Dosen FH UMI Dianiaya Polisi saat Terjebak Demo, WR III: Berlebihan dan Keluar Protap

2

Aksi tolak omnibus law di Makassar, Foto: Raihan Rahman

Penulis: Mansyur

Makassar, Cakrawalaide.com – Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja Omnibus Law di Jl.Urip.Sumoharjo, Kamis (8/10/2020), berujung ricuh.

Massa aksi memilih bertahan sampai malam hari di depan kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI), hingga aparat kepolisian memukul mundur ke depan Kantor Gubernur Sulsel.

Bentrokan tak terhindarkan. Polisi terus menembakkan gas air mata dan water canon ke arah demonstran. Dibalas hujan batu dan bom molotov. Tiga unit kendaraan motor terbakar malam itu.

Dua ratusan orang ditangkapi di beberapa titik aksi sembari dipukuli, setelahnya mereka dibawa ke Polrestabes Makassar. Beberapa demonstran terluka dan polisi terlihat kewalahan.

Bukan hanya demonstran yang mengalami represi dari aparat kepolisian. Namun, masyarakat sipil pun yang bukan peserta aksi juga ikut diangkut. Seperti yang dialami oleh seorang akademisi, Andry Mamonto, salah satu dosen tetap di Fakultas Hukum UMI.

Dosen Muda Babak Belur Dianiaya Polisi

Di ruang tamu kediaman Andry Mamonto, di Villa Racing Center, kami duduk melantai. Aan sapaan akrab dosen muda tersebut, mulai bercerita mengenai kejadian nahas yang menimpanya.

Seusai makan malam di salah satu warung di Jl.Racing Center, Aan ingin pergi ke tempat ia biasa mencetak laporan beban kerja dosen (BKD), maklum hal itu merupakan kewajiban dan tanggung jawabnya.

“Saya kan biasanya print itu (BKD) di depan (kampus) Bosowa,” ujarnya dengan mimik menahan sakit dan mengeluh pusing di bagian kepala belakang.

Akan tetapi, aksi demonstrasi masih berlangsung. Jadi Aan menepi dan memarkir motornya. Kemudian melanjutkan dengan berjalan kaki beberapa meter. Tetiba ada tembakan gas air mata, maka Aan masuk ke halaman toko swalayan (Alfamart) bersama beberapa massa aksi yang kepanikan, guna menghindari kepulan asap gas air mata.

“Saya terjebak di situ. Tidak berselang lama, mungkin lima menit, datanglah aparat ada sekitar 15 sampai 20 orang,” tuturnya.

Polisi datang menyisir dari dua arah. Aan berkisah, ia telah menjelaskan identitas dirinya sebagai dosen dan bukan peserta aksi.

Namun hal itu tak dihiraukan. Polisi langsung menghajar secara membabi buta. Dirinya ditendang, dipukul pentungan di kepala dan punggung, serta paha dihantam menggunakan tameng. Membuatnya jatuh bangun berkali-kali dan merasa sudah hampir meregang nyawa saat itu.

“Saya berusaha berdiri supaya nyawaku selamat, sampai akhirnya diseret ke mobil taktis milik polisi. Dalam mobil itu saja masih mengalami pemukulan,” jelas pria bertinggi badan 160cm itu.

Aan terus menerangkan kepada petugas bahwa dirinya bukan bagian dari massa aksi dan merupakan dosen, tapi malah mendapati pukulan lagi di bagian pipi kiri sambil dimaki.

“Tetap saya dipukul sampai melontarkan kata ‘dosen sundala’. Itu dipukul dengan sangat kejam dan bukan untuk memberikan efek jera, tapi dengan melampiaskan emosi,” ungkap Aan, akibatnya pipi dan kelopak mata kirinya memar.

Sesampainya di Polrestabes Makassar, pukul 22.30 Wita, petugas melepas baju Aan bersama 228 demonstran lain yang ditangkap. Mereka juga disuruh berjalan jongkok menuju aula.

Sebelum menjalani interogasi dan pembuatan BAP, Aan sempat mendapatkan perawatan berupa diberi obat anti nyeri. Kemudian, salah satu oknum mendatangi, melakukan kekerasan verbal dan menggunting sebagian rambutnya, meski kembali Aan menjelaskan siapa dirinya, tetapi malah justru ia dituduh sebagai provokator untuk mahasiswa turun demo.

Baru pada keesokan malamnya, Jumat (9/10), sekitar pukul 23.30, Aan dilepaskan karena tidak terbukti bersalah. Beberapa kolega dosen datang menjemputnya.

Kondisi Andry Mamonto, Dosen FH UMI usai dianiaya dan jadi korban salah tangkap.

Menurut Aan, tidak ada ketentuan atau peraturan perundang-undangan apapun yang memberi kewenangan kepada kepolisian untuk melakukan tindakan represif seperti yang dia alami.

Justru bagi Aan, mestinya polisi bertugas mengayomi masyarakat sebagaimana semangat reformasi 1998, yang memisahkan Polri dari ABRI. Agar menghilangkan kultur militerisme di tubuh Polri dan prosedur-prosedurnya mengedepankan pendekatan humanis. Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Kapolri (Perkapolri) No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam tugas kepolisian.

Upaya Hukum yang Ditempuh dan Sikap Pimpinan UMI

Minggu (11/10) sore, Aan ditemani kolega pergi mengadukan tindakan yang dialami ke posko pengaduan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Sulsel.

Setelah angkat kuasa hukum, mereka langsung menggelar konferensi pers sore itu juga.

Aan juga meminta bantuan agar kasusnya dikawal oleh koalisi bantuan hukum rakyat (KOBAR) Makassar, dimana terdiri dari berbagai lembaga bantuan hukum di dalamnya.

Sementara itu, pihak UMI juga mengambil sikap tegas dengan menyediakan tim hukum.

Saat dimintai keterangan, Guru Besar ilmu Hukum UMI, Prof. Laode Husain, sangat menyesalkan tindakan kepolisian dalam menangani demonstrasi. Penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian dinilai sudah secara berlebihan dan melanggar prosedur tetap Kapolri dalam penanggulangan aksi.

“Saya sangat menyesalkan tindakan aparat kepolisian yang bertugas dalam menangani unjuk rasa tersebut dan ini tindakan kepolisian yang berlebihan dan tidak terkendali, serta keluar dari Protap,” tegas Laode, yang juga selaku Wakil Rektor 3 UMI.

Dirinya mengaku akan memantau perkembangan penanganan kasus ini di Polda Sulsel dan semua upaya hukum yang ditempuh korban harus didukung. “Oleh karenanya saya berharap Div Propam Polda segera melakukan proses hukum dan memberikan sanksi yang tegas,” pungkasnya.

2 thoughts on “Dosen FH UMI Dianiaya Polisi saat Terjebak Demo, WR III: Berlebihan dan Keluar Protap

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *