Tak Ada Komitmen Pemerintah untuk Selesaikan Pelanggaran HAM di Papua
Oleh : Affif Syah
“Perlu komitmen Indonesia yang radikal selesaikan konflik di Papua,” ungkap Arnold Belau.
Ujaran bernada rasial dan persekusi terhadap mahasiswa Papua oleh organisasi masyarakat (Ormas) dan oknum aparat di Malang, Surabaya, dan Semarang memicu meledaknya aksi protes di berbagai wilayah sepanjang bulan Agustus hingga September dan berbuntut pada kerusuhan.
Pemerintah Indonesia merespons dengan melakukan pemblokiran jaringan internet sehingga terbatasnya akses informasi mengenai apa sebenarnya yang terjadi di tanah Papua.
Minggu 8 Desember 2019, Cakrawalaide.com berkesempatan mewawancarai Arnold Belau, seorang jurnalis asal Papua yang hingga saat ini sebagai Pemimpin Redaksi di Suarapapua.com.
Dalam kesempatan tersebut, Arnold mengemukakan banyak pendapatnya terkait situasi di Papua. Ia juga menjelaskan bagaimana sulitnya akses untuk peliputan bagi jurnalis di bumi cenderawasih.
Berikut adalah cuplikan wawancara kami bersama Arnold Belau:
Sebagai jurnalis, bagaimana akses informasi yang ada di Papua?
Akses untuk narasumber, terutama prinsipnya kita menjalankan jurnalisme yang objektif, berimbang atau cover booth side, sesuai prinsip jurnalisme. Kadang-kadang yang sulit itu ketika bersentuhan dengan pelaku, yaitu aparat. Kejadian di daerah yang sulit terjangkau untuk akses informasinya susah. Susah dalam artian kontak ke Kapolres atau Kapolsek, mereka cenderung tidak berkomentar. Jadi lebih banyak ke Kabid Humas atau Kapolda, tapi itupun kasus-kasus yang potensi blowup-nya tinggi, itu jarang mereka komentari. Dalam setahun terakhir cukup baik, artinya dari pihak kepolisian telah ada kesadaran yang muncul di mereka untuk terbuka ke suarapapua.com, kami berusaha membangun komunikasi yang baik dengan mereka dalam artian kepentingan konfirmasi dan verifikasi.
Kalau bagi jurnalis luar Papua akses untuk liputan, apakah ada pembatasan dari negara atau seperti apa?
Kalau wartawan Indonesia, saya pikir tidak ada kesulitan untuk meliput di Papua, tapi yang sangat sulit adalah wartawan internasional. Itu sangat sulit sekali. Sekarang masih diberlakukan izin ke Papua, itu mesti diproses di 18 kementerian dan lembaga negara. Jadi pengajuannya tidak mungkin dalam satu tahun bisa jalan. Jadi bisa dipastikan dua tahun diproses dulu. Harus mendapat izin Clearing House, yang mana di dalamnya ada delapan belas lembaga.
Wartawan asing ajukan izin, jadi yang mendapatkan izin bisa ke Papua, tapi cenderung di sana aparat terlibat untuk ikut pantau, entah lewat saluran komunikasi maupun turun langsung. Jadi tidak terlalu bebas kalaupun mereka (Jurnalis Internasional) bisa datang.
Delapan belas lembaga dimaksudkan, itu yang mana?
Delapan belas lembaga negara yang dimaksud itu adalah kementerian dan ada lembaga-lembaga di bawah kementerian. Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Intelijen Negara, Polri, serta institusi militer terutama (Tentara Nasional Indonesia), jadi ada beberapa lembaga yang jumlahnya delapan belas. Itu ada di bawah lembaga-lembaga ini. Jadi
izin itu setelah diajukan akan diproses di delapan belas lembaga itu yang namanya Clearing House.
Selama menjadi jurnalis di Papua, apakah pernah mendapat intimidasi ataupun pembredelan media tempat Anda bekerja?
Saya sejauh ini (8 tahun) sudah lima kali mendapat intimidasi, yang terakhir itu doxing di dunia maya. Terus kalau pembredelan dimasa sekarang itu, negara langsung memblokir suarapapua.com. Kalau dulu di bawah tahun 98-99, itu aparat datangi kantor dan tutup, tapi sekarang ini lebih soft. Mereka gunakan kewenangan negara untuk memblokir dengan alasan kepentingan nasional. Suara Papua pernah diblokir tahun 2016, dari bulan November sampai Desember.
Terkait aksi merespons rasialisme terhadap mahasiswa Papua di berbagai wilayah. Negara memutus akses jaringan internet di Papua saat itu. Sebesar apa dampak akibat pemutusan jaringan internet tersebut?
Saya pikir itu menjadi hambatan yang berat, apalagi tempat saya bekerja basisnya adalah media online. Untuk media online di Papua, kurang lebih per Agustus, itu ada 42 situs online dan kami mengalami nasib yang sama. Artinya satu-satunya akses yang bisa kita gunakan untuk mempublikasikan produk jurnalistik itu dibatasi. Itu sekitar satu bulan lebih dan pemerintah tidak sampaikan kenapa diblokir. Kemungkinannya karena potensi orang Papua protes rasisme itu tinggi sehingga mereka blokir, tapi intinya kita merasakan dampak yang cukup besar dan itu bagian dari pembatasan kebebasan berekpresi bagi orang Papua.
Ketika negara memblokir internet di Papua, bagaimana proses pemberitaan yang Anda lakukan?
Selama kurang lebih tiga minggu, sama sekali tidak bisa akses internet, di wifi dan smartphone. Beberapa minggu kemudian, itu hanya bisa diakses dengan wifi, tapi tidak di semua tempat. Hanya di beberapa titik. Jadi satu-satunya cara yang kami gunakan saat itu, sampai booking kamar hotel untuk bisa dapat akses internet. Secara keseluruhan akses internet diblokir dan cara untuk saling menginformasikan kami juga menggunakan SMS grup (pesan singkat biasa).
Dengan memutus akses internet di tanah Papua, Negara seolah-olah menutup informasi yang sedang terjadi di sana. Nah, bagaimana pendapat Anda mengenai itu?
Yaa, selain hak orang Papua, ini juga melanggar Kovenan Internasional tentang kebebasan demokrasi, dimana semua orang berhak untuk mengakses informasi.
Kebijakan ini meskipun untuk kepentingan negara Indonesia, tapi tidak menyelesaikan persoalan. Justru menambah persoalan. Dalam kondisi akses internet dibatasi, hanya satu-satunya informasi yang dapat diakses oleh orang di luar Papua adalah berasal dari TNI/Polri.
Nah, kami di Papua khususnya media online yang basisnya internet, itu sangat sulit mengimbangi pemberitaan yang berkembang di luar. Bahkan kami tidak tahu ketika internet diblokir, informasi apa yang sedang berkembang di luar, kami kesulitan untuk mengikuti.
Bagaimana posisi/sikap Anda melihat konflik yang terus terjadi di tanah Papua?
Sebagai orang Papua, secara pribadi, saya turut merasakan betapa perihnya penindasan yang dialami oleh orang-orang Papua, tapi pada posisi saya sebagai jurnalis, saya tetap berpegang teguh pada kode etik dan Undang-undang Pers dan di Suara Papua kami tidak memihak kepada siapa pun. Kami memberikan ruang yang sama, baik itu bagi aparat maupun masyarakat yang menjadi korban. Semua kita tidak pernah membedakan dan tutupi ruang bagi salah satu pihak, kami tetap memberikan ruang yang sama.
Lalu, mengenai strategi peliputan di tengah kondisi konflik di Papua, tentunya memiliki startegi tersendiri. Bisa Anda ceritakan?
Khusus buat Papua kita perlu pahami kondisi sehingga cara yang kita kedepankan selain dengan membangun jejaring, kita perlu pahami juga bahwa Papua sangat luas. Banyak daerah kabupaten yang sangat sulit dijangkau dengan internet, sehingga membangun jejaring dengan pos kontak ataupun informan di beberapa kabupaten yang bisa menjadi kunci memasok informasi. Nah, juga tetap menjaga hubungan yang baik dengan
institusi militer, birokrasi, dan orang-orang yang berada di luar lembaga besar ini dengan tetap mengedepankan independensi.
Kita tahu di Papua banyak terjadi pelanggaran HAM, bagaimana konsistensi Anda sebagai jurnalis untuk memberitakan itu?
Pada prinsipnya pelanggaran HAM di Papua, sudah terjadi sejak Papua dianeksasikan ke Indonesia. Kita tidak mengharapkan penyelesaian total dari pemerintah (Indonesia) karena itu mustahil untuk terjadi.
Namun, sebisa mungkin sebagai pekerja media kita berusaha untuk membuka tabir-tabir pelanggaran HAM yang selama ini tersembunyi. Selain kami di Papua suarakan untuk penyelesaiaannya, juga menuntut ke pemerintah Indonesia untuk selesaikan secara jujur, termasuk kita juga berharap PBB bisa selesaikan persoalan ini, karena sejak awal persoalan Papua dipaksa ke Indonesia, ada keterlibaatan PBB di dalamnya.
Intinya ingin melihat komitmen Indonesia untuk selesaikan pelanggaran HAM karena makin kesini bukan memperbaiki, justru semakin memperparah dan melanggar hak-hak sipil politik masyarakat Papua.
Apakah memperparah bisa diartikan dengan kondisi terakhir Indonesia menambah porsi militer ke Papua dan juga beberapa hari yang lalu tepat peristiwa Paniai yang hingga hari ini tidak ada kejelasan penyelesaian kasusnya?
Jadi dari presiden ke presiden itu tidak pernah ada kemajuan. Mungkin ada satu langkah baik yang pernah dibikin oleh Gusdur, tapi kemudian tidak selesai. Jokowi saya pikir bagus saat kampanye dan di awal pemerintahannya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM. Baru satu bulan
menjabat presiden, terjadi kasus Paniai Berdarah. Nah, komitmen Jokowi ini dibuktikan, apakah serius menangani persoalan HAM bisa dilihat dari situ, karena Jokowi punya janji di bulan Desember 2014. Jokowi meminta dengan tegas ke aparat TNI dan Polri untuk selesaikan kasus Paniai.
Nyatanya, sampai sekarang Jokowi menjabat hingga periode keduanya, kasus ini sampai sekarang belum diselesaikan. Ini menjadi contoh bahwa Jokowi tidak punya komitmen untuk selesaikan pelanggaran HAM di Papua.
Kalau soal porsi suara orang asli Papua (OAP) dalam pemberitaan media, khususnya di Papua sendiri itu seperti apa?
Ada, tapi tidak terlalu banyak yang memberikan ruang itu. Secara keseluruhan di Papua setiap hari berkaitan dengan berita-berita politik, pemerintahan, TNI dan Polri saja. Harusnya suara-suara masyarakat ini di beri ruang yang sama, tapi ada dan tidak terlalu banyak di Papua juga di Indonesia. Saya pikir akan baik ketika suara-suara OAP juga mendapat porsi yang sama di pemberitaan media.
Bagaimana Anda sebagai orang Papua melihat konflik yang telah lama terjadi di Papua?
Konflik ini terjadi sejak 1961 tanggal 19 Desember, dimana Soekarano keluarkan Trikora untuk operasi di Papua. Sejak saat itu pula pelanggaran itu terus terjadi, sampai dengan 1969 itu hak politik orang Papua terabaikan. Dalam artian Pepera yang harusnya diikuti oleh seluruh orang Papua, itu yang ikut hanya 1025 orang. Pengabaian hak demokrasi, pelanggaran terhadap hak-hak sipil orang Papua sudah dimulai sejak 1961. Dari kasus ke kasus sampai dengan sekarang. Bahkan di 2019 sekarang ini, itu saya pikir untuk diuraikan satu persatu sangat sulit.
Negara ini harusnya tunjukan sikapnya selesaikan kasus yang ada di Papua. Waktu Luhut menjadi Menkopolhukam sempat membuat tim untuk selesiakan kasus pelanggaran HAM ini, tapi tidak selesai dan diambil alih oleh Wiranto, hasilnya juga sama. Sekarang Menkopolhukamnya, Mahfud, orang sipil pertama yang jadi Menkopolhukam yang saya pikir cukup memahami persoalan ini, tapi kalau lihat pernyataan dia sebelum jadi menteri, itu tidak menunjukkan sikap dia untuk selesaikan persoalan dengan baik.
Namun, sekarang setelah jadi menteri sudah membuat pernyataan menghidupkan kembali KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) dan juga inisiatif untuk dialog dengan ULMWP (United Liberation Movement for West Papua), tapi itu tidak dibarengi dengan tindakan riil untuk menuju dialog yang bermatabat. Kasus-kasus yang sudah dikategorikan pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM, saya pikir menjadi tolok ukur Indonesia untuk menyelesaikan pelanggaran HAM itu, tapi hingga hari ini tidak ada yang terselesiakan.
Bagamaina situasi terkini di Papua, lebih tepatnya pascaaksi merespons rasisme, Wamena, dan yang terakhir 1 Desember?
Setelah kejadian Surabaya menjadi puncaknya orang Papua mengekspresikan kemarahan dan kegelisahan selama ini jadi korban dari tindakan rasisme itu. Sehingga sangat wajar jika orang papua marah dan meluapkan emosi mereka saat itu. Sebenarnya saya mencurigai ada pihak yang ingin kacaukan Papua. Misalnya, saat demonstrasi pertama di tanggal 19 Agustus itu berjalan aman dengan jumlah massa dua kali lipat dari tanggal 29 Agustus. Nah, kemudian itu terus berjalan turun demo kemudian negara memblokir internet, Indonesia mengirim aparat.
Kirim aparat ini justru tidak menyelesaikan persoalan, karena orang Papua sangat trauma dengan kehadiran militer. Ketika Indonesia mengirim pasukan dalam jumlah yang banyak ini, itu membuat luka batin orang Papua bertambah. Kemudian, makin kesini pemulihan sudah terjadi, perbaikan fasilitas di kota-kota yang sempat rusak mulai dibangun kembali. Pengungsi Wamena juga sudah mulai kembali dan fasilitas juga dibangun kembali. Memasuki bulan Desember, itu tercatat ada 80-an Tapol di Papua.
Penangkapan masih terjadi, pembungkaman ruang demokrasi masih terus terjadi. Saya pikir, Indonesia harus menunjukkan sikap yang baik untuk merawat demokrasi, karena dengan sikap yang seperti ini justru megkerdilkan nama baik Indonesia di internasional sebagai negara demokrasi.
Bagaimana pendapat Anda melihat penambahan militer yang terus terjadi ke tanah Papua?
Kalau dihitung-hitung, aparat mungkin sudah sebanding dengan jumlah penduduk orang Papua. Saya tekankan kembali bahwa kehadiran aparat tidak akan selesaikan persoalan dan justru kehadiran mereka dengan membangun pos seperti di Jayapura, pos Brimobnya dekat-dekat di dalamnya ada Polsek, Polres, Polda, Pangdam. Pos TNI di mana-mana ini yang saya pikir negara secara tidak langsung memberikan tekanan psikologis dan menambah luka batin orang Papua.
Kalau harapan Anda sebagai OAP melihat kondisi Papua sekarang ini seperti apa?
Harapan saya adalah Indonesia mesti memperbaiki citra demokrasi di Papua untuk memberikan ruang berekspresi seluas-luasnya, membuka akses jurnalis asing ke Papua, terus kemudian menyelesaikan persoalan di Papua secara menyeluruh. Niat baik Indonesia misalnya mencoba dialog
dengan ULMWP dan KNPB terus juga mau bikin KKR dan selesaikan kasus-kasus, cuman nyatanya itu tidak terlaksana. Saya pikir niat baik Indonesia itu bagus, tapi selama itu tidak terlaksana. Sampai kapan pun orang Papua akan merasa sebagai bukan bagian dari Indonesia.
Editor : Mansyur