Makassar, Cakrawalaide.com  Kampus merupakan lembaga pendidikan juga sebagai sarana untuk menghasilkan sarjana yang berkapasitas dibidangnya masing-masing, seperti  yang  termaktub dalam UUD 1945 yang merupakan tujuan  Negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi kini sangat berbeda dengan yang terjadi sekarang kampus bukan lagi sarana untuk mencerdaskan, hal ini beralih fungsi menghasilkan  sarjana yang tak mengedepankan intelektual, tetapai mahasiswa diajarkan untuk tunduk dan patuh kepada peraturan kampus, kini setiap pergerakan mahasiswa dibatasi dengan berbagai aktivitas dan  kesibukan sehingga tidak ada lagi waktu mahasiswa untuk menjalani roda-roda organisasi.

Seperti yang kita jumpai sekarang, perampasan hak mahasiswa kembali terulang yang mengakibatkan 3 (tiga ) mahasiswa di Drop Out (DO) yang dilakukan oleh salah satu kampus yang berada di Sulawesi selatan yaitu Universitas Islam Makassar (UIM), hal ini adalah bentuk kekerasan yang sangat tidak manusiawi ketika Mahasiswa menyampaikan hak suaranya seperti yang tertera dalam pasal 28 UUD  tentang kebebasan berpendat, serta dipertegas lagi UUD 1945 28C, bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri sesuai dengan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan  dan berhak memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan  dan teknologi  seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya  dan demi kesejahtraan umat manusia. Dan sekarang kampus UIM sangat berbeda, ketika mahasiswanya menyampaikan pendapat  yang hanya mempertanyakan Rektor UIM memimpin selama 3 (tiga) periode, hak suaranya dan tanpa berpikir panjang  kini langsung dijatuhi hukuman pengucilan pendidikan kampus terhadap mahasiswanya yaitu DO.

Dalam SK DO menerangkan bahwa  Mahasiswa  telah melakukan pelanggaran peraturan akademik, pedoman peraturan kemahasiswaan dan kode etik mahasiswa UIM. Adapun mahasiswa yang DO tersebut bernama Sakrizal  Rospa, Henry Foord J, dan Dzulhilal M.

Dalam surat keputusan Drop Out yang bernomor 863/UIM/SKEP/II/2016 memutuskan yaitu memberhentikan secara tidak hormat kepada 3 (tiga) Mahasiswa Fakultas Teknik, adapun pertimbangannya mengatakan bahwa dalam rangka mewujudkan kampus Qurani dan islam maka segenap civitas akademik dan staf pendidikan diharuskan berakhlakul karimah, beretika dan berenergi dalam pelaksanaan sanksi  pelangaran kode etik mahasiswa  UIM.

Pada tanggal  08 November 2016, mahasiswa UIM menolak  keputusan itu dengan mempertanyakan SK-DO kepada PTUN Makassar, dalam keputusannya membuahkan hasil kemenangan bagi para penggugat. Bahkan kemenangan yang menyatakan Mahasiswa UIM tersebut dikembalikan ke tempat semula yakni menjadi mahasiswa UIM kembali justru di acuhkan oleh Rektor UIM. Sampai saat ini SK DO belum dicabut oleh pihak birokrasi atau Rektor.

Tepat pada tanggal 18 februari 2017 adalah  hari ke 365 atau satu tahun sejak tanggal ditetapkannya  SK-DO, mahasiswa kembali memperingati aksi damai di Flay Over serta pembakaran lilin  sebagai  bentuk dukungan kepada 3 mahasiswa UIM, berbagai petaka serta spanduk  yang turun bertuliskan, Ucapan dukungan kepada perjuangan tiga (mahasiswa) yang di DO (Drop Out) oleh ReKtor UIM tiga periode,  dan  diiriingi dengan pembacaan puisi perjuangan serta orasi secara bergantian. Berbagai lembaga dari setiap kampus turut bergabung dan  memperingati hari  yang merupakan sebuah sejarah baru dalam bentuk penindasan yang dialami oleh ketiga mahasiswa UIM.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh mahasiswa UIM. Namun, langkah tersebut seperti tidak ada hasilnya,  keputusan Rektor yang kini bulat tak mampu merubah apapun.  Sebuah bentuk penindasan yang dialami  ketiga mahasiswa dalam  mempertanyakan Rektor yang menjabat selama tiga periode kepengurusan dan secara langsung  diberikan surat SK-DO, ini adalah bukti sebagai intimidasi dari  kampus yang merupakan pengambilan kebijakan tidak berdasarkan hukum yang berlaku seperti yang telah tertera pada PP RI NO.60 tahun 1999, permendiknas No.67 tahun 2008,dan SE DIKTI 2705/D/T/1998. Dan mereka menganggap SK yang dikeluarkan oleh Rektor ini dinilai tidak sah atau cacat hukum, karna didalam  SK tidak dicamtumkan pelanggaran serta aturan yang mengikat.

Cita-cita Negara yaitu memberikan fasilitas pendidikan secara merata  kepada setiap bangsa Indonesia agar sebuah perubahan bisa teratasi. Olehnya, kampuslah salah satu tempat untuk mencerdaskan bangsa dan menjadikan  kehidupan jauh lebih bermakna.

Penulis  : Baso

Red. Nursaid

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *