Paradoks Kampus Islami
Berbicara tentang kampus Islam, sebaiknya kita harus memahami terlebih dahulu tentang definisi dari kata “kampus dan Islam”. Kampus dalam kamus besar bahasa indonesia (KBBI) memiliki arti yaitu suatu daerah, lingkungan atau bangunan utama Perguruan Tinggi (Universitas, Akademik), tempat semua kegiatan belajar-mengajar dan administrasi berlangsung, Sedangkan Islam adalah agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW yang berpedoman pada kitab suci yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT.
Jadi konsep kampus Islami adalah sebuah tempat atau wadah yang dimana berlangsungnya sebuah proses pembelajaran dan administrasi yang berfokus pada penerapan nilai-nilai Islam sebagai dasar atau pondasi bagi institut yang menganut ideologi Islam.
Nilai Subtansial dan Kultural Islam
Untuk memperjelas penerapan nilai-nilai Islam dalam konsep kampus Islami, perlu dibagi menjadi dua, yaitu nilai subtansial dan kultural. Nilai subtansial adalah segala sesuatu yang harus atau wajib untuk dikerjakan. Mengutip penjelasan dari seorang Ulama Indonesia KH. Mustofa Bisri atau yang biasa disapa Gus Mus, menurutnya “akhlak menjadi begitu utama karena disanalah letak agama Islam, diturunkannya Nabi Muhammad Saw ke muka bumi adalah untuk menyempurnakan akhlak.”
Tiga pakar dibidang akhlak yaitu Ibnu Miskawaih, Al Gazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu.
Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik. Jadi dapat kita tarik kesimpulan, tolak ukur dari akhlak seseorang meliputi tingkah laku atau perbuatannya. Contoh akhlak yang baik yaitu, seorang pemimpin yang tidak kasar kepada bawahannya, selalu rendah hati, tidak sombong, berprilaku baik terhadap orang lain, berprilaku adil dan jujur, serta suka menolong. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Gus Mus, “akhlak seseorang tidak dilihat dari penampilan ataukah pakaiannya yang bagus, tapi dilihat dari seberapa baik ia memperlakukan orang disekitarnya”.
Sedangkan nilai kultural adalah segala sesuatu yang tidak harus untuk dikerjakan karena sifatnya yang formalitas berdasarkan pada kebiasaan atau budaya yang melekat pada seseorang. Misalnya kebiasaan dalam menjalankan syariat dalam konteks Islam nusantara seperti memakai sarung, peci, baju gamis, sungkem, ziarah kubur, barasanji dan masih banyak lagi.
Nilai kultural dalam Islam berfungsi sebagai penunjang seorang muslim dalam menjalankan syariat Islam, Akan tetapi nilai kultural setiap wilayah tidaklah bisa digeneralkan karena masing-masing wilayah memiliki karakteristik kulturalnya tersendiri bergantung pada perkembangan penduduk di wilayah tersebut. Misalnya kultural yang ada di Arab dengan di Indonesia tidaklah bisa disamakan karena perkembangan penduduk serta geografisnya yang berbeda.
Konsep Islam Versi Birokrasi Kampus
Dalam lingkup kampus yang berlabel Islam terkadang birokrasi menonjolkan konsep Islam yang kaku dan rumit untuk dipahami oleh mahasiswa. Konsep Islam yang diterapkan birokrasi terhadap mahasiswa sangatlah dogmatis karena realitasnya mahasiswa dipaksa untuk menerima segala kebijakan kampus yang mengatasnamakan Islam. Sementara bagi mahasiswa yang juga memiliki sudut pandang yang berbeda berakhir dengan pembungkaman beserta dengan ideologinya.
Mahasiswa dipaksa agar menjadi insan yang Islami, tapi disisi lain birokrasi tak mencerminkan tauladan yang baik. Hal ini dapat dibuktikan dari sikap birokrasi yang fasis dan terkadang mengabaikan nilai-nilai prinsipil dalam Islam, Contoh kongkritnya dalam perumusan pengambilan kebijakan yang dikeluarkan oleh birokrasi kampus yang tidak melibatkan mahasiswa, sementara objek dari aturan tersebut adalah mahasiswa. Sikap birokrasi yang demikian sangatlah mencederai nilai-nilai demokrasi, dan bisa dikatakan musyawarah yang dilakukan sangat cacat karena mengkebiri hak asasi yang dimiliki mahasiswa.
Sedangkan Islam adalah agama yang sangat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan mengutuk praktek penindasan, Sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, dengan risalah Islam yang dibawanya mampu membebaskan keterpurukan yang dialami oleh kaum budak dari tangan-tangan pemilik budak. Tetapi dari kebijakan-kebijakan kampus yang tidak pro terhadap mahasiswa yang sifatnya memaksa, secara tidak langsung justru menciptakan praktek penindasan yang nyata dan itu sangatlah bertentangan dengan prinsip musyawarah (Syuro) serta prinsip keadilan (Al- adalah) yang ada dalam Islam.
Birokrasi Kampus Otoriter dan Anti Kritik
Islam adalah agama yang tidak membenarkan perlakuan yang sewenang-wenang yang berdampak mencelakai ataukah merugikan orang lain, sebagai implementasi dari Islam rahmatan lil ‘alamin. Tak satupun ajaran dalam Islam yang mampu memberi kuasa pada suatu individu atau kelompok untuk bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain. Sebab Islam sangatlah menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan, didalam Islam tiap individu memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan.
Tetapi didalam lingkup kampus, prinsip kesetaraan yang ada dalam Islam seketika sirna dikarenakan ketamakan serta ego birokrasi kampus. Kebijakan-kebijakan birokrasi yang sifatnya memaksa secara tidak langsung mengkebiri hak-hak mahasiswa dan ini sangatlah merugikan bagi mahasiswa. Misalnya pelarangan beraktifitas dimalam hari, pelarangan berorganisasi, serta kebijakan lainnya yang tidak pro kepada mahasiswa.
Kebijakan birokrasi yang merugikan mahasiswa, mencerminkan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pihak birokrasi. Birokrasi kampus yang katanya Islami secara tidak langsung menampakkan kebodohannya sendiri. Kebijakan yang dikeluarkan lantas mengkebiri hak-hak mahasiswa, merampas ruang berekspresi, membungkam nalar kritis, serta penindasan-penindasan lainnya dengan mengatasnamakan Islam.
Model kepemimpinan otoriter yang dipraktekkan oleh birokrasi kampus, sangatlah bertentangan dengan prinsip keadilan menurut Islam yang termaktub dalam Q.S. An-Nisa ayat 58. Yang artinya, “sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil, Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu, Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha melihat”.
Islam pun tidak membenarkan seorang pemimpin untuk bersikap anti kritik kepada rakyatnya. Dalam kontek kampus yang katanya islami, sudah seharusnya pihak birokrasi kampus bersikap terbuka kepada mahasiswanya. Tetapi realitas yang terjadi didalam kampus yang katanya Islami, praktek mengkritik yang dilakukan oleh mahasiswa kepada pihak birokrasi kampus adalah sebuah perbuatan yang tercela dan terlaknat yang tidak bisa dibenarkan. Dan bagi mahasiswa yang tak mampu lagi menahan hasrat atas pembungkaman serta penindasan yang dialaminya, akan berakhir tragis.
Beberapa mahasiswa yang berani mengkritisi kebijakan-kebijakan kampus yang timpang lantas mendapatkan intervensi dari pihak kampus, didiskriminasi, di represif bahkan di Skorsing hingga Droup Out (DO). Semua itu dilakukan oleh pihak birokrasi dengan dalih mahasiswa tersebut melanggar ketertiban kampus dengan dibenturkan aturan-aturan kampus yang berlaku, Cara berpikir birokrasi yang tabu memaknai sebuah kritikan, menciptakan keadaan yang dimana mahasiswa yang kritis menjadi lakon amoral didalam kampus.
Citra Kampus Islami ataukah Demi Akreditasi kampus?
Dari beberapa permasalahan yang terurai diatas, kemudian menimbulkan sebuah pertanyaan. Agar meminimalisir stigma negatif terhadap Islam yang kemudian bisa lahir dari cara pandang Islam yang sempit. “Benarkah Islam demikian rumitnya?,” ataukah ada alasan lain yang mampu membenarkan praktek pembungkaman demokrasi, pelarangan beraktifitas, kekerasan akademik hingga penindasan yang dilakoni oleh birokrasi kampus kepada mahasiswa.
Islam sebagai agama paripurna yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, prinsip persamaan, musyawarah, serta nilai-nilai keadilan, Dengan segala ajaran belas kasihnya, sudahlah pasti tidak membenarkan segala praktek yang merugikan ataukah mencelakai orang lain dengan alasan apapun. Sebab Islam sejatinya mampu memanusiakan manusia, serta membawa kesejahteraan bagi siapa saja sebagai implementasi dari Islam Rahmatan Lil ‘Alamin.
Akan tetapi ego birokrasi, segala macam carapun dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mengatasnamakan kampus Islami. Meskipun kebijakan tersebut merampas ruang demokrasi, membatasi nalar berpikir, dan mengukung kreatifitas mahasiswa, hingga mengkebiri hak asasi yang dimiliki oleh mahasiswa. Hal ini mencerminkan sebuah ketidakadilan yang nyata tercipta didalam kampus yang katanya Islami.
Kebusukan-kebusukan birokrasi kampus dibungkus rapi dengan semboyan-semboyan yang katanya Islam. Semua terjadi bukanlah tanpa alasan, tetapi bertujuan untuk menciptakan rekayasa citra kampus yang baik dimata publik. Lantas merampas hak asasi yang dimiliki mahasiswa demi akreditasi kampus yang baik.
Penerapan Nilai Islam dengan Demokratisasi Kampus
Dalam penerapan nilai-nilai Islam didalam kampus, peranan seorang pemimpin dilingkup kampus menjadi hal yang fundamental. Kriteria pemimpin menurut Islam haruslah dimiliki, yaitu Shidiq, Amanah, Fathonah, dan Tabligh sebagai syarat mutlak untuk menjadi seorang pemimpin.
Jadi pemimpin kampus haruslah bersikap jujur, dengan menerapkan transparansi didalam kampus, agar menghindari prasangka buruk yang dapat lahir. Seorang pemimpin tersebut juga harus memelihara apa yang mahasiswa amanahkan kepadanya, dengan memberikan segala hak-hak yang sepatutnya dinikmati oleh mahasiswa. Seorang pemimpin kampus juga harus memiliki kecerdasan yang mempuni agar mampu menanggulangi masalah dengan bijaksana. Serta penyampaian yang secara jujur dan bertanggungjawab atas segala tindakan yang diambilnya.
Untuk menopang proses terwujudnya kampus yang Islami, birokrasi kampus sebaiknya bersikap terbuka kepada mahasiswa, Pihak birokrasi pun haruslah mampu menerima segala kritik atau saran, jika saja kritikan tersebut tujuannya baik dan memajukan kampus.
Sebaiknya birokrasi kampus meminimalisir ego kuasanya dan memandang mahasiswa sebagai subjek yang berkompeten dalam pengembangan kampus, Birokrasi juga harus menyadari kampus hanyalah sebatas deretan gedung-gedung tua, dan akan menjadi barang rongsokan tanpa adanya sumbangsi mahasiswa didalam kampus. Sebab perputaran roda kampus itu tidaklah terlepas dari uang yang dibayarkan oleh mahasiswa.
Kepercayaan yang ditorehkan oleh mahasiswa dengan menyodorkan uang tiap semesternya kepada birokrasi kampus haruslah dijaga sebagai amanah, Kepercayaan mahasiswa sebagai amanah kepada birokrasi kampus, haruslah diwujudkan dengan penyediaan tenaga pendidik yang profesional, dan berkualitas sebagai kebutuhan subtansial, serta pengadaan fasilitas-fasilitas kampus yang menunjang proses pembelajaran. Sebab orientasi mahasiswa untuk kuliah dengan membayar uang tiap semester sebagai tanggungjawabnya, haruslah setimpal dengan hak yang dinikmatinya. Dengan harapan selepas studi mereka mampu menjadi orang yang berguna, pintar, hebat, dengan ilmu yang didapatinya didalam kampus untuk meraih kesuksesan demi membahagiakan kedua orang tua.
Kampus sebagai wadah kaum intelektual, jadi pihak birokrasi haruslah mampu merasionalkan segala aturan atau kebijakan-kebijakan kampus untuk meminimalisir konflik antara birokrasi kampus dengan mahasiswa. konsep kampus Islami hanya akan menjadi kisah dongeng untuk melelapkan mahasiswa jika saja penerapan nilai-nilai prinsip dalam Islam hanya terlintas dalam perkataan birokrasi kampus, Konsep kampus Islami haruslah disertakan bukti nyata dengan demokratisasi kampus, sebagai perwujudan dari Islam yang membawa kesejahteraan bagi individu-individu merdeka.
Penulis : Parle
Editor : Shim