Keadilan dalam Hukuman Mati?
Makassar, cakrawalaide.com — Eksekusi mati terhadap enam terpidana kasus narkoba menimbulkan pro-kontra. Lima terpidana mati yang telah dieksekusi itu terdiri atas Ang Kim Soei, 62 tahun, warga negara Belanda, Namaona Denis (48) warga negara Malawi, Marco Archer Cardoso Mareira (53) warga negara Brasil, Daniel Enemua (38) warga negara Nigeria, Tran Thi Bich Hanh warga negara Vietnam dan Rani Andriani atau Melisa Aprilia (38) warga negara Indonesia. Dan beberapa terpidana lain yang masih akan dieksekusi di tahun ini. Belum ada tanda-tanda bahwa presiden akan memberikan grasi. Lagipula sejak jauh-jauh hari kepemimpinannya, Presiden Jokowi telah berkomitmen untuk tidak berkompromi dengan kasus narkoba.
Tentang perdebatan pemberlakuan hukuman mati, menurut beberapa pakar, perdebatan dengan tema ini merupakan ‘barang lama’ yang muncul diawal Revolusi Prancis dan mungkin jauh sebelumnya. Pro kontra terhadap aturan ini juga eksis di Indonesia, hal ini muncul akibat adanya dua perpektif yang selalu hadir dalam perdebatannya, yang pertama hukuman mati telah lama eksis dalam hukum positif Indonesia dan menjadi hukuman maksimal untuk segala tindak kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime), pemberlakuan hukuman mati ini, dianggap masih relevan untuk menimbulkan efek jera.
Selain itu, hukuman mati yang dilekatkan pada perpektif hak asasi manusia cenderung menolak, hal ini dianggap karena hukuman mati tidak menjamin apa-apa terhadap berkurangnya kejahatan, dan hukuman mati dianggap sebagai cara kuno, dan tak relevan jika diberlakukan di negara demokrasi yang patutnya menghormati nilai-nilai HAM. Hukuman mati cenderung tidak melihat adanya pencarian bukti-bukti yang lebih dalam, dengan merangkul terdakwa sebagai Justice Colaborator, hal ini dianggap dapat membuka jejaring narkoba yang sampai saat ini belum terang.
Melihat hal ini, akademisi hukum tata negara Universitas Muslim Indonesia, Prof. La Ode Husein, menganggap, bahwa pelaksanaan hukuman mati sebenarnya tak dapat dipraktekan karena adanya payung hukumnya, yaitu konstitusi
“jelas hal ini tidak dapat dipraktekan karena negara telah mengatur di konstitusinya, bahwa hak hidup merupakan hak yang tak bisa dikurangi dalam keadaan apapun, kalau konstitusi sudah mengatur hal itu, seharusnya segala perangkat hukum yang ada dibawahnya mempunyai semangat yang sama”
Menurutnya masih banyak cara lain untuk menghukum narapidana, yang melebihi hukuman mati “coba kasih hukuman seumur hidup atau dua puluh tahun penjara tanpa grasi, hal ini lebih menimbulkan efek jera” ujarnya
Selain harus menghormati HAM dengan tidak menjatuhkan hukuman mati, polemik tentang Peninjauan Kembali (PK) seharusnya dapat dilakukan berkali-kali, sebelumnya Mahkamah Konstitusi telah menyetujui hal itu, namun Mahkamah Agung kemudian menolak untuk menerapkannya lewat SEMA Nomor 7 tahun 2014 dengan alasan non executable. “Karena PK berulang tak dilakukan, melalui SEMA, Mahkamah Agung telah melakukan ketidakadilan terhadap terdakwa yang masih menempuh upaya hukum. Apalagi dengan terpidana mati, yang masih mencari bukti baru untuk mendapatkan keputusan yang seadil-adilnya” ujarnya
Penulis : Ayie
Red : Walla