Entah hari itu hari apa aku lupa, yang ku tahu bahwa hari itu merupakan babak baru dalam hidupku. Aku melangkah, duduk dan kembali melangkah hingga sebatang rokok yang kuhisap mengepulkan asap terakhirnya, tak kunjung kutemui seseorang  yang ingin tuk saling menyapa. Entah aku terlalu tampan ataukah aku terlalu kumuh, aku juga bingung. Yah… itu kisahku saat pertama kali ku injakkan kaki di tempat yang orang tuaku pun tak pernah menginjakkan kakinya. Namanya Universitas, tempat para orang-orang pintar juga tempat para orang-orang berduit di negeri ini.

Universitas, aku juga kurang paham tentangnya tapi kata orang tempat ini adalah tempat yang dilalui dahulu jika ingin menjadi orang besar di negeri ini.

Yes… kata itu bukan kata pembenaran tetapi kata yang kuucapkan saat pertama kali melihat hasil tes yang menyatakan aku layak menjadi salah satu baagian dari Universitas itu. Aku telah menjelma menjadi seorang Mahasiswa. Seorang yang akan siap di peras pikiran dan juga hartanya, karena di negeri ini pendidikan tak banyak anggarannya.

Hari pertama menjadi hari yang sangat menakutkan bagiku, Mahasiwa baru yang akrab di sapa dengan  “MABA.”  Para senior menyambutku dengan muka yang sangar dan juga tingkah laku yang menonjolkan kejagoan layaknya para tokoh di pewayangan. Tepakk… ! Pipiku memerah bukan karena jatuh hati kepada lawan jenis tetapi tak kusangka sandal berbahan keras bermerek e…r  tiba-tiba tepat mendarat di wajahku. Hati ini risih ingin berlawan, tapi aku sadar bahwa aku pendatang baru di tempat ini.

Hari meninggalkan banyak malam, mulai banyak hal baru yang tercatat dalam isi kepala.  Aku menjelma menjadi seorang yang giat mebaca setiap apa yang lewat. Aku memasuki  berbagai organisasi internal maupun eksternal kampus dan juga aktif di berbagai kegiatan-kegitan kemahasiswaan. Diskusi, turun ke jalan dan juga mengadvokasi lahan warga di pedesaan, menjadi santapan dalam melewati tahun-tahun keemasanku menjadi seorang manusia. Kaos oblong, celana sobek, rambut gondrong juga sandal jepit menjadi pembeda aku dengan yang lain.

Tapi… ada yang aku lupa, aku mengingatnya tatkala kuliahku memasuki akhir-akhir semestar, SKS ku tak cukup memenuhi syarat untuk di berangkatkan ke tempat KKN –Kuliah Kerja Nyata- . Aku sedih karena telah lupa akan pesan orang tuaku di kampung.

“Nak… beribadahnya yang rajin, kuliahnya jangan malas dan cepatlah menjadi sarjana agar bisa membahagiakan kami.” Aku ingin menjelaskan kepada orang tuaku bahwa aku ingin agak lama bertengger di kampus bukan karena aku bodoh tapi karena pilihan lain, tetapi aku sadar bahwa jaminan keuangan hanya menyanggupi aku untuk berkuliah selama empat tahun.

Duniaku berputar Seratus Delapan Puluh Derajat. Siklus kehidupanku berubah, aku yang dahulunya aktif berorganisasi sekarang perlahan meninggalkannya dan mulai rajin berkuliah. Malu tatkala aku sekelas dengan Mahasiswa botak-botak. Baju kemeja, celana yang tak lagi sobek, dan sepatu kini menjadi gaya berpakaianku. Sesekali aku ingin berlawan tatkala ada dosen yang aku pikir kemampuannya belum layak menjadi seorang dosen. Tetapi jika itu kulakukan itu akan berdampak pada nilaiku yang nantinya akan mengecewakan kedua orangtuaku lagi.

Kini bukan lagi diskusi tetapi asistensi, bukan lagi turun ke jalan tetapi kerja tugas harian, dan bukan lagi advokasi tetapi skripsi yang menghiasi hari. Aku bangga karena sebentar lagi aku akan diwisuda, tetapi disisi lain aku malu… aku malu pada diri sendiri, aku yang cukup makan gula-garam di dunia kampus ini, akhirnya dikalahkan oleh Satuan Kredit Semester.

Penulis: Arham Diandika
Red: Kam

1 thought on “Aktivis vs SKS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *