-tanyakki,” ucap temanku.
“Siapa bilang dilarangki? Nah darija saya di sana,” dengan kesadaran penuh aku membalas teman-temanku.
Sebut saja Kedai Pribumi. Akibat senior-senior seringkali memberikan informasi yang menghantui teman-teman yang lain membuat mereka seakan tak punya ruang kebebasan di kampus sendiri. Ketika mereka melihat senior sedang nyantai di gazebo sengaja mereka menghindar agar tak ditanya-tanya.
Maka dari itu aku menolak menggunakan pin, menolak menggunakan baju batik, dan menolak untuk tidak menginjakkan kaki di Kedai Pribumi selama maba. Untuk apa memenuhi semua itu? Agar kau mudah ditandai sebagai mahasiswa baru sehingga dengan mudahnya dijadikan layaknya budak mereka. Kampus ini merupakan ruang kebebasan berekspresi, di mana kita berdiri di hak masing-masing tanpa harus mengikuti aturan-aturan yang diberikan oleh para senior-senior haus penghormatan itu. Posisi kita semua sama, sebagai mahasiswa yang membayar UKT setiap enam bulan. Yang perlu mematuhi aturan-aturan yang diberlakukan kampus, bukan aturan yang diberlakukan tanpa ada dasar.
Kesadaran untuk tidak membiarkan senior-senior di kampus menganggap maba-maba itu sebagai budak mereka sangat perlu ditanamkan sejak awal masuk kuliah. Di mana ketika hal itu terus menerus dibiarkan akan membuat senioritas di kampus menjadi budaya yang turun temurun dinormalisasi. Karena hal yang yang sama telah dilakukan senior sebelumnya sehingga membuat mereka harus melampiaskan hal yang sama pula ke mahasiswa baru, atau akrab disebut “Adek-adek” mereka.
Penulis: Qhaerunnisa
Ilustrator: Putri Bulqhis