Persoalan Gender, Kita Masih Beranggapan Kebudayaan itu Tak Bisa Berubah

1

Rocky Gerung. sumber : sorgemagz.com
Rocky Gerung. sumber : sorgemagz.com
Feminisme masih menjadi hal tabu dalam pergulatan wacana sosial kita, tak seperti isu politik electoral, atau isu hukum yang selalu mendapat respon cepat dari khalayak. Isu feminisme hanya menyentuh elit dan jauh dari pembicaraan masyarakat luas, hal ini dianggap bahwa feminisme mempunyai tantangan besar, keadilan gender masih sulit menerobos pikiran kita yang cenderung menganggap bahwa feminisme akan merusak tatanan yang sudah ada. Tatanan yang sudah ada ini, banyak yang menganggap lahir dari kebudayaan kita. Tapi dalam banyak teori sosial, kebudayaan bukanlah sesuatu yang final dan tak bisa diubah, kebudayaan adalah liquid dan berubah-ubah.

Kampanye kesetaraan gender tampaknya sulit untuk mendapatkan apresiasi karena di pendidikan kita sendiri, hukum yang dibentuk dan sistem politik yang disepakati, masih sangat bias gender. Berikut wawancara khusus Cakrawalaide.com dengan Rocky Gerung yang merupakan akademisi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan juga salah satu pendiri SETARA Institute sebuah perkumpulan yang didedikasikan bagi pencapaian cita-cita mnghormati keberagaman, mengutamakan solidaritas dan bertujuan memuliakan manusia. Cakrawalaide.com mewawancarainya di sela-sela rehat dalam kegiatan Peta Kaum Muda Indonesia yang dilaksanakan oleh TEMPO Institute, Rabu (2/12).

Menurut anda, saat ini apa sih tantangan terbesar dalam perjuangan kesetaraan gender ?

Sikap kebudayaan masyarakat yang masih konservatif, selalu ada kecemasan seolah-olah jika perempuan itu disetarakan sama laki-laki maka segala sumber daya itu tidak lagi dikuasai laki-laki. Padahal justru dengan mendistribusikan sumber daya, beban laki-laki itu terbagi diseluruh segmen masyarakat.

Di Afrika sendiri, 80% perempuannya itu berperan di sektor produksi, tapi hanya sekitar 4% dari mereka yang mempunyai akses terhadap properti. Apakah hal itu juga terjadi di Indonesia?

Di Indonesia ketimpangan itu terjadi, karena hukum itu menganggap bahwa properti itu adalah milik laki-laki, perempuan itu dibanyak kebudayaan dianggap sebagai pekerja rumah tangga aja, tidak boleh mempunyai hak properti. Jadi sejarah berfikir itu ada disemua masyarakat agraris terutama. Di Indonesia pasti ada gejala itu, tapi tentu tak sedrastis statistik Afrika. Statistik Afrika lebih parah, karena di Afrika perempuan hanya dianggap sebagai harta laki-laki. Bagaimana mungkin, perempuan mempunyai akses terhadap properti sementara mereka hanya menjadi harta dari laki-laki.

Menurut anda di dunia pendidikan, sejauh mana pemahaman gender di transformasikan?

Gender ini jadi proyek ilmiah, mahasiswa atau peserta didiklah tidak komplain dengan isu ini berarti dia tidak mengerti tentang perkembangan isu-isu ilmiah. Justru kita di kampus harus dimulai itu, bahwa ketakutan, atau kecemasan dan sinisme pada gerakan perempuan itu justru menghambat pertumbuhan bersama untuk menghasilkan kesatuan yang lebih baik.

Ketimpangan gender dan eksploitasi tubuh perempuan juga terjadi di media visual, apakah ini terjadi disemua negara?

Misalnya di barat tidak ada lagi soal gender itu, karena perjuangan mereka bukan lagi Affimative Action jadi hak kewarganegaraan sudah setara, jadi masalah soal distribusinya, dikita masih dalam soal yang sangat primer yaitu penghargaan terhadap reputasi dan prestasi perempuan itu dihambat oleh sikap kebudayaan. Kenapa dia terhambat? Karena seolah-olah dianggap kebudayaan itu final dan tak bisa berubah, padahal kebudayaan itu selalu berubah. Kebudayaan itu liquid, yang tak mau berubah adalah mereka yang mendapat keuntungan dari sistem hirarkis itu.

Dinegara utara yang cenderung kapital tapi maju terhadap pemenuhan hak asasi di negaranya, apakah eksploitasi perempuan dalam iklan itu ada? Atau memang ada pembatasan terhadap hal tersebut?

Ada tetapi.. misalnya Madonna ia mengatakan bahwa “saya tidak dieksploitasi, justru saya yang mengeksploitasi laki-laki dengan memaksa laki-laki membayar tiket konserku semahal-mahalnya” itu mindset sebetulnya, di kita iklan itu masih dalam rangka merendahkan, jadi fungsi perempuan itu masih dianggap sebagai peralatan untuk menghasilkan komoditas.

Misalnya di TV Show Amerika, Oprah Winfrey dia memanfaatkan feminitasnya atau keperempuannya untuk mendapatkan pendukung sebanyak mungkin dan dari hasil dana itu ia pake untuk aktivitas pemberdayaan perempuan di Afrika dan Amerika Latin. Jadi dia bikin aturan, oke saya akan memanfaatkan kemampuan saya sebagai perempuan tapi hasilnya saya kembalikan ke perempuan desa di Afrika dan Amerika Latin. Angelina Jolie juga memanfaatkan kecantikannya dan status selebriti. Tapi semuanya dia tahu untuk menghasilkan generasi baru yang paham akan hak-hak dasar.

Disini kita tidak seperti itu, kedudukan perempuan dalam iklan itu masih didalam rangka eksploitasi dari kamera, kamera itu mata laki-laki, ia akan mengambil sudut yang menguntungkan, jadi yang harus dididik itu adalah kameramen, pemimpin redaksi. Misalnya contoh ada kejahatan headlinenya misalnya ditemukan sepasang lesbian disebuah kamar hotel pada saat terjadi pengerebekan narkoba, itu problem narkoba bukan problem lesbian, cara kita mengambil sudut pandang itu bermasalah. Pers yang egaliter harus tahu sudut pandang.

Wacana gender yang selalu dikaitkan dengan Indonesia yang multikultural, yang dianggap sebagai merusak tatanan yang sudah terbentuk, bagaimana menurut anda?

Prinsip multikulturalisme bukan melegitimasi keadaan ketimpangan itu, misalnya seorang perempuan ingin keluar dari lokasi kebudayaannya, dia mesti dihormati. Dia misalnya merasa tertekan dalam kultur patriarki dari satu suku, hormati dia keluar dia tidak akan menjadi bagian dari suku itu. Jadi jangan dimusuhi, tapi yang terjadi dia akan dimusuhi oleh suku itu kan, padahal itu pilihan bebas dia misalnya untuk mengatakan saya mau aturan perkawinan menurut hukum perdata bukan hukum adat, tapi dia akan dicaci maki, dan kemudian pers akan memberitakan bahwa ia melanggar adat. Bukan melanggar adat, tapi dia memilih jalan yang menurutnya egaliter.

Sedangkan terkait wacana gender yang cenderung merusak tatanan yang sudah ada, merusak tatanan yang dianggap menguntungkan laki-laki, justru itu tatanan yang jahat. Selalu kita nggak mau kan lepas dari comfort zone kita, jadi yang membuat kita nikmat, kalau diganggu kita mengatakan kejahatan, justru yang jahat itu yang menikmati surplus dari perempuan.


Kalau mau lihat konteks gerakan feminis di Indonesia, ada melihat kemajuan?

Banyak kemajuan, feminisme di Indonesia itu ada dua segmen ada segmen advokasi, ada segmen teoritis di kampus berkembang, di tempat saya mengajar ada mata kuliah Feminist Legal Theory, Feminist Ethnic, ada mata kuliah feminis dan ilmu pengetahuan jadi tumbuh itu, sama dengan kurikulum dunia seperti itu, ada yang mengatakan kita kan lain, kita kan timur. Ia di timur justru kedudukan perempuan harusnya dimuliakan, tapi dalam praktek itu disingkirkan.
Lihat misalnya di DPR ada perempuan, tapi itu di sektor-sektor yang dianggap yah pariwisata segala macam, di komisi pertahanan misalnya, perempuan nggak bakal ditaruh disitu, komisi anggaran sedikit banget perempuan, dianggap perempuan nggak bisa ngitung segala macam. Pasti di taruh diurusan komisi Sembilan yang ngurus pariwisata karena itu dianggap wilayah konvensional dari perempuan. Secara nggak sadar sebetulnya kita melakukan diskriminasi.

Penulis : Ayie
Red : Walla

1 thought on “Persoalan Gender, Kita Masih Beranggapan Kebudayaan itu Tak Bisa Berubah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *