Cerpen: Retorika Tanpa Nyawa
Takdir mempertemukan kami untuk pertama kalinya di toko buku terbesar kota ini. Kulitnya yang begitu cerah terlihat kontras dengan kulit gelapku saat lengannya tak sengaja menyenggolku. Dia tersenyum. Senyum termanis yang pernah kulihat. Dan sejak saat itu, aku menjadi temannya yang paling setia. Mengiringi setiap langkahnya, menemani kemanapun dia pergi.
***
Hari ini melelahkan. Konsolidasi dengan senior lembaga molor hingga empat jam dari perjanjian awal yang seharusnya pukul 5 sore. Alhasil, saya duduk membusuk di warkop sambil sesekali menepuk nyamuk yang mencoba menyedot tubuh kekurangan darah ini. Di saat seperti ini, yang saya butuhkan sesungguhnya hanya dia. Bahu untuk bersandar, telinga untuk sekedar mendengarkan keluh kesah.
***
Sore ini kami menghabiskan waktu di warkop daerah Toddopuli. Dia bercerita banyak hal sambil sesekali menengok ke arah pintu masuk. Gestur khas orang yang sedang menunggu. Kepadaku dia bertutur tentang kerisauan hatinya akan banyak hal. Tentang negeri yang menurutnya terserang osteoporosis, tentang birokrasi yang katanya tidak lebih dari para penjilat dengan dahaga tak terpuaskan, bahkan tentang politik skala kecil di kalangan mahasiswa yang menyita cukup banyak waktu dan tenaganya belakangan ini. Sampai disitu dia terdiam. Lama sekali. Hingga kuberanikan diri menatap matanya. Ada lapisan bening di sana. Tidak tega rasanya melihat dia seperti ini, perlahan dihancurkan kesedihan. Aku ingin menenangkannya dalam pelukanku. Atau setidaknya membisikkan kalimat penenang di telinganya. Tapi seperti hari-hari sebelumnya, aku tidak bisa melakukan apa-apa selain diam membisu.
***
Sungguh, saya rela menukar apapun demi sebuah Sabtu malam yang tenang. Pupus sudah rencana meluruskan tulang belakang sambil membaca One Piece terbaru digantikan kafein dan nikotin.
“Jadi bagaimana, dinda?” Tanya Bang Hanif membuyarkan imajinasiku. “Siap, kanda!!” saya menjawab tegas. Atau lebih tepatnya, berusaha terdengar tegas. Saya menghirup rokok sedalam mungkin, dan menghembuskannya sepelan yang saya bisa. Berharap seluruh beban ikut keluar bersamanya. Entah sudah berapa kali saya menguap sampai akhirnya Bang Hanif mengakhiri agenda malam ini.
***
“Pulang saja!! Tidakkah kamu capek? Lihat wajahmu. Perhatikan tubuhmu. Kamu bukan mesin!!” kata demi kata aku teriakkan. Meski aku tahu, setelah ini kamu masih harus berkunjung ke pemukiman kumuh yang jadi target penggusuran. Dan esok, bukankah kamu ada jadwal kuliah pagi? Dan tugasmu! Bagaimana dengan tugas yang besok harus dikumpulkan sedang kamu belum menyentuhnya sedikitpun? Bagaimana bisa kamu mengatur semuanya?
Rasanya aku begitu meledak-ledak hari ini. Tapi lihat. Lihat dia. Sedikitpun tak menoleh ke arahku. Seolah perkataanku tak ada artinya. Seolah aku tak pernah ada.
***
Ya ya ya. Sepertinya tubuh saya butuh istirahat sejenak. Saya paham, sangat paham. Berhentilah berteriak. Sedikit tergesa, saya mulai membereskan barang-barang yang berserakan di meja. Tidak lupa menenggak tegukan terakhir kopi toraja andalan. Bukankah yang terakhir selalu lebih terasa? Ngomong-ngomong, sepertinya saya sudah mulai berhalusinasi. Mata 5 watt sepertinya hal terakhir yang saya harapkan untuk berkendara dini hari di jaman geng motor merajalela seperti ini.
***
Dan dia pergi begitu saja. Menengok ke arahku pun tidak. Perempuan yang satu ini. Cekatan tapi teledor. Perempuan yang satu ini. Mengisi diriku dengan kesehariannya. Penuh tak bersisa. Perempuan yang satu ini. Bagaimana bisa aku tidak jatuh cinta?
***
Sepertinya tadi sempat hujan. Masih tersisa tetes-tetes air di sadel motor yang sengaja saya parkirkan di bawah pohon ketapang. Tapi tunggu, sepertinya saya melupakan sesuatu. Sejujurnya, saya sangat memaklumi kecepatan berproses otak saya dengan kondisi seperti ini.
Helm, jaket, tas, handphone, kacamata. Lengkap. Kalau begitu apa yang terlupakan? Gagal mengingat apa yang kelupaan, saya memutuskan masuk kembali ke warkop. Mendekati meja tempat nongkrong tadi, mata saya menangkap dia. Duduk manis di pojokan. Saya menepuk jidat perlahan. Bagaimana mungkin saya melupakan dia yang selama ini selalu setia mendampingi saya?
***
Sesuai prediksiku, kurang dari lima menit kemudian sosoknya kembali terlihat di pintu masuk warkop. Melangkah tegas walau dengan wajah menahan kantuk. Tentu saja dia tidak akan melupakan aku. Bukankah kami ditakdirkan untuk selalu bersama? Segaris senyum merekah di wajahnya begitu matanya menangkap sosokku.
“Maaf melupakanmu, Malam. Terima kasih untuk hari ini. Dan kemarin. Dan kemarinnya lagi. Mari kita pulang.” Bisiknya.
“Ada yang ketinggalan, bro?” entah dari mana, si pelayan warkop mendadak muncul di sampingku.
“Yoi, bro. Kenalkan, ini Malam. Agenda saya yang hampir saja ketinggalan. Tidak kebayang bagaimana saya bisa hidup tanpa ini.” Saya menjawab.
Si pelayan kurang ajar tapi baik hati itu langsung terbahak-bahak mendengar penjelasan saya. “Perempuan gila. Pulang sana cepat-cepat. Tidur sampai puas. Nanti kalau sudah sadar, baru beraktifitas lagi. Cari pacar yang nyata. Jangan pacaran sama benda mati!!”
Sedikit sakit. Tapi saya tahu, dia tidak bermaksud seperti itu. Lagi pula, tidak semua orang bisa mengerti betapa berharganya Malam buat saya.
***
Rasanya aku ingin menampar laki-laki sompral yang berani-beraninya mengejek perempuanku ini. Aku ingin melindunginya, menjaganya. Tapi apa daya, aku hanya sebuah agenda kulit hitam yang mulai lusuh termakan waktu.
Selain menjadi tempat bercerita, aku bisa apa?
Penulis: Ns @rokhitam
Red: hr