BBM Naik, Bukti Wajah Buruk Pengendalian Stabilitas Ekonomi Nasional
Kesejahteraan sejatinya adalah hak bagi setiap warga negara dan pemerintah berkewajiban untuk mewujudkannya. Kita ketahui bersama, bahwa salah satu tujuan dari negara khususnya negara kesatuan republik indonesia (NKRI) adalah mewujudkan kesejahteraan umum. Hal ini bukanlah sebuah opini belaka, melainkan fakta yang tertulis jelas dalam pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, alinea keempat “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,” artinya, bahwa sejatinya konstitusi yang merupakan landasan hukum negara telah mengamanatkan kepada pemerintah untuk menempatkan kesejahteraan rakyat diatas kepentingan negara.
Untuk mewujudkan kesejatheraan tersebut, pemerintah kemudian membentuk konsep perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan kemandirian. Hal tersebut semata-mata untuk menciptakan stabilitas perekonomian yang condong menguntungkan rakyat kecil. Selaras dengan berjalannya waktu kebijakan demi kebijakan diambil pemerintah dengan dalih menjaga stabilitas tersebut. Padahal, fakta dilapangan menggambarkan jelas, bahwa kebijakan tersebut semakin membebani rakyat kecil yang justru jauh dari kesejahteraan.
Hal ini dapat kita lihat bersama. Beberapa waktu yang lalu PT Pertamina dengan persetujuan pemerintah dalam hal ini kementrian ESDM kembali menaikkan harga BBM. Menurut Adiatma Sardjito, VP Corporate Communication PT Pertamina (Persero) alasan dibalik naiknya harga BBM dikarenakan naiknya harga minyak dunia. Hal ini juga diperparah karena 3 bulan terakhir harga minyak dunia belum stabil. Jika dihitung rata-rata selama kurun waktu tersebut harganya sudah di atas US$ 70/barel.
Terlepas dari naiknya harga minyak dunia, pemerintah seharusnya memikirkan kembali perihal jumlah kenaikan harga BBM. Mengingat kenaikan BBM tahun 2018 tidak hanya terjadi kali ini saja. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun dari beberapa sumber, kenaikan BBM tahun 2018 sudah terjadi sebayak 5 (lima) kali dalam kurun waktu tujuh bulan. Artinya hampir setiap bulan terjadi perubahan harga BBM. Misalnya, kenaikan pertama pada 13 Januari 2018, untuk BBM non-subsidi, BBM jenis Pertamax naik Rp 200, dari harga Rp 8.400 menjadi Rp 8.600, Pertamax Turbo naik Rp 250, dari Rp 9.350 menjadi 9.600. Hanya berselang tujuh hari, Pertamina kembali menyesuaikan harga BBM. Kali ini, kenaikan terjadi pada Pertalite dan Dexlite. Pertalite rata-rata naik Rp 100 per liter, sedangkan Dexlite naik Rp 200 per liter. Selanjutnya, PT Pertamina menaikkan harga BBM untuk ketiga kalinya di tahun 2018, pada Sabtu 24 Februari pukul 00.00, kenaikan terjadi untuk jenis BBM non-subsidi, meliputi Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite dan Pertamina Dex. Rata-rata, BBM jenis Pertamax naik Rp 300 per liter, dari Rp 8.600 menjadi Rp 8.900, Pertamax Turbo naik sebesar Rp 500 dan Dexlite naik Rp 600, serta Pertamina Dex naik Rp 750. Pada 24 Maret 2018 pukul 00.00, Pertamina menaikkan harga Pertalite Rp 200 per liter. Terakhir pada 1 Juli 2018, harga BBM non-subsidi seperti Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite dan Pertamina Dex kembali naik. Pertamax naik dari Rp 8.900 menjadi Rp 9.500 per liter, Pertamax Turbo dari Rp 10.150 menjadi Rp 10.700, Dexlite dari harga Rp 8.100 per liter menjadi Rp 9.000 per liter, Pertamina Dex naik dari Rp 10.000 menjadi Rp 10.500 per liter. Kenaikan kali ini berkisar antara Rp 600 sampai Rp 900. Lantas jika seperti ini, tentu rakyatlah yang kembali menanggung beban dari kebijakan tersebut.
Sudah menjadi rahasia umum, jika kenaikan harga BBM biasanya diikuti oleh kelangkaan bahan bakar dan naiknya harga barang dan jasa karena meningkatnya biaya produksi. Bayangkan saja sebuah pabrik minyak sawit. Dengan puluhan bahkan ratusan pekerja. Selain menggunakan mesin, pabrik tersebut juga mengandalkan angkutan untuk mengangkut sawit dari perkebunan ke area pabrik. Apabila harga BBM naik, tarif angkutpun ikut naik, sehingga biaya produksi membengkak. Untuk menekan biaya produksi pemilik usaha biasanya menurunkan jumlah produksi bahkan mengurangi jumlah karyawan (PHK) hal ini tentu membawa efek domino terhadap perekonomian nasional. Dimana PHK hanya akan menambah jumlah pengangguran. Belum lagi biaya transportasi angkutan umum yang ikut dinaikkan.
Ada yang menarik pada kenaikan harga BBM kali ini. Dimana, banyak masyarakat Indonesia justru tidak mengetahui perihal kenaikan tersebut. Hal inipun sangat disayangkan, karena pemerintah terkesan pasif dalam mensosialisasikan kenaikan harga BBM. selain itu, hal ini juga didukung oleh adanya momentum pilkada serentak dan perhelatan piala dunia (FIFA WORLDCUP) yang banyak mengundang perhatian masyarakat luas. Sehingga kenaikan harga BBM tidak banyak diketahui dan menarik perhatian masyarakat. Banyak yang menganggap kenaikan kali ini masih wajar. Padahal, kenaikan tersebut justru memicuh kenaikan harga lainnya. Yang lebih menarik lagi, berbagai elemen masyarakat seperti ORMAS, LSM dan Mahasiswa terkesan diam menanggapi hal ini. Tentu ini menjadi tamparan bagi kita semua untuk lebih bijak menganalisis persoalan yang terjadi sehingga tidak terkesan “ditutup-tutupi” dan tidak ada masyarakat yang merasa dirugikan.
Penulis : Raa
Red : Izhan Ide
Sumber gambar : http://www.gudangnews.info