Menyoal Pertumbuhan Ekonomi ditengah Ketidakjelasan Agenda Pemberantasan Korupsi
Perkembangan ekonomi sangat dilihat betul oleh rezim ini, pembangunan infrastruktur menggeliat dengan menjadikan investasi luar negeri sebagai basis. Tentu tidak mudah untuk menarik investasi, dan sangat tidak mungkin mengalokasikan kekuatan APBN kita hanya untuk infrastruktur. Disamping itu, proses pembangunan harus selesai karena menurut rezim ini, pertumbuhan ekonomi perlu selalu dirangsang dengan melancarkan arus modal lewat infrastruktur. Pemerintah pusat pun menggertak, dan tak segan-segan memberikan sanksi pemerintah daerah jika dinilai menghambat program infrastruktur ini.
Banyak langkah yang telah ditempuh, termaksud mencabut subsidi minyak Rp. 230 Triliun yang merupakan hak strategis rakyat. Alasan pemerintah menaikan harga minyakpun dinilai masuk akal, pemerintah yang “jor-joran” untuk membangun infrastruktur menilai subsidi bahan bakar telah mencapai nilai yang sangat tinggi dan dilihat sebagai alokasi anggaran yang tidak produktif. Jadi, anggaran subsidi dipangkas untuk membangun pekerjaan yang jauh lebih produktif dan jangka panjang.
Akhirnya negara inipun menyerahkan harga minyaknya kepada dinamika pasar bebas. Sehingga melahirkan masalah baru, harga minyak dunia yang fluktuatif ternyata tak diikuti oleh harga-harga pangan dipasaran. Hal ini dibutuhkan tindakan cepat serta kreatifitas pemerintah dalam mengendalikan harga pasar.
Belum tuntas dalam mengendalikan harga pasar, pemerintah yang telah mencabut subsidi dalam APBN ternyata belum cukup untuk membangun infrastruktur yang kisaran dananya mencapai Rp.5000 triliun hingga Rp.6000 trilun selama 2014 – 2019. Gagal menarik investor dengan massif, pemerintah mengutang kepada negara lain juga lembaga-lembaga pembiayaan internasional untuk membantu ragam megaproyek yang akan dijalankan.
Dalam data statistik yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, utang luar negeri Indonesia adalah USD 127,3 Miliar atau setara Rp.1.676 Triliun dan kemudian naik menjadi USD 129,7 Miliar atau setara Rp.1.710 Triliun pada Januari 2015 dan masih mempunyai tanda-tanda akan menambah utang luar negerinya.
Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi hanya 4,7 persen dalam kuartal I, dan masih jauh untuk mencapai target pemerintah sebesar 5,7 persen. Negara ini pun ngos-ngosan dalam memenuhi anggaran besar ini, tak ayal Presiden Jokowi selalu mengajak negara-negara lain untuk berinvestasi di Indonesia di forum-forum internasional seperti dalam KTT APEC di Beijing dan baru-baru ini dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Semangat pembangunan yang berkomitmen lebih berkeadilan dan mengurangi utang, kini segala megaproyek ini dibangun atas utang luar negeri yang mau tidak mau harus bertambah.
Investasi Sepi karena Korupsi
Sepinya investasi di Indonesia juga dipengaruhi oleh keadaan politik dan hukum, investasi tak akan masuk karena tak adanya kepastian hukum, perizinan yang rumit, dan pengambilan keputusan pemimpin yang lambat.
Masalah perizinan telah menjadi lahan basah dan rawan terjadinya korupsi dalam industri pengelolaan sumber daya alam, masalah perizinan juga menjadi paku sandungan karena disinilah biasanya konflik lahan terjadi. Integritas pemerintah menjadi pertaruhan karena disisi lain pemerintah harus menciptakan investasi yang lancar namun disisi lainnya pemerintah perlu memikirkan pembebasan lahan yang elok, adil, dan tanpa represifitas terhadap rakyat.
Selain karena proses mendapatkan izin yang cenderung rumit dan tumpang tindihnya aturan perundang-undangan, perseteruan dua penegak hukum KPK dan Polri yang terjadi, tentu menjadi momok kurang beresnya penegakan hukum bangsa ini, mata investor tentu akan melihat hal ini.
Perseteruan yang hingga kini berakhir dengan kriminalisasi dua pimpinan KPK membuat marwah penegak hukum kita jatuh dan memunculkan keraguan untuk berinvestasi di Indonesia. Masalah korupsi pun menjadi hambatan pembangunan ekonomi nasional. Ketidakpercayaan investor pada negara karena persoalan penegak hukum yang berseteru. Hal ini juga semakin diperkuat karena kasus korupsi dan suap begitu mengalir deras dilingkaran penegak hukum, hal ini membuat iklim investasi yang sehat sulit diwujudkan.
Data dari Transparancy International Indonesia ditahun 2014 dari Corruption Perception Index Indonesia masih dalam angka yang mengkhawatirkan yaitu 107 dari 175 negara, meski naik tujuh peringkat, konflik antara KPK dan Polri tentu disesalkan.
Sepanjang 2014 dari tiga lembaga hukum, KPK menjadi instansi yang menangani kasus korupsi dengan nilai tertinggi yaitu hampir Rp. 3 Triliun dari 34 kasus yang ditangani, sedangkan Polri dari 123 kasus yang ditangani dengan nilai Rp. 132 Miliar, dan Kejaksaan RI dengan jumlah kasus yang ditangan 472 kasus ditangani dengan nilai Rp. 1,7 Triliun (katadata.co.id research/infografis)
Olehnya itu, perlu adanya penegakan hukum yang kuat untuk menciptakan tatanan ekonomi yang berkeadilan dan investasi yang sehat. Lembaga pengawas penegak hukum perlu diperkuat karena selama ini Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian Nasional tidak dapat berbuat banyak dalam melakukan pengawaan, dan tidak mempunyai kekuatan untuk menghukum anggota penegak hukum yang berkinerja buruk. Karena tak dapat dibantah lagi korupsi dilingkaran penegak hukum juga sangat besar.
Negara juga tak boleh kalah dengan korupsi dengan menyelesaikan konflik antara penegak hukum, dan memperkuat regulasinya. Konflik institusi ini hanya membuat agenda pemberantasan korupsi semakin tidak jelas dan meruntuhkan semangat publik yang sudah jengah dengan korupsi. Pemerintah juga perlu hati-hati dalam menetapkan pejabat-pejabat strategis, karena pejabat strategis yang merupakan politisi sangat rawan konflik kepentingan, dan sebuah tantangan utama agenda pemberantasan korupsi adalah lingkaran oligarki (politik kelompok) pejabat.
Oleh : Ayie Wallacea