UMI, Milad Berbau Militerisme
Universitas Muslim Indonesia (UMI) Kini memasuki usianya ke 64 tahun. Dalam acara Miladnya tersebut hadir pula Wakil Presiden Jusuf Kalla sekaligus dalam rangka menerima penghargaan gelar Doktor kehormatan dalam bidang pemikiran politik Islam yang diselenggarakan di Auditorium Al-Jibra UMI, Sabtu (23/6/2018).
Tidak seperti milad pada umumnya yang warnai dengan perayaan kue tar atau pemotongan nasi tumpeng dan sebagainya. Milad UMI kali ini justru terlihat begitu tegang dengan kehadiran beberapa aparat pengamanan yang lalu lalang dalam kampus. Alih-alih pengamanan orang No.2 di Indonesia, para aparat ini lantas melakukan razia dibantu dengan pihak pengamanan kampus di berbagai tempat dalam kampus UMI sebelum hari perayaan. Segala hal yang berbau kritikan seperti petaka-petaka di cabut dan dilenyapkan karena dianggap akan mengganggu kenyamanan orang no 2 di Indonesia tersebut.
Kemudian pada hari kamis, 21 Juni pihak kampus mengeluarkan surat edaran ditujukan kepada seluruh lembaga mahasiswa yang berisikan pelarangan masuk kampus. Entah logika apa yang dipakai oleh birokrasi, melarang mahasiswa masuk kampus karena dianggap tidak berkepentingan dalam perayaan milad UMI. Padahal pada hakikatnya yang menghidupi roda kampus berasal dari uang mahasiswa yang disodorkan kepada pihak birokrasi.
Tidak berhenti pada surat edaran, pada jumat, 22 juni sehari sebelum perayaan, dua orang yang mengaku paspampres mengunjungi sekretariat UPPM UMI. Mereka meminta kerjasama kepada salah satu mahasiswa yang aktif di Unit Penerbitan dan Penulisan Mahasiswa untuk mencabut petaka-petaka yang masih terpampang dalam area kampus yang dinilai dapat mengganggu kenyamanan Wappres pada saat event perayaan MILAD nanti. Dalam perbincangan singkatnya, paspampres tersebut membeberkan bahwa pelarangan petaka-petaka benar atas intruksi dari pihak pengamanan presiden. “Kami melihat dari kebiasaan bapak (JK) yang tidak suka dengan hal yang begituan ketika menghadiri event-event besar”, ucap salah satu paspampres yang tidak menyebutkan namanya.
Sehari berselang, tepat pada hari perayaan, suasana kampus berubah menjadi layaknya medan perang. Para aparat berseragam terlihat berlalu lalang dengan persenjataannya yang lengkap dengan senjata api. Sesuatu hal yang tak lazim nampak pada perayaan milad, justru malah menumbuhkan rasa ketakutan bagi mahasiswa.
Menilik sejarah panjang antara mahasiswa dan aparat penegak hukum represif di era orde baru yang menjadikan hubungan keduanya tidak baik hingga sekarang. Aparat dengan dalih menjaga keutuhan dan kesatuan NKRI menjadikannya selalu ada di setiap aksi mahasiswa dalam menolak kebijakan-kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang. Setiap aksi penolakan kebijakan dianggap anarkis dan patut untuk diamankan. Pengamanan pun tidak segan-segan dengan menggunakan senjata api yang jelas tidak sesuai dengan Perkapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 8/2009”), serta di dalam Perkapolri No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian (“Perkapolri 1/2009”),l.
Seyogyanya hal demikian tidaklah bisa ditujukan pada rakyat biasa tanpa alasan yang kuat di mata hukum. Reformasi 1998 bercita-cita mengahapuskan cengkraman militer diaspek kehidupan masyarakat. Semangat mengembalikan militer ke barak menjadi nyawa dari gerakan reformasi. Fungsi sosial politik militer juga eksklusi dari tupoksi. Militer tidak boleh terlibat politik praktis, dituntut lebih profesional, dan tidak berbisnis. Sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-undang tentang TNI. Namun hampir satu dekade reformasi bayang-bayang dari militerisasi masih belum sepenuhnya hilang dari setiap gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa maupun dari rakyat itu sendiri.
Milad ke 64 tahun UMI, bisa dianggap terlalu berlebihan dengan menggunakan aparat berseragam lengkap, melakukan pengamanan di area kampus. Sebab kampus adalah wadah belajar bagi kaum intelektual, tempat berlangsungnya proses dialektika bagi calon-calon penerus bangsa nantinya. Bukan malah dihiasi oleh para anggota berseragam lengkap dengan persenjataannya. Sejatinya kampus adalah merupakan tempat belajar, berdiskusi dan hal-hal yang mendidik, bukan para pelaku kriminal jadi sangat berlebihan jika pengamanan dilakukan langsung oleh aparat berseragam lengkap.
Kampus UMI dengan berasaskan Ukhuwah Islamiah pada miladnya, hari ini mengajarkan kita bagaimana seorang tua yang mendidik anak-anaknya cara militerisme, memberikan dampak ketakutan kepada anaknya dengan diperhadapkan dengan senjata api. Pemimpin hari ini telah menunjukan bahwasanya Indonesia hari ini adalah Indonesia yang Demokrasi Otoriter, pemerintahan yang anti kritik. Tentu bukan seperti ini demokrasi yg di cita-citakan para pendahulu kita yang memperjuangkan Indonesia agar lebih patuh terhadap tiap-tiap hak asasi manusia.
Tidak bisa kita bayangkan kedepannya, bagaimana para mahasiswa sebagai calon penerus bangsa lahir dengan didikan rasa ketakutan. Kampus selayaknya rumah didesain lebih mirip penjara disertai dengan pembungkaman demokrasi dan ancaman skorsing dan droup out. Dan juga sosok pemimpin bangsa kita saat ini yang cenderung anti terhadap mahasiswa yang sejatinya juga merupakan rakyatnya. Kalau wajah pendidikan terus dihiasi dengan corak pembungkaman demokrasi, dan pemimpin bangsa yang tidak lagi mau menerima aspirasi rakyatnya, alhasil Indonesia kini sedang berada diambang kehancuran.
Penulis : Hesti
Red : Shim