Wajah Kampus Islam Dinodai Kemunafikan

0

Sebagaimana defenisi kampus menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI) adalah merupakan daerah lingkungan bangunan utama Perguruan Tinggi (Universitas, Akademi) tempat semua kegiatan “belajar-mengajar dan administrasi berlangsung”.

Jadi pada hakikatnya kampus merupakan sebuah wadah berproses, sumber ilmu pengetahuan tempat menuangkan segala aspirasi berdasarkan realitas sosial khususnya yang terjadi didalam kampus. Tempat yang paling efektif bagi para mahasiswa selaku penerus bangsa dalam mengimplementasikan segala teori yang didapatinya selama dibangku pendidikan.

Namun apa yang terjadi bilamana kampus terasuki oleh kepentingan-kepentingan yang mencederai prinsip demokrasi dalam dunia kampus? Alhasil melahirkan wajah munafik.

Seperti yang terjadi di kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) yang berlabelkan Islam, namun dalam ekspektasinya justru sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Tak bisa dibayangkan, kampus yang merupakan sumber pencahayaan negara tempat lahirnya gagasan-gagasan dari kaum intelektual, kini berubah menjadi wilayah kegelapan yang dihuni oleh pembesar-pembesar kampus yang berwatak rakus dan sewenang-wenang. Atas dasar menjaga citra kampus, segala kebijakan dikeluarkan disertai tindakan yang pada hakikaktnya mengkebiri hak asasi para mahasiswa.

Misalnya yang baru-baru ini terjadi, sekitar jam 11:00 Wita, salah satu dari pihak pengamanan birokrasi kampus UMI meminta petaka-petaka yang berbau kritikan agar di cabut dalam rangka menyambut kedatangan Jusuf Kalla (JK) yang akan menghadiri puncak perayaan milad UMI yang ke 64. “Cabut dulu ini, tadi pengawal pak Jusuf kalla lihat dan suruh cabut karena mau datang pak JK tanggal 23 dimiladnya UMI, nanti dipasang lagi kalo acaranya sudah selesai”.

Peristiwa ini terjadi disalah satu Unit Kegiatan Mahasiswa, Unit Penerbitan dan Penulisan Mahasiswa (UPPM) yang dikenal giat melakukan kerja-kerja advokasi, aksi, dan melontarkan kritikan kepada birokrasi kampus atas kebijakan-kebijakannya yang tidak pro terhadap mahasiswa.

Dalam hal ini, dua petaka-petaka yang bertuliskan, “Kuliah Kok Mahal?”, ” Kampus UMI itu Mahal, anti kritik, pungli, kok bisa?” terpampang di depan pekarangan sekretariat UPPM terpaksa di cabut.

Sangat disayangkan sikap dari birokrasi kampus yang menobatkan dirinya sebagai kampus Islami terkesan bersikap munafik dan anti kritik.

Kalaulah yang tertuliskan pada papan aspirasi tersebut tidak benar, sepatutnya dituntaskan dengan cara-cara demokratis dan mendidik disertai pembuktian yang konkrit, bukan malah dengan menggunakan otoritas lantas membungkam hak mahasiswa. Hal yang demikian sangatlah tidak cocok dengan corak UMI yang berlabelkan Islam, bertentangan dengan ajaran kejujuran dan keadilan yang dijunjung tinggi dalam Islam.

Tindakan birokrasi kampus UMI yang tergesa-gesa, mencerminkan ketakutan dari kebenaran yang coba disembunyikannya agar tidak diketahui khalayak. Entah dari mana kecurangan ini lahir, namun yang pastinya hal demikian tidaklah bisa dibenarkan.

Dari sikap birokrasi yang terlihat ketakutan, memunculkan pertanyaan sederhana, ada apa dengan pesan yang disampikan dari petaka-petaka tersebut ?.

Apakah salah ketika mahasiswa memasang petaka-petaka sebagai bentuk luapan aspirasinya terkait realitas yang terjadi di kampus UMI?.

Apakah menuliskan atau menyampaikan sebuah kebenaran atas kenyataan yang terjadi merupakan sebuah perbuatan yang terlarang, baik dalam pandangan konstitusi negara ataukah Islam? Tentu saja jawabannya “tidak”.

Menengok wajah pendidikan saat ini, akses pendidikan yang sangat sulit digapai khususnya bagi masyarakat miskin dikarenakan biaya yang mahal. Hal serupa pun terjadi pada kampus UMI yang didirikan diatas tanah waqaf.

Biaya pendidikan yang tiap tahun semakin meningkat tanpa dibarengi dengan fasilitas dan tenaga pengajar yang mendukung pembelajaran. Banyaknya pungutan pembiayaan diluar pembayaran SPP-BPP yang terindikasi merupakan praktek pungli, firasat ini didasari oleh tidak adanya transparansi terkait pengolahan dana mahasiswa di dalam kampus.

Tentu hal ini sangatlah merugikan bagi mahasiswa, kepingan rupiah yang diberikan kepada pihak kampus terbalaskan dengan kekangan dan ancaman. Mematikan daya kreatifitas mahasiswa, demi menjaga citra kampus, pastilah tak sejalan dengan keinginan para orang tua yang ingin melihat anaknya sukses.

Budaya anti kritik pun dihidupkan, tercerminkan dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh kampus yang pada dasarnya mengekang kebebasan mahasiswa dalam berekspresi. Misalnya saja, pelarangan pemasangan spanduk, dan pelarangan aksi dan lain sebagainya.

Dengan disertai ancaman skorsing hingga Droup Out pun dikeluarkan untuk menakut-nakuti mahasiswa agar tidak lagi berani mengkritisi kampus. Dalam hal ini, dua mahasiswa fakultas hukum yang pada bulan maret kemarin menjadi korban dari keganasan kampus yang anti kritik. Kedua mahasiswa tersebut hanya mempertanyakan terkait transparansi dana kemahasiswaan lantas diperhadapkan dengan SK skorsing selama dua semester.

Watak birokrasi kampus UMI yang anti kritik dan tidak berkeadilan sejatinya telah mengkhianati Pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional Indonesia, prinsip-prinsip penyelenggaraannya yang telah diatur dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no. 20 Tahun 2003 BAB III pasal 4, yaitu : Pendidikan diselenggarakan secara demokrtis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai kegamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Penulis : Parle

Editor : Shim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *