Tentang Padlam: Ketenangan Yang Hampir Tidak Kudapati di Tengah Hiruk Pikuk Polemik Kaum Perkotaan

1

Makassar, CakrawalaIDE.com, Mungkin kita tidak pernah asing mendengar beberapa orang yang menyebut-nyebut Padlam, di mana nama itu adalah akronim dari Padang Lampe. Bagi mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) Padlam sudah tidak asing lagi, karena tentunya kuliah di UMI wajib melakukan Pencerahan Qolbu selama satu bulan lamanya. Padang Lampe adalah suatu nama daerah, sedangkan Pencerahan Qolbu adalah mata kuliah yang wajib semua Mahasiswa penuhi sebagai Anak UMI pada saat awal memasuki semester dua.

Iya, saya sekarang berada di Padang Lampe memenuhi ketentuan di atas. Sebagai MABA 2024 yang sekarang memasuki semester dua, Pencerahan Qolbu adalah salah satu mata kuliah wajib untuk dilakukan semua Mahasiswa yang berkuliah di UMI selama satu bulan.

Pengalaman yang tidak semua mahasiswa di luar sana bisa rasakan di sini, Padang Lampe.  Jauh dari hiruk pikuk kota yang penuh dengan polusi dan masalah-masalah kehidupan antara rakyat dan penguasa yang tak pernah ada habisnya. Pesantren Darul Mukhlisin ini diapit oleh hamparan kehijauan sawah yang mengalir air di sela-selanya dan gunung menjulang tinggi, yang membuat mata dan perasaan ini menjadi tenang ketika memandang kehijauannya. Pemandangan yang sudah tidak bisa dilihat lagi di perkotaan karena yang terjadi hanya perampasan lahan untuk pembangunan gedung-gedung tinggi demi memenuhi keuntungan kaum-kaum borjuis semata.

Pesantren Darul Mukhlisin ini kusebut tempat penenangan hati, jiwa, kesadaran, dan perasaan yang berantakan. Kesempatan emas untuk memperbaiki iman yang kadang lalai dalam hal ibadah untuk dibenahi di sini, belajar bersyukur, dan memahami hal-hal tentang berjalannya kehidupan.

Bagaimana seharusnya ketenangan ini dapat dirasakan oleh semua orang, sebagaimana prinsip Islam yang mengutamakan kemanusiaan, bukankah menerapkan prinsip keadilan bagi sesama selaras dengan ibadah habluminannas?  Yang pada akhirnya ibadah-ibadah ini mengantarkan kita ke syurga yang dijanjikan Allah SWT.

Ya, salah satu poin mata kuliah Akhlak yang saya tangkap tentang Habluminannas, di mana manusia harusnya saling membantu dalam segi kehidupan. Menolong dan saling mengasihi terutama pada masyarakat miskin. Tapi, justru hal ini berbanding terbalik dengan praktik sistem hari ini, nyaris tidak ada yang diterapkan oleh pemangku kebijakan yang di mandat oleh rakyat. Yang ada,  bukan mengasihi orang miskin lagi tapi malah menyusahkan masyarakat melalui perampasan ruang hidup yang tak pernah berhenti dilakukan demi kepentingan individu. Tanpa berpikir luas ada berapa banyak manusia yang menangis, mengemis, dan bersimpuh agar haknya tidak diambil.

Namun, apalah daya yang katanya “orang yang tidak punya uang tidak bisa apa-apa saat ini”. Yang bisa dilakukan adalah kita tak berhenti-berhentinya menyuarakan sembari merapal doa pada sang pencipta agar kebengisan oknum penguasa yang melahap habis harta rakyat segera berakhir.

Seindah namanya, pesantren Padang Lampe menurut saya sangat filosofis  “Darul Mukhlisin”  yaitu “tempat bagi orang-orang yang ikhlas”. Sejenak saya memaknai, bagaimana kita sebagai manusia senantiasa ikhlas untuk mengemban amanah maupun menjalankan amanah yang telah diberikan.

Oh ya, satu bulan lamanya bertemu dan berteman dengan orang-orang yang bisa menerima keadaan di sini, dan ada yang terus menangis dan mengeluh ingin pulang (tidak tahan di sini).

Makan di satu baki yang sama,  bertugas mengangkat baki makanan, jumbo yang berisi air minum, dan cerek air untuk mencuci tangan sebelum makan. Tanpa berpikir mau masak apa lagi hari ini? Karena itu semua sudah disediakan oleh pihak dapur. Saya harap demikian pula mereka-mereka diluar sana dapat makan dengan nyaman tanpa bayang-bayang kekacauan, dilanda kelaparan maupun terdampak oleh kebijakan yang timpang hingga termiskin kan secara struktural.

Saya harap kenyamanan yang sama dapat dirasakan semua orang.

Lelah dalam beribadah, zikir yang kadang panjang sekali membuat teman-teman mengantuk, lelah, dan pinggang serasa encok. Keluhan yang setiap hari dilontarkan, namun tetap dijalankan dengan penuh rasa sabar dan ikhlas yang panjang.

Ketika waktunya istirahat, saya tidak pernah menggunakan waktu istirahat itu dengan tidur siang. Waktu istirahat adalah kesempatan untuk menulis tentang hari ini dan menganalisis isu berita adalah kewajiban  bagi saya. Sebab tetap membaca informasi membuat saya merasa memiliki kepekaan emosional terhadap kondisi hari ini, tentunya setelah mendengar materi dari ayah terkait bagaimana sikap seorang muslim saya semakin bersemangat, mendudukkan keadilan bagi semua manusia adalah hal yang wajib. Selama disini, sayapun tetap melakukan aktivitas tersebut, meski ada hafalan yang harus disetor setiap hari.

Akhir kata dari saya, sesuatu yang kita sukai akan membuat kita bertahan, begitupun sebaliknya ketika kita tidak menyukai sesuatu yang kita jalani saat ini tidak akan membuat bertahan. Sama halnya di Padlam ini, ketika kamu suka saat menjalaninya maka kamu tidak akan menangis meminta pulang sebelum tiba waktunya pulang.

Demikian juga di dunia, semua manusia mustinya harus merasa betah & merasa aman untuk menjalani aktivitasnya tanpa adanya gangguan dari pihak manapun. Tidak ada tangisan dari sesama kaumnya yang meminta keadilan akibat penindasan, dimana ini bisa memicu kerapuhan dan kemiskinan struktural yang menyebabkan:  Bisa jadi bahkan di bumi tempat kita berpijak kita tak punya tempat berpulang lagi.

 

Penulis: Qhaerunnisa

1 thought on “Tentang Padlam: Ketenangan Yang Hampir Tidak Kudapati di Tengah Hiruk Pikuk Polemik Kaum Perkotaan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *