Menengok Kembali Jamban Kita
Hidup di perkotaan disamping polusi dan kemacetaan serta kebisingan, memang sangat membosankan dan menganggu. Memang dilain sisi kita memperoleh keuntungan jika tinggal diwilayah perkotaan, seperti mudahnya akses pendidikan, pangan, gaya hidup dan pekerjaan. Namun keuntungan tersebut berbanding lurus atau mungkin lebih banyak kerugian yang didapatkan ketika hidup di wilayah perkotaan, seperti gejolak sosial, pola komunikasi yang cenderung individualistis masyarakatnya, juga lingkungan polusi dan limbah yang lebih banyak.
Kehidupan kota sangat dekat dengan pertumbuhan penduduk dan sempitnya lahan, sehingga bagi kita perumahan kumuh, sampah, polusi menjadi bagian dalam hidup kita. Tapi sebenaranya hal ini akan menjadi kerugian dimasa depan.
Permasalahan air limbah, apalagi air limbah domestik memang jarang menjadi pembicaraan serius oleh kalangan masyarakat, karena isu ini dinilai tak semenarik isu politik kekuasaan, ekonomi bisnis, hukum, dan lainnya. sehingga masalah ini terus menerus terendap karena impact yang belum terasa. Padahal limbah yang dibuang oleh rumah tangga akan kembali juga, pengelolaan yang buruk akan mencemari lingkungan dan merusak kesehatan.
Sistem pengelolaan limbah domestik salah satunya lumpur tinja di kota-kota di Indonesia termaksud Makassar sangatlah buruk dan mengkhawatirkan. Di Kota Makassar pengelolaan lumpur tinja selama ini berjalan didasarkan pada kebutuhan (on call basic), yaitu ketika masyarakat membutuhkan jasa sedot tinja maka menghubungi UPTD PAL (unit Pelaksana Teknis Daerah Pengolahan Air Limbah) untuk melayani sedot tinja. Pola layanan tersebut akan berdampak pada jumlah lumpur yang masuk ke IPLT (Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja) yang kadang tidak sesuai dengan kapasitas IPLT, sehingga IPLT tidak berjalan optimal. Selain itu, banyak rumah-rumah yang memiliki tangki septik tidak pernah di sedot karena merasa tidak pernah bermasalah pada tangki septiknya. Besar kemungkinan tangki septik tersebut bocor atau berupa cubluk sehingga tidak pernah penuh, dan berakibat pada pencemaran air tanah. Pencemaran ini semakin meningkat ketika 34,000 orang atau 13% dari total penduduk Kota Makassar (1.3juta/jiwa) masih BABS (Buang Air Besar Sembarangan) atau yang belum mempunyai jamban.
Catatan dari dari Kementerian Lingkungan Desember 2013 disebutkan, 75% badan-badan air (sungai dan air tanah) tercemar berat dari limbah domistik di Indonesia. Di kota Makassar kenyataan tersebut terjadi hingga mencemari sungai-sungai besar di kota yaitu Jeneberang, Sungai Tallo dan Kanal Jongaya, dengan tingkat pencemaran tinggi yang disebabkan oleh kotoran tinja manusia. Kotoran manusia yang masif ini menjelma menjadi bakteri Coliform dan Fecal Coliform dan menyatu dengan air tanah dan sungai. Di bagian hilir Sungai Tello Kota Makassar saja misanya, total pencemaran oleh Coliform mencapai 1.100.000/100 ml dari batas ambang maksimum yang diperkenankan 10,000/100 ml. Pencemaran yang disebabkan Fecal coliform mencapai 1.100.000/100 ml dari 2000/100 ml yang diperkenankan. Begitu juga yang terjadi di Sungai Jenebarang yang sudah masuk hingga pinggiran kota Makassar dengan total pencemaran coliform 35,000/100 ml dari ambang batas yang diperkenankan yaitu 10,000/100 ml. Sementara pencemaran fecal coliform yaitu 2,300/100 ml dari ambang batas yang diperkenakan yaitu 2,000/100 ml. Bakteri Coliform adalah bakteri indikator adanya patogenik/parasit lainya yang membahayakan bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Bakteri coliform fekal menjadi indikator dikarenakan jumlah koloninya pasti berkolerasi positif dengan bakteri patogen, hal ini juga menandakan air telah terpapar atau tercemari kotoran manusia.
Penulis : Ali Asrawi
Red : Yudha