Cerpen: 22 Coretan Tinta Hitam

1
970903_570421416314773_53409197_n-300x262
ilustrasi / sumber: net

Mond merasa dirinya mulai gila.Perselisihannya dengan koordinator bidang belakangan ini yang entah kenapa sangat awet, akhirnya pecah. “Frenemy.”Mond bergumam perlahan. Seperti halnya hubungan fenomenal Paris Hilton dan Nichole Richie, Mond selalu meyakini saat ini akan tiba. Saat dimana semua percekcokan mereka selama ini mulai dari yang terkecil sekalipun, terakumulasi menjadi satu.Semakin besar dan membentuk bom waktu. Dan siap meledak.

Hari ini adalah hari ke-22 sejak dia melangkah kelua rdari tempat tersebut. Seperti biasa setiap kali ada masalah, Mond mengambil waktu untuk dirinya sendiri. Seperti biasa setiap kali pikirannya dipenuhi suara-suara tak berwujud, Mond mencari kebisingan dengan berkendara di malam hari demi mengenyahkan suara-suara tersebut.

Seperti biasa setiap kali hendak istirahat dari carut marut problematika kehidupan, Mond berjalalan dan terus berjalan sejauh kaki melangkah hingga perasaan lelah menghampiri.Rasa lelah inilah yang diacari, kunci yang membawanya pulang ke rumah.

Tapi tidak seperti biasanya, kali ini Mond berdiri gamang di persimpangan.Lelah berlari, dia memutuskan pulang. Seharusnya mudah, karena tinggal berbelok kekanan dia akan sampai ketempat yang selama ini disebutnya rumah. Tapi tidak kalau masalahnya kali ini bersumber dari rumah tersebut. Atau sebenarnya Mond bisa saja belok kekiri menuju alamat yang tertera di kartu identitasnya. Rumah dari orang tua yang selama ini lebih tepat disebut tempat transit ketimbang rumah. Tempat persinggahan saat dia kehabisan pakaian atau sekedar ingin membersihkan diri lebih layak.

Tepat saat lampu hijau menyala menggantikan lampu merah, Mond memutuskan menyeberangi persimpangan tersebut. Tidak kekanan, pun tidak kekiri. Berjalan lurus ke depan  dan kemudian menepi. Memarikirkan motornya di bawahfly over, salah satu tempat dimana dia ditempat menjadi manusia. Titik anarki tempat dia dan saudara-saudara serumahnya kerap bergumul dengan terik matahari dan aparat demi menumbangkan rezim penguasa. Tersenyum getir, Mond membayangkan semuanya.

Hingga akhirnya derum keras knalpot motor yang lewat mengingatkannya akan terror geng motor yang belakangan ini begitu marak diperbincangkan. Mond memutuskan harus segera beranjak kalau tidak ingin mati konyol. Bukan kah mencegah lebih baik dari pada mengobati? Dan sepertinya belok kiri merupakan tujuan terdekat dan terefektif untuk bertapa. Tidur. Hanya itu yang diainginkan saat ini. Selama mungkin. Kalau perlu tidak usah terbangun lagi.

Tapi takdir berkata lain. Terjaga di dinihari, Mond mendapati dirinya terasing dalam kesedihan. Entah untuk apa dan karena apa. Dia memutuskan bangun dan melihat bayangannya di cermin. Wajah yang diliputi keraguan, dibelenggu ketidak percayaan. Wajah tanpa topeng yang dulu selalu berbincang dengan gelap dan bercengkrama dalam malam tapi berlari menjauh lantaran trauma.

“Kemanasaja?” tanya bayangan dalam cermin itu.

“Ada. Tetap di sini, dibelahan bumi yang sama” jawabnya.

“Mau larisampaikapan?Berhenti menghindar dan kembalilah tenang. Tidak usah beranjak terlalu jauh karena pada akhirnya kamu akan berbalik. Pulang kerumah yang sesungguhnya.”

Mond terisak pelan. Lama. Sampai akhirnya adzan subuh berkumandang. Dan kemudian dia sadar, dirinya lelah. Dia sudah berlari-apa. Dan mungkin ini saatnya dia berbalik. Kembali ke dekapan sahabat. Gelap yang menajamkan matanya. Malam yang menyelimutinya dengan ketenangan. Hitam yang sempurna..

Penulis: Ns @rokhitam
Red: Hr

1 thought on “Cerpen: 22 Coretan Tinta Hitam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *