Launching Buletin: UMI di Tengah Tumpukan Kasus Kekerasan Seksual

0

Penulis: Laila Hidayati

Makassar, Cakrawalaide.com- Unit Penerbitan dan Penulisan Mahasiswa, Universitas Muslim Indonesia (UPPM UMI) launching buletin edisi Juni dengan liputan utamanya bertajuk “Tafsir Permen di Balik Tumpukan Kasus”. Terbitnya buletin merupakan salah satu program kerja di akhir kepengurusan, memuat fakta terhadap kebijakan kampus UMI yang menutup mata bahwa adanya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi swasta terbaik ke-29 di Indonesia versi Webometric tersebut. Lanching buletin berlangsung di aula FTI UMI. (09/06/2022)

Pasal 54 Ayat (1) Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 “Pemimpin Perguruan Tinggi wajib melakukan pemantauan dan evaluasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang dilaksanakan oleh Satuan Tugas (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual)”. Disebutkan pula dalam Pasal 55 bahwa pemimpin perguruan tinggi yang tak melaksanakan pemantauan dan evaluasi akan dikenai sanksi administratif.

April, moderator diskusi menyampaikan bahwa UPPM selaku penyelenggara diskusi launching buletin sudah menghubungi pihak birokrasi terkait tindaklanjut permendikbud 30 di kampus namun sama sekali belum ada pembahasan implementasi permendikbud 30 melihat banyaknya tumpukan kasus

“Kami sudah menghubungi birokrasi bagaimana tindaklanjut permendikbud 30 di dalam kampus namun mereka menyampaikan belum ada sama sekali pembahasan permendikbud 30, sebelumnya kami sudah menerbitkan di portal cakrawala ide adanya kasus kekerasan seksual di UMI,”

Maemanah, akademisi dan pejuang gender selaku pemantik dalam diskusi menegaskan bahwa dalam konteks pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) Negara bertanggung jawab memenuhi kesejahteraan dan rasa aman bagi rakyat begitupula kampus dalam menindaklanjuti peraturan dari kementerian, hal tersebut merupakan amanah. Bersifat pasif terhadap aturan yang ada merupakan pelanggaran HAM

“Pelanggaran HAM yang di lakukan oleh bisa karena dua hal, terlalu aktif dan terlalu pasif jadi ketika negara harus memenuhi kesejahteraan rakyatnya, memenuhi rasa aman dan kemudian negara bersifat pasif tidak memenuhi hal tersebut misalnya dengan menyediakan peraturan perundang-undangan, layanan yang mendukung maka negara melanggar HAM bagaimana dengan kampus? Apalagi dalam konteks kampus sudah jelas ada aturannya dan itu harus di jalankan,” tegasnya.

Asmar, salah satu peserta diskusi menanggapi ketika kampus pasif terhadap aturan yang seharusnya ditindaklanjuti, yang bisa dilakukan oleh mahasiswa adalah lembaga-lembaga membuat kelas pendidikan atau diskusi kekerasan seksual di internalnya masaing-masing untuk meminimalisir terjadinya kasus.

“Saya pikir apa yang dilakukan teman-teman ketika kampus hari masih begitu ini pasif atau kita tidak berbuat apa-apa? Teman-teman yang hadir disini adalah teman-teman yang berasal dari lembaga-lembaga mahasiswa, yang bisa kita lakukan adalah membuat suatu aturan sendiri di lembaga internal kita atau melakukan pendiskusian permendikbud 30 atau kelas pendidikan kekerasan seksual untuk meminimalisir kejahatan yang ada,” katanya.

Wahyu, selaku tamu undangan menyampaikan bahwa terbitnya buletin Menerka Jejak Pemendikbud 30 di kampus UMI seharusnya menjadi tamparan bagi pihak birokrasi terkait bagaimana tindaklanjut. Iapun menilai bahwa kampus seolah-olah menutup mata dengan adanya kasus

“Isu yang di angkat di buletin semakin membuka wawasan kita mengenai pentingnya penerapan Permendikbud 30, bagaimana kampus itu dapat menindaklanjuti peraturan tersebut. Terbitnya buletin ini seharusnya menjadi tamparan bagi pihak kampus kenapa tidak di tindaklanjuti padahal di kampus UMI sendiri ada kasus kekerasan seksual, kampus menutup mata seolah-olah tidak adanya kasus, pun bukan berarti tidak ada laporan tidak ada kasus.” Tutupnya

Redaktur: Muh. Arif Setia Budi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *