Memaknai Kudeta dan Putus Cinta
Pernahkah anda diasingkan oleh Negara ? Pernahkah anda diasingkan oleh organisasi ? Pernahkah anda diasingkan oleh pasangan anda ? Jika tidak, penulis yakin kepekaan anda akan sekitar begitu minim, sehingga anda tak pernah merasakan pengasingan tersebut, tersisih dari kecintaan akan manusia sekitar, institusi sekitar, ataupun alam sekitar, begitulah penulis memahami makna kudeta. Ia terjadi kerena putus cinta. Semua orang pernah merasakan yang namanya terasingkan. Namun jika tidak, maka anda adalah manusia pilihan yang tak memiliki pasangan, tak berorganisasi dan tak bernegara. Ini lebih baik, membuat anda bebas bercinta tanpa kekang dan batas ruang. Karena sejatinya, cinta dibutuhkan dalam mangolah peradaban.
Sekadar merefleksi ingatan masyarakat bahwa 3 presiden Indonesia yang diturunkan paksa dari jabatannya dengan beragam cara dan kepentingan membuat trauma tersendiri bagi rakyat Indonesia, diibaratkan sebuah luka, para pemimpin Negara Indonesia tersayat dan sakitnya menjulur pada rakyatnya. Beberapa kali terluka dan masyarakat Indonesia tetap percaya kebaikan daripada sebuah demokrasi yang masih mencipta kelas, dipimpin oleh seorang pemimpin, diperbudak dibawah pimpinan. Tak ada ruang empati dari hal-hal yang dimaknai sebagai penindasan, puluhan juta massa menggantungkan hidup pada seorang pemerintah adalah penindasan.
Bersetubuh dengan pasangan sendiri namun belum terikat pernikahan adalah perbuatan salah di mata Negara, menjajakan diri demi sesuap nasi juga adalah perbuatan salah di mata Negara. Hingga hari ini peraturan terbaru khususnya di Jakarta, membuang air seni di sembarang tempat juga adalah perbuatan salah di mata Negara. Padahal Negara tak sedikitpun pernah berdiskusi dengan rakyatnya perihal kata salah. Lalu bagaimana kedamaian akan tercipta tanpa transparansi ? menjadi pemerintah memang susah, bukankah ketidakbebasan masyarakat yang dilimpahkan atas kesalahan pemerintah juga adalah sebuah ketidakadilan ? dan bukankah lalai dalam memberikan hak warga Negara juga adalah ketidakadilan ? begitulah pemerintahan mencipta penindasan.
Memaknai Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai manusia adalah bentuk keadilan dan apresiasi terhadap resiko pemerintahan. Ketiga presiden ini mengalami kudeta, yakni diturunkan dari jabatannya dengan kekerasan ataupun nirkekerasan. Namun, yang keliru adalah dibalik drama negeri pada saat itu adalah ketika peran antagonis dimainkan, seperti dalam memaknai teks Coen Husain Pontoh dalam buku Ketika Demokrasi Melahirkan Kudeta mengatakan bahwa kudeta bukanlah satu-satunya jalan menuju Negara yang lebih demokratis karena disetiap kudeta selalu ditunggangi oleh kepentingan.
Siapapun akan mengatakan dirinya demokratis, dan mengkritik pemimpinnya otoriter dan lain sebagainya namun lagi-lagi bersikap demikian itu bukanlah solusi, menggantungkan kemerdekaan pada kerja keras satu orang bukanlah solusi melainkan masalah besar bagi diri sendiri, karena jika ia tak terlaksana maka kecewa menjadi air minum yang harus diteguk. Jadi memimpikan seorang pemimpin yang ideal yang bisa melayani puluhan juta kemauan rakyat hanya fatamorgana, kecuali seluruh dokter membedah otak manusia agar saraf menjadi sama antara manusia satu dengan yang lainnya lalu para agamawan berkumpul memberikan kultum yang sama pada seluruh umat manusia setiap hari hingga pemikiran manusia-manusia menjadi sama, tapi ini bukanlah hal yang mudah dalam sebuah kemerdekaan, karena hal pertama adalah pemikiran yang merdeka. Manusia sebagai individu harus bergerak untuk kemerdekaaan dirinya terlebih dahulu. Karena kita telah belajar dari situasi dimana kekacauan adalah ketidaktoleran atas pikiran dari masing-masing manusia di muka bumi.
Namun, Indonesia telah terlanjur bernegara, dipimpin oleh seorang presiden, seperti juga kebanyakan organisasi lainnya yang memiliki pemimpin. Organisasi adalah wadah yang menampung sekumpulan orang yang memiliki tujuan yang sama, namun karena terlalu banyaknya tujuan dari beranak-pinaknya organisasi di Indonesia, tanpa sadar telah menghadirkan arogansi identitas, lupa bahwa tujuan utama berorganisasi adalah mencipta keadilan. Kini, tujuan telah melukai persatuan, Negara telah melukai idealismenya, Pancasila. Organisasi sebagai sub Negara adalah simulasi. Dimana dalamnya dilanggengkan penindasan. Sistem yang merujuk pada tanggung jawab besar yang dilimpahkan kepada pemimpin suatu organisasi menjadi fenomena bahwa apa yang terjadi pada diri B, C, D, E, dan seterusnya adalah tanggung jawab si A. Atas ketidakbecusan B, C, D, E, dan seterusnya berarti ketidakbecusan si A. Bukankah semua orang harusnya merdeka dari sifat dan sikap pasif ? otoritas diri terbuang. Akibat hentakan sistem tak jarang jika B, C, D, dan E, mampu saling menikam karena perkelahian dari sistem yang terbangun. Apalagi jika kita menanggapi segala sesuatunya secara apatis maka wajar saja karena sebagaian manusia yang hidup sekarang adalah peninggalan orba, Seperti kebanyakan yang terjadi di masyarakat bahwa beberapa orang tak mampu menjadi pemimpin bagi manusia lainnya namun struktur yang dibangun dengan adat bernegara dimana membutuhkan seorang pemimpin bagi manusia lainnya telah meletakkan nasib rakyat pada telunjuk kekuasaan satu orang, yakni presiden dan turunannya dalam sub Negara.
Memaknai Kudeta
Kudeta hadir dalam drama pacaran. Diantara banyak laki-laki, seseorang akan memilih satu orang untuk dijadikan pasangan, ataupun sebaliknya. Kudeta ibarat putus cinta dari pasangan, apakah mereka sepakat bahwa orang yang paling disenangi ialah sang pemimpin, pemimpin yang lahir dari pilihan sendiri, bukan ? dengan segala pengorbanan yang ia lakukan untuk mencari kebaikan organisasi atau Negara, pemerintah terkhusus di Indonesia yang disebut sebagai Presiden tak bisa dijadikan satu-satunya acuan kemajuan masyarakat. Setiap individu perlu berpikir bahwa nasib dirinya berada di tangannya sendiri, pada kakinya sendiri serta pada kepalanya sendiri. Pembangunan PLTA di Seko, Penambangan Pasir di Laut Takalar, Penggusuran Rumah di Bara-baraya, dan Pembangunan Bandara Internasional Kulon Progo, Jokjakarta, New Yogyakarta International Airport (NYIA) adalah sederet luka Petani, Nelayan, dan Kaum Miskin Kota yang tersayat pembangunan sang kuasa dan pengusaha. Mahasiswa dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) turut bersolidaritas dengan mengangkat diri sebagai kaum intelektual sebagai wujud tanggung jawab atas berpuluh-puluh buku yang telah ditamatkan, yakni membela hak rakyat atas sang pemegang keputusan, yakni pemerintah.
Pemerintah yang dirujuk adalah seorang pemimpin yang memegang kendali pemerintahan, dan rakyat mecitrakan lebih dari individu. Melirik tulisan Emma Goldman mengenai Mayoritas Vs Minoritas, pemerintah sudah selayaknya mengikuti suara rakyat. Penolakan penggusuran dan pengerukan mengatasnamakan usaha apapun harusnya segera dihentikan namun inilah celahnya berdemokrasi. Hanya sebuah kesia-siaan. Hak mayor akan terpenuhi jika si minor mengkehendaki. Bernegara telah mencerminkan bagaimana hak diri dipegang oleh si pemimpin, dan rakyat sebenarnya tanpa kita sadari telah kehilangan dirinya sendiri sesuai dengan Soren Kierkegaard dalam buku Makna Cinta bahwa ketika orang gagal atau tidak memilih untuk dirinya sendiri dan membiarkan orang lain memilih bagi dirinya sendiri maka itulah saat dimana individu kehilangan dirinya.
Perjuangan dan kesungguhan Soekarno dalam mencapai kemerdekaan Indonesia, kemelut suasana hati serta pikiran pra kemerdekaan mengantar Soekarno dan kawan-kawannya mencipta sejarah revolusi Indonesia. Tak heran jika beragam julukan diberikan padanya, dari bapak revolusi, singa podium, dan panglima perang. Sebagai salah satu sosok penginspirasi, ia hebat dengan pemikirannya dalam menggerakkan rakyat terkhusus pemuda dan wanita Indonesia kala itu. Pada tahun 1965 di New York diterbitkan buku Soekarno An Authobiography As Told To Cindy Adams yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Syamsu Hadi dan dicetak oleh Yayasan Bung Karno dengan mengalami sebanyak empat kali revisi sejak tahun 2007, 2011, hingga tahun 2014 sebanyak dua kali revisi. Dalam buku tersebut yang telah diterjemahkan berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia oleh Cindy Adams, banyak bercerita tentang sosok Soekarno dimasa kecil mulai dari kelahirannya 6 Juni 1901 hingga pasca kemerdekaaan seperti diakuinya Indonesia oleh Negara lain, tak terlepas dari bentuk penjajahan lainnya.
Putus Cinta
Putus cinta adalah awal penindasan. Tak memiliki pasangan ataupun kawan untuk berjuang begitu menyedihkan sama dengan putus cinta. Putus cinta adalah awal dari segala kekacauan. Memilih bernegara lalu memusatkan kesejahteraan oleh satu tangan, maka rakyat sama bodohnya dengan mereka yang diatur oleh aturan bernegara. Sama – sama tak lahir di zaman pembuatan aturan lalu sama-sama mengikuti segala aturan yang telah ada, maka hari ini, penulis deklarasikan bahwa generasi kita adalah generasi budak. Manusia-manusia yang mengatakan dirinya bukanlah sapi yang dituntun namun lebih mengerikan dari binatang yang tak berakal, seperti itulah manusia yang dituntun. Mereka lupa bahwa kita terlahir membawa kebebasan meski berbeda jenis kelamin. Kita adalah manusia-manusia yang pantas menikmati cinta. Dalam Works of Love – Kierkegaard menggambarkan bentuk tertinggi dari cinta sebagai pengabaian diri total sehingga orang meniadakan perhatian terhadap dirinya sendiri. Pengabaian terhadap diri sendiri adalah bentuk putus cinta terhadap diri sendiri. Karena makna dari cinta sendiri adalah merawat tanpa pamrih.
Meski dalam menafsirkan cinta, kita akan tetap berpegang pada pengertian masing-masing dan menyalahkan perspektif masing-masing maka itu juga adalah bentuk putus cinta. Sejak terbentuknya aturan-aturan berlandaskan Negara maka saat itu pula tercipta teori benar dan salah juga sanksi dan hadiah. Bukankah itu tidak lagi memanusiakan manusia ? sama dengan istilah kritis yang digunakan beberapa orang untuk membebaskan dirinya dari rasa takut akan dosa pada tuhan-Nya. Pertanyaan itu muncul dengan lirik seperti ini, “Benarkah tuhan tega menghukum kita ke dalam Neraka ? Apakah tuhan begitu jahat membakar kita atas segala kejahatan yang kita perbuat ? ”, kita perlu keluar dari nilai-nilai standarisasi moral dan amoral juga Negara, karena Emma Goldman pernah berpesan bahwa sikap cinta pada Negara dan rela mati karenanya – Patriotisme – bukanlah solusi cerdas menyelamatkan rakyat tetapi sebaliknya, rasa patriotisme secara perlahan-lahan akan membunuh rakyat.
Saat mengamati pataka-pataka aksi yang sering dilakukan di bawah jalan layang Pettarani dan Urip Sumoharjo, Makassar, hal yang menggelitik ketika aksi hari anti kekerasan terhadap perempuan, pataka yang dipegang oleh seorang perempuan bertuliskan ‘Jangan salahkan pakaian kami, salahkan Negara melanggengkan kekerasan’, ini merupakan sangat kontradiksi dengan perkataan Emma Goldman, bahwa untuk menuju revolusi tak cukup dengan mendatangi pemilu lalu menjatuhkan pilihan pada si A, B, atau C. Kekerasan terhadap perempuan harus diminimalisir oleh perempuan itu sendiri. Bukan dengan menuntut hakmu tanpa ada upaya untuk memperkuat diri perempuan itu sendiri. Mengemis hak pada konstitusi yang telah disajikan oleh Negara sama dengan meminta uang pada si miskin atau bersedekah pada si kaya, semua hanyalah kesia-siaan. Satu-satunya jalan adalah menebar kesadaran pada masyarakat. Karena masih banyak diantara kita yang sadar namun pesimis kesadaran tersebut boleh ditularkan, tapi seperti itulah belajar. Untuk mencapai hal yang totalitas semua butuh usaha yang keras. Lalu apakah penyebaran kesadaran itu mampu terealisasi ?
Buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis oleh Cindy Adams menguak cerita betapa susahnya Soekarno sampai pada puncak kemerdekaan, ia harus keluar masuk penjara, mengabaikan hak-hak istri terhadapnya, bergonta-ganti pasangan revolusi hingga akhirnya ia mampu membangun massa untuk melawan kolonialisme. Lalu mengapa di era serba instan dan santai ini kita tak bisa serius dalam membangun penyadaran masyarakat ? tentunya tak akan sesusah masa Soekarno dalam buku tebalnya, pikiran keras memaksanya tetap berpikir metode untuk memerdekakan negaranya, memanfaatkan masa pendudukan Jepang di Indonesia membuatnya terlihat menjilat oleh rakyatnya pada saat itu. Namun tidakkah masyarakat menikmati kemerdekaan itu hingga hari ini ? meskipun tak sepenuhnya, tapi perjuangan bung Karno memerdekakan Indonesia patut diapresiasi meski berujung penurunannya sebagai presiden Indonesia dengan Surat Perintah Sebelas Maret yang dikenal dengan Super Semar dimana surat tersebut masih bersifat tanda tanya karena tak pernah tampak naskah aslinya, namun dalam surat tersebut Soeharto mengganggap dia adalah pengganti Soekarno.
Dalam sub judul bab terakhir Putus Cinta dan Penyebab Sembuhnya, Emma Goldman dalam buku Ini Bukan Revolusiku menyampaikan bahwa putus cinta terjadi sejak adanya teori kepemilikan, maka menafsir teks tersebut sudah selayaknya kepemilikan harus dihancurkan, bukan sekadar alat produksi namun cinta itu sendiri bukanlah monopoli individu.
Mencipta Kolektivisme
Cinta (love) adalah kata yang memiliki arti penting di dalam hidup manusia. Akan tetapi kata ini dapat dengan mudah berubah menjadi benci (hate) ketika individu disakiti atau dikhianati. Adanya ketergantungan pada situasi dan kondisi tertentu menjadikan sang diri bertindak dalam kecenderungan atau preferensi. Akibat dari preferensi diri, orang terhalang untuk mencintai semua orang (neighbour) secara tulus. Sikap mencintai berdasarkan preferensi menjadikan diri individu tidak sungguh-sungguh mempraktikkan arti sesungguhnya dari mencintai seperti Erich Fromm dalam buku Seni Mencintai bahwa Cinta bukan semata-mata suatu hubungan dengan seseorang; anta adalah sikap, suatu orientasi karakter yang menentukan keterkaitan seseorang dengan dunia keseluruhan, bukan pada satu objek. Meski kebanyakan orang meyakini bahwa cinta ditimbulkan oleh objek, bukan oleh kemampuan. Bahkan mereka percaya, bila mereka tidak mencintai orang lain selain orang yang mereka “cintai” itu, adalah bukti dalamnya cinta mereka. Ini merupakan kekeliruan yang sama dengan yang telah kita bahas diatas. Karena dia tidak mengerti bahwa cinta adalah tindakan, kekuatan jiwa, dia meyakini bahwa yang perlu dia temukan adalah obyek yang tepat – dan bahwa segalanya akan berjalan dengan sendirinya sesudah itu.
Dalam Seni Mencintai, Sikap itu seperti orang yang ingin melukis, tapi bukannya mempelajari seni, dia malah menunggu obyek yang tepat, dan yakin akan melukis dengan indah saat dia sudah menemukan obyeknya itu. Jika aku sungguh mencintai seseorang, maka aku mencintai semua orang, aku mencintai dunia , aku mencintai kehidupan. Jika aku bisa berkata pada orang lain, “Aku mencintaimu,” aku juga harus bisa berkata, “Dalam dirimu aku mencintai semua manusia, melaluimu aku mencintai dunia, dalam dirimu juga aku cintai diriku.”
Bagi Kierkegaard, melankoli adalah jenis penyakit yang diidap orang-orang pada zaman-nya dan hal ini menjerumuskan manusia ke dalam keputusasaan. Menurut Kierkegaard, ‘Zaman kita cukup melankoli untuk menyadari bahwa ada hal yang disebut ‘tanggung jawab’, dan bahwa hal ini menunjuk pada sesuatu yang penting. Semua orang ingin berkuasa, namun tak seorang pun mau menerima tanggung jawab.’
Bagi Post, cinta yang saling memberi patut dinilai positif karena cinta itu melahirkan kesukaan dan kesenangan bagi kedua belah pihak. Jika kita sepakat bahwa cinta adalah representasi dari sikap dan sifat menyayangi, memuji, mengagumi, merindukan dan lain sebagainya maka kita adalah teman, namun meski kamu tak sepakat maka kita tetaplah berteman karena itu adalah kebebasan tiap individu untuk berpikir. Berbicara masalah cinta kita kadang mengenyampingkan bahwa dengan orang tua pun kita sedang menjalin cinta. Kebanyakan wacana akan merujuk pada ketertarikan antara laki-laki dan perempuan menjalin hubungan yang dimaksud dengan pacaran. Pada umumnya, laki-laki akan menyatakan perasaannya kepada si perempuan dan si perempuan akan menanggapi. Apakah tanggapannya bersedia atau tidak yah tergantung bagaimana si perempuan bersikap.
Jika ia menerimanya, berarti ia telah siap menyesuaikan dengan kepala lainnya. Jika tak mampu menyesuaikan maka tidak ada jalan lain selain peristiwa yang menurut sebagian orang mengerikan, yakni putus cinta. Untuk mengobati putus cinta tak cukup dengan mencari pasangan baru, mencintainya lalu melupakan pengorbanan yang telah lalu. Seperti tulisan Bima dalam tulisan Kuasa dan Birahi pada sebuah website maka semua yang ada di dunia ini bersifat politis termasuk cinta. Cinta adalah alat untuk saling menguasai. Dengan mengandalkan cinta, semua bisa dimenangkan pun dijatuhkan, tak terkecuali pasangan.
Dalam situasi pacaran, apapun cenderung dilakukan lainnya untuk saling membantu, atas nama kolektif,. penindasan pun dimassifkan. Ancaman putus kadang liar terbisik di telinga. Sebagian orang menganggap putus cinta adalah takdir, logika bodoh pada istilah bukan jodoh, pasrah pada keadaan dan akhirnya dikuasai oleh pasangan. Mengatasnamkan Negara ataupun agama semua juga hanyalah alat yang dibumbui kata cinta. Ketika cinta Negara, engkau akan jadi patriotisme, resikonya mati atas nama Negara. Dalam agama diteguhkan dengan kata jihad, mati di jalan Tuhan yang Maha Esa. Meski semuanya punya argument penguat atas sikap yang diambil namun jangan sampai cinta dan kebencian jua dijadikan alat menguasai satu sama lain. Jika rasa saja mampu memonopoli ? maka apalagi yang murni dari sifat manusia ? jika saja pasangan yang sangat dipercaya mampu berkhianat maka siapa lagi yang akan dipercaya ? seperti halnya pemerintah dan rakyat. Jika mereka tak mampu menjalin cinta maka yang hadir hanyalah penindasan yang terangsang akibat putus cinta dan tentu saja selain ideologi, cinta juga ampuh dalam menetralisir kelas dan perbedaan.
Jika teks romantis dari Plato dalam buku Simposium (Hakikat Eros, Cinta, dan Manusia) yang diterjemahkan oleh Eka Oktaviani mengatakan, “Sayangku Socrates, kehidupan manusia semestinya dijalani: di dalam perenungan terhadap keindahan. Jika suatu saat kau mendapatinya, cinta tidak akan tampak bagimu sebagai emas, pakaian, anak laki-laki atau pemuda yang tampan sebagaimana saat ini kau terkesima olehnya; kau dan banyak orang lain siap untuk menghadapi kehidupan dengan yang kau cintai kemudian hidup bersama selamanya, seandainya itu memang memungkinkan, tidak untuk minum ataupun makan bersama, tetapi hanya untuk selalu memandang dan bersama, tetapi hanya untuk memandang dan bersama satu sama lain, yang separuh merindukan separuh yang lain, dan mereka merangkulkan lengan mereka satu sama lain dan saling menjalin, berharap untuk tumbuh bersama menjadi utuh, mereka sekarat oleh kelaparan dan kelumpuhan karena mereka enggan untuk melakukan sesuatu jika terpisah satu sama lain, maka Erich Fromm membebaskan kepemilikan cinta tak bertumpu pada kekasih melalui teks “Jika Seseorang mencintai hanya satu orang dan tak acuh dengan orang-orang lain, cintanya bukanlah cinta melainkan keterikatan simbolik, atau egoisme yang meluas.” Sepakat dengan hal tersebut maka cinta adalah senjata kolektivisme dalam membangun peradaban yang penuh kebaikan, kodrat manusia yakni bercinta sesama makhluk hidup juga lainnya tak terkecuali pemerintah kepada rakyat. Maka bercintalah untuk melahirkan peradaban !
Penulis : Israwati Nursaid
Editor : Shim